Thursday, December 22, 2005

Hari Ibu

Hari ini. 22 Desember. Tepat hari Ibu. Mungkin bagi sebagian banyak orang, hari ini bukan hari yang special. Tapi tidak bagiku, hari ini sudah semacam hari ulang tahun buat Ibuku, karena aku jarang sekali mengucapkan selamat pada hari ulang tahunnya. Ulang tahun Ibu sering Ibu anggap bukan tanggal ulang tahun sebenarnya, karena itu aku sering melupakannya.
Balik lagi ke hari Ibu, bagi saya hari Ibu juga semacam momen untuk ingat tentang jasa-jasa Ibu, tentang doa-doa Ibu yang selalu bergulir sejak kami di kandungan, tentang keiritan Ibu hanya karena tak ingin kami berlima merasa kurang ataupun tentang rasa sabarnya terhadap segala cobaan di rumah tangganya.
Ah...itu jugalah mungkin yang membuat jiwa sentimentilku tumbuh ketika tanggal 22 desember muncul, bahkan sejak aku masih di bangku SD. Tahu apa yang aku beri untuk Ibu ketika itu? Aku membelikan Ibu, satu pak tissue, yang notabene mungkin harganya 50 rupiah, jumlah uang yang aku sisihkan dari uang sakuku. Memalukan bukan? dan hadiah itu bertambah nilainya, ketika aku mulai bisa lebih menyisihkan uang jajan, yaitu memberi saputangan dengan kualitas yang terus terang sangat rendah.

Lucu dan sedikit memalukan mengingat itu, tapi entah mengapa Ibu mau saja menerima pemberianku tersebut. Hanya senyum kecil dan ucapan terima kasih yang menyertai.
Sekarang setelah aku menikah, tradisi ini masih aku lakukan. Bukan Ibuku seorang yang aku beri, tapi Ibu mertuapun ikut masuk hitunganku. Jadilah setiap menjelang tanggal 22 Desember, aku mulai memikirkan akan memberi apa kepada dua wanita mulia ini. 2 bingkisan, 2 kartu, dan dapat dipastikan suamiku setuju-setuju saja dengan ideku. Namun terus terang, buat Ibuku, aku selalu sengaja menambahkan satu patah kata tentang kenangan baikku kepadanya atau sekedar cerita tentangnya, sedang untuk Ibu mertua, aku agak bingung dengan kata-kata yang harus kutambahkan, sedangkan meminta ke suami, lebih tidak mungkin, dia lebih tidak punya ide. Ujung-ujungnya, kami menulis pesan singkat yang sebenarnya cukup menggambarkan semua rasa terimakasih kami.
Setelah itu, Ibu biasanya akan berkaca-kaca, dan aku merasa cukup jengah juga, walaupun yang aku tulis sungguh-sungguh tentang kebaikan Beliau yang mengalahi matahari, kemuliaan Beliau yang mengalahi emas murni dan logam permata, ataupun keteduhan Beliau yang mengalahi pohon paling rimbun di dunia ini. Paling hanya senyum untuk menutupi kejengahanku yang terpampang ketika itu.
Ibuku memang beda, karena aku yakin tak ada Ibu yang sama persis di seantero dunia ini. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, aku cukup bersyukur punya Beliau di sepanjang hidupku. Untuk Ibu, sekali lagi Happy mommy's day!.....

PS: tulisan yang telat sehari untuk dipublish... For every mom, Happy mommy's day!

Wednesday, December 21, 2005

4 tahun

Sabtu kemarin. 17 Desember 2005. Helmy berulang tahun keempat. Banyak rencana sebenarnya menjelang ulang tahunnya. Beberapa bulan yang lalu, aku dan suami sempat merencanakan akan membuat pesta kecil di sekolahnya, namun ternyata rencana itu buyar dengan sendirinya. Tiba-tiba saja kami merasa tidak perlu mendidik anak dengan pesta disetiap ulang tahunnya, cukup dengan ucapan syukur dan memberikan apa yang diinginkannya sebagai bingkisan ulang tahun dari kami. Anakku ini bahkan pernah secara tiba-tiba mengucapkan "Kalau Mas Mi ulang tahun gak usah dirayakan ya, Bunda, repot. Mas Mi minta mobil tangki yang besar aja, trus ditulisin nama Mas Mi di mobilnya." Hahaha... mendengar itu aku dan suami tertawa, ucapannya sedikit menunjukkan pengertian dan keinginan anak kecil.
Nyatanya, pas hari ulang tahunnya tiba, ketika pagi-pagi para auntienya sibuk menelpon mengucapkan selamat ulang tahun, dia malas untuk mengangkat telepon, malah aku menangkap kesan dia tak begitu mengerti arti ulang tahun. Yang dia ingat hanya sepulang sekolah nanti, dia akan pergi bersamaku dan suami ke toko mainan, memilih mainan sendiri sebagai hadiah, setelah itu dia akan mulai les renang.
Itulah yang dilakukan kami pada hari ulang tahunnya. Railway extension dia pilih untuk menambah modifikasi railway yang sudah ada, ditambah satu mobil pembawa kabel gulung. Setelah itu, makan siang diluar, dan terakhir kami memutuskan ke rumah eyang putrinya, karena cuaca tidak bagus untuk berenang. Disana sudah menunggu beberapa bingkisan dari para auntie, olda, sepupunya dan eyang putrinya. Terlihat sekali wajahnya bahagia, walaupun rasa kantuk mulai menyerangnya.
Hari itu full diisi dengan kami bertiga. Aku dan suami senang dan lelah menjalankannya, seperti ketika kami pertama kali memilikinya, mengajarinya memegang, berbicara, berjalan, ataupun mengendarai sepeda. 4 tahun sudah kami memilikinya, betapa kami mulai dibuat kelabakan dengan pertanyaannya yang lumayan kritis, tentang pondasi jalanan, tentang planet, tentang jantung, tentang apa saja yang dia lihat dan rasakan ataupun ketika dia malas untuk mengerjakan peer sekolahnya. Sungguh, 4 tahun berjalan tanpa terasa, dan kami harap impiannya akan selalu tercapai..Semoga....

Wednesday, November 30, 2005

Sebuah Episode


25 November 2005
Melangkah masuk.
“Hanya dua kertas kok, Pak”
“Kalau boleh tahu, apa alasannya?”
”Kan sudah ditulis disana, Pak”
”Goal utamanya apa?”
”Personal dan Professional”
”Kenapa?”
”Saya pikir Bapak sudah mengerti. Toh, saya sudah beritahu saat penilaian. Dan ketika kesempatan ini datang, mengapa tidak?”
”Kalau boleh tahu, kemana?”
”Nggak pentinglah, Pak”
What can I do to change your mind?”
Nothing, Pak”
Is it your final decision?”
“Yup, Pak”
“Oke”
Melangkah keluar.

Menjelang malam
“Mereka berpikir kamu keluar karena uang”
“O,ya? Lalu?”
“Saya bilang ada hal lain beside money
“Lalu?”
“Saya ditanya apa?”
Ask her by yourself
Thanks

26 November 2005
“Saya diminta datang ke tempat Mas”
“Lalu?”
“Dia meminta saya menerima offer dari bos. Gimana,ya?”
“Kalau boleh tahu, berapa offernya?”
“Nggak sebesar yang disana. Tapi bukan itu sebenarnya, saya dioffer berapapun gak bakal berubah. I am trying to be professional.”
”Iyalah... pantang mundur ya...”
”Kalau saya ambil, kok saya greedy amat ya... dan lagipula bukan karena money, saya bertekad bulat pindah.”
”Oooo”
”Saya diminta pikirkan over the weekend ini. Padahal sih..”
“hehehe…nggak berubah,kan?”
“Yo’i…”

28 November 2005
Senin sore.
“Saya dapat SMS ini dari Mas. Jawab apa ya?”
“Tulis aja, Masa’ sih?...”
“Nggak,ah”
”Oke, biar saya yang tulis jawabannya. Keputusan saya sudah bulat, thanks for everything. Menurutmu gimana?”
“Bolehlah”

Beberapa menit kemudian.
“Jawabannya nih…”
”Hihihi, bisa juga dia nulis lagu ya...”
So?”
”Bilang aja, cukup kasih saya bunga”
”Jangan,ah”
”Atau minta traktir karena selama ini kamu sudah mensupport team dia”
”Boleh juga”

5 Desember 2005
Hari pertama.
Tergesa-gesa. Maklum selain karena lingkungan baru dan jaraknya lebih jauh.
”Halo, selamat datang”
”Terima kasih”
”Tadi Pak Fredly nelpon saya, agar kamu ketemu Mbak Maria dulu”
”Untuk?”
”Ambil surat pengantar medical check up
“Oke”
“Eittss..Jangan sekarang. Nanti aja jam 3 sore, sekalian pulang. Sekarang saya mau jelaskan job description kamu dan struktur organisasi disini”

Jam tiga sore.
”Mau ketemu siapa Mbak?”
“Maria”
“Dia masih di restroom. Please take a sit
“Thanks”

Sibuk membaca majalah.
Percakapan lain.
“Mau ketemu siapa, Pak?”
”Pak Fredly”
”Sebentar ya.”

”Hei, kamu disini, Pi?”
”Hah? Bapak???”
”Iya. Mau ketemu Pak Fredly”
”Hmmm... oke,deh”

”Pak, silahkan masuk”
”Sampai nanti ya, Pi”
Good luck, ya, Pak”

Pertemuan dengan Maria hanya sesaat. Mengambil surat pengantar, siap untuk balik ke tempat kos. Mampir ke restroom dulu.

Keluar dari restroom.

Gubrakkk!!... Tabrakan tak sengaja dengan orang lain.
”Uppss, sorry....”
Menengadahkan kepala.
”Loh, mas??”
”Iya..hehehe. What can we expect there?”
Pias. Tak lama, GUBRAKKK!!!


PS: kalo epilog kejadiannya kayak begini, gimana,ya?
"Sukses buat kalian ya"

Friday, November 25, 2005

Mimpi

Dapat dipastikan setiap orang pasti pernah bermimpi, entah mimpi yang terjadi ketika tidur, atau mimpi yang intinya berkhayal. Mimpi yang terjadi ketika tidurpun bermacam-macam bentuknya, dari yang tidak berwarna seperti mimpinya temanku, mimpi yang berurutan jalan ceritanya seperti sinetron-sinetron di televisi, mimpi yang alur ceritanya tidak jelas, ataupun mimpi yang berwarna, bercerita singkat dan ternyata dejavu. Nah, yang terakhir ini jenis mimpiku sepertinya.
Aku sering mengalami dejavu atau perwujudan dari mimpi. Contohnya, waktu lebaran kemarin, aku tiba-tiba bermimpi tentang teman kantorku, dimana dalam mimpi itu, kami berkumpul di kantor, dan dia menceritakan tentang nego gajinya di kantor baru. Singkat cerita, tak beberapa lama, dia menanda-tangani kontrak barunya.
"Mungkin kamu memikirkan kali', Mel. Sampai kebawa ke mimpi."
"Bagaimana aku memikirkan...wong lebaran, ngapain mikirin kalian," ujarku.
Itu salah satu contoh mimpi yang aku alami. Umumnya, kalau untuk teman-teman sekantorku, aku bermimpi mereka keterima di company mana, dan umumnya kenyataannya selalu benar, dan bagiku, ini hanya semacam kebetulan. Tidak lebih.
Mimpi-mimpiku tidak selamanya serius, beberapa mimpi malah hanya masalah-masalah sepele, yang pada akhirnya kebetulan yang sama hanya terletak pada baju yang dikenakan oleh temanku yang muncul di mimpi.
Aneh dan lucu sebenarnya, sampai seorang temanku minta dimimpikan agar muncul di mimpiku dalam kondisi mendapatkan company baru. Aku tertawa mendengarnya, wong, buat aku sendiri saja, aku belum pernah bermimpi.
Tapi bukan semua mimpiku pernah disetujui oleh temanku, ada juga yang tidak, yaitu waktu aku bermimpi salah satu temanku married dengan Titi DJ. Dengan setengah tergelak, dia berkomentar, "Adduh, Mel... mbo' ya kalau mimpiin aku tuh, aku married sama Titi Kamal gitu. Aku pasti senang." Aku terkikik mendengarnya, ih..siapa yang bisa mengatur mimpi...
Aku hanya bisa mengatur mimpi, kalau itu mimpi khayalanku. Mimpi khayalanku baru-baru ini benar-benar sangat muluk, yaitu mendapatkan uang 5 milyar. Khayalan itu datang sepanjang perjalanan ke kantor ketika aku dan suami hanya diam mendengarkan wejangan karir dari Om Alex di radio. Hmmm... pasti tahu dong, kalau itu terjadi..... apalagi kalau tidak usah bekerja, indah bukan??...

Tuesday, November 22, 2005

Antara keinginan dan pilihan...

“Mel, aku jadi,” begitu kalimat Mimin, temanku, sore itu lewat telpon.
“Maksudnya kamu sudah deal?” tanyaku memastikan.
”Iya.”
”Yah..ampun... aku sendirian dong... benar-benar petir (penghuni terakhir-red) TC dong...”
”Yah, nggaklah, Mel. Kamu melahirkan dulu, baru mulai berburu lagi,” ujarnya setengah menghibur. Padahal jelas-jelas aku benar-benar ’petir’ di training center, departemen di perusahaan tempat aku bekerja, tempat kami dulu berkumpul, belajar dan mengajar. Seiring waktu berlalu, aku pindah ke departemen lain, dan Mimin tetap bertahan di training center, menjadi trainer yang baik dan menyenangkan.
”Tapi sebenarnya, kamu pernah gak mencoba ’apply’ ke 2 competitor kita?” tanyanya.
”Gak pernah.”
”Ih, gimana mereka tahu kalau kamu masuk kriteria mereka apa nggak, kalau kamu sendiri gak pernah apply.”
”Aku gak pede, Min,” jawabku singkat. Asal dia tahu, sesungguhnya hanya dua perusahaan itulah yang belum pernah aku apply. Entah karena sudah abis tenggat waktunya, atau rasa malas, ataupun rasa bingung.
”Ih, kamu dari grup yang gampang buat nyari kerja...kok malah gak pede,” ujarnya.
Aku hanya tertawa menanggapi ucapannya.
Satu persatu cerita tentang pengembaraanku memenuhi benakku, kadang aku sendiri suka tertawa sendiri mengingat pengembaraanku yang belum mencapai tujuan, atau kadang aku pesimis sendiri dengan segala upaya yang pernah aku lakukan.
Itulah rahasia sesungguhnya. Sebesar-besarnya keinginanku menjadi lebih baik di ladang lain belum juga terpenuhi.
Tak heran, bila beberapa saat kemudian, satu persatu kawan baikku, dari kawan yang aku yakin sekali dengan ide atau jalan pikirannya, sampai kawan baru, yang cuma sesaat jadi tempat berbagi tugas, menuju ladang baru mereka, meninggalkanku untuk menggarap ladang lama, membuatku makin terpacu. Sampai-sampai, ketika salah satu kawanku menanyakan mengapa aku masih bertahan, aku sempat mengeluarkan kalimat bijak yang aku dengar dari Kultum sehari sebelumnya. ”Itulah yang namanya rezeki, Zan. Gak ada yang bisa memaksakan.”
Tuhan memang berhak memilih sebuah jalan untuk kita. Bayangkan saja, beberapa waktu yang lalu, ketika seorang teman mendapat ladang baru yang bergengsi, aku sempat di beri triknya, sholat Tahajjud, banyak zikir. Aku dan temanku ber’oo panjang tanda setuju. Sesungguhnya, akupun pernah melakukan itu ketika hati dan kegiatanku tidak sejalan, tapi apa yang Tuhan berikan? Aku tiba-tiba mendapat orderan pertama atau jalan untuk bisnisku yang mulai kurintis. Aha, mungkin itu memang jalan terbaik dariNya. Aku tak diijinkan ke ladang lain, tapi menggarap ladang sendiri.
Tetap keinginan untuk ke ladang lain kuat tertanam di diriku. Aku mulai mengembara...mencari ladang yang kosong...dan keinginan itu semakin kuat, bila ada diantara kawanku yang mendapatkan lebih cepat dariku. Adakah?...
Dan kali ini aku berharap keinginanku menjadi pilihan terbaik dariNya untukku.....Semoga....

Thursday, July 28, 2005

Ibu...

Aku rasa...
Ibu pasti rela untuk tidak makan
Kalau hanya ada satu makanan yang harus kami bagi

Aku rasa...
Ibu pasti rela untuk berjalan kaki
bila mendapati uang di saku hanya cukup untuk membeli susu

Ibuku memang hebat...
bisa mendobrak dunia dengan tangannya
walau tangannya tak sekuat raksasa....
Bisa membopong kami berlima di atas punggungnya
walau punggungnya bukan dari beton....

Aku tahu sekali...
Ibu bisa hebat seperti itu...
karena punya segudang cinta untuk kami

To: my great Ibu

Mbah Kakungku

Mbah Kakungku adalah sosok lelaki dewasa yang dulu sangat saya idolakan. Selain karena uang receh seratusan yang dibungkus plastik yang selalu dibagikan pada kami, bila Beliau berkunjung ke rumah kami, tapi juga karena profesi Beliau sebagai pengajar. Sampai-sampai ketika aku kecil dulu, aku ingin sekali menjadi seorang guru. Guru yang sederhana seperti Mbah Kakungku. Salah satu improvisasi yang aku lakukan untuk cita-cita kecilku itu adalah saat masih di sekolah dasar dulu, aku pernah meminjam satu ruang kelas di sekolahku dulu, untuk mengajarkan pekerjaan rumah pada teman-temanku di waktu malam hari. Kegiatan itu lumayan berlangsung beberapa bulan, dan terhenti ketika ada para orang tua temanku yang protes pada pihak sekolah, karena anak mereka selalu keluar malam pada hari sekolah. Jadilah kegiatan itu 'terpaksa' dihentikan, tetapi tetap semangat mengajarku masih menonjol, dan rumah temankulah yang kemudian jadi markas kami.

Keinginan untuk seperti Mbah Kakungku itulah yang memenuhi hasratku, dan aku merasa Bapakku tak pernah setuju dengan cita-citaku, yang mana setiap aku mengutarakan cita-citaku sebagai guru, balasan "jadi dosen" selalu dilontarkan oleh Bapakku. Mungkin menurut Beliau menjadi guru kurang bergengsi dibanding menjadi dosen.
Tetap saja profil Mbah Kakungku tak pernah lenyap di benak dan hatiku. Aku selalu senang bila berlibur di kampung halaman Bapakku itu, karena dari beranda rumah Mbah, aku bisa melihat aktivitas guru-guru TK, yang notabene adalah staff dari sekolah taman kanak-kanak milik Mbahku, ataupun menjumpai buku-buku bacaan sekolah dasar yang memenuhi lemari buku milik Mbah. Belum lagi, Mbah menambah keasyikan kami bermain di halamannya yang luas dengan memasang ayunan dari tali yang sangat panjang, agar kami bisa diayun setinggi dan sejauh mungkin.

Namun ada satu hal yang sangat tak disukai oleh Mbahku yaitu melihat kami berkumpul dengan om-omku dengan menggunakan celana pendek dan bermain kartu. Herannya, Beliau tak pernah memarahi kami, cukup menunjukkan muka tak suka atau menyuruh kami melakukan sesuatu.

Tak sempurna selalu kehidupan seseorang, begitupula dengan Mbahku ini. Beliau hanya dikaruniai satu orang anak, dan itu bukan Bapakku. Bapakku hanyalah keponakannya, yang juga menjadi salah satu anak asuhnya. Bapak dirawat Mbah Kakungku sejak umur 7 bulan, ketika Nenek kandungku meninggal dunia dan suami nenek kandungku ini menikah lagi. Selain Bapakku, beberapa om dan bulikku dari saudara-saudara lainnya turut diasuhnya.
Jiwa sosial dan ruhanilah yang mungkin membawa Beliau menjadi orang yang tak pernah pikun, mandiri (bayangkan ketika Beliau berusia 70 tahunan, Beliau berkunjung kerumah kami seorang diri, dan bejalan-jalan mengunjungi saudara di Jakarta seorang diri) sampai akhir hayatnya.
---
Perjalanan hidup sosok hebat ini hingga 85 tahun. Saat Beliau berpulang, aku baru saja menyelesaikan kuliahku. Aku ikut serta kekampung halaman Bapakku. Aku ingin melihat sosok hebat ini terakhir kali, bahkan bila mungkin aku ingin ikut mensholatkannya sebagai rasa kagum dan hormatku. Tak disangka, ketika hari pemakaman dia, beratus-ratus orang datang melayat ke rumah Mbah, tanpa berhenti, hingga setiap sudut halaman, rumah, dapur, sekolah TK penuh dengan orang-orang dari berbagai desa. Bahkan untuk aku menjalankan sholat jenazah, aku harus mengantri beberapa giliran. Pikiran hebatlah yang memenuhi benakku, Mbahku tetap bersahaja walau sudah dibalik kain kafan putih.

Satu hal yang mungkin tak bisa aku lakukan ketika menemui tulisan bahasa Arab di salah satu buku tulis, yang tergeletak di rak buku Beliau setelah pemakaman.
Menurut Mbah Putriku, buku tulis itu adalah hafalan Al-qur'an Mbahku semasa hidup yang rutin Beliau lakukan setelah melaksanakan sholat Tahajud. Subhanallah.....

Wednesday, June 08, 2005

Bersyukur

Beberapa hari yang lalu, adikku bercerita tentang seseorang yang kami kenal. Ceritanya ini tentang keluhannya tentang biaya hidup yang terus menerus mencekik, padahal menurut adikku, apa yang didapatnya pasti mencukupi buat sebulan, malah yang didengar adikku, dia sempat menyimpan beberapa rupiah untuk dirinya. "Bukannya aku menghitung rezeki orang, mbak, hanya saja telingaku terlalu pegal untuk mendengar keluhannya, padahal diluar itu, dia selalu menasehati orang untuk selalu bersyukur," papar adikku panjang lebar. "Kan kontras, mbak." Aku hanya beryaaa panjang... Terus terang mendengar cerita adikku ini, aku agak gemas sekali, aku terkadang sering keluar 'sok'nya, mau menghampiri orang tersebut dan sekedar mengingatkannya, tapi kali ini aku mencoba menahan diri. Karena di satu sisi, aku merasa tidak berhak mencampuri urusan orang tersebut, apalagi usia kami yang bertaut jauh dan satu sisi lagi, aku malah takut, aku melakukan apa yang orang tersebut lakukan, menasehati orang tapi melakukannya disisi lain. Fakta itulah yang sering menghampiri kehidupan kita sesungguhnya, mudahkah kita mendapati orang yang tidak pernah mengeluh? Pasti gelengan kepala beberapa kali akan mewarnai jawaban kita. Sukar sekali menemui orang yang benar-benar bersyukur. Aku juga bukan termasuk orang yang benar-benar bersyukur, seringkali aku mengeluhkan tentang kebosanan di tempat kerjaku, atau gaji yang kurang, hal-hal yang lumrah sebenarnya, tapi pernah membawaku pada tingkat kebosanan, ujung-ujungnya keluhan yang mewanai hariku. Lambat laun ada kesadaran sendiri dibathinku bahwa mengeluh bukan jalan satu-satunya, toh aku makin merasa kurang ketika keluhan terluncur dari mulutku. Allah Maha Adil, aku dibiarkan melihat dan belajar tentang indahnya arti bersyukur dan qanaah. Otakku agak ringan ketika aku belajar bersyukur. Hidupku berasa lapang ketika rasa bersyukur meliputi hariku, dan ketika mendapati dompet kosong di akhir bulan, tawa aku dan suamilah yang memenuhi hari kami. Mungkin begitu juga yang dirasakan suami sepupuku, dengan gajinya yang beberapa ratus ribu, memiliki tiga orang anak, mertua ikut tinggal dengannya, dia tetap menjalani hari dengan senyum. Walaupun mendengar cerita dari istrinya bahwa setiap hari dia memaksa dirinya untuk berjalan kaki dari stasiun Kalibata di kantornya, daerah Samali dan tidak pernah sedikitpun dia menyentuh gajinya untuk makan siang, tetap dia bersemangat menjalani hidup.
Itulah yang mengiris nadi dan hatiku, apalagi ketika mendapati dia harus di PHK dari kantor tempatnya karena bangkrut sedangkan saat itu anak keempatnya lahir di dunia. Banyak ucapan yang terlontar yang menyesalkan semua kejadian itu, memilik anak tanpa mempertimbangkan rezeki yang ada... Susah memang...
Dengan penuh semangat dia memboyong keluarganya kembali ke rumah orang tuanya, memulai hidup dengan berjualan kue, menikmati apa yang didapat dan apa yang diusahakan sambil membangun asa. Hebatnya lagi, suami sepupuku ini tak pernah sedikitpun datang dengan maksud meminta, selalu ada hal baik yang dia tinggalkan untuk kami, entah kerajinannya membantu tugas rumah tangga selama menginap, atau entah ketabahannya yang membuat hati kami sekeluarga semakin miris dan kagum. Dan itu yang membangunkan asa di hati kami, semoga harinya terus berjalan lebih baik dari hari kemarin. Semoga…

Thursday, May 19, 2005

Saling berbagi

"Memang kamu beli nomor disana?" tanyaku dengan nada heran ke arah temanku, yang baru saja pulang dari Munich untuk menjalani program trainingnya selama sebulan. "Nggak, Mel, aku dapat pinjaman dari Opi," sahutnya. Aku hanya ber'oo panjang. "Itulah gunanya baik ke semua orang," lanjutnya. Aku mengiyakan ucapannya yang terus terang pasti disetujui oleh semua orang.
Semua orang? Aku jadi ingat tidak semua orang akan menyetujui perkataannya, mungkin termasuk aku. Baik kepada semua orang, baik yang berkepentingan ataupun tidak kepada kita, merupakan sebuah paradoks tersendiri, terutama untuk orang-orang egois. Aku mungkin salah satunya, menilai orang, bersikap pada orang selalu memikirkan baik-buruknya, dekat-tidaknya ataupun untung-ruginya untuk diriku. Bila aku merasa tak pernah mungkin bersinggungan dengan orang tersebut, jangan harap aku akan bersikap baik padanya, cukup sekedar basa-basi, sebatas pergaulan saja. Bahkan, bila aku merasa perasaan yang tidak enak pada seseorang pertama kali bertemu, sikap antipati akan aku pasangkan didiriku. Tak pernah aku mencoba mencari apa yang tidak aku suka pada orang tersebut dengan mengenalnya lebih dulu.
Padahal, pepatah tak kenal maka tak sayang, sangat-sangat banyak contoh kebenarannya di depanku. Itulah aku dulu... Dan di babakku selanjutnya, aku dihadapkan pada situasi di negeri asing, yang hanya berisi segelintir orang yang berbahasa sama denganku disamping penduduk sana. Aku ditempatkan pada posisi yang sesungguhnya sangat nyaman, yaitu dikelilingi oleh orang-orang yang siap membantu walaupun baru pertama kali kenal denganku. Bukan itu saja, aku dibiarkan juga bersama teman kuliahku, yang dulu jarang sekali kami bersosialisasi, bahkan ketika dia bekerja di kantor yang sama denganku, pertama kali perkataan yang keluar dari mulutku ketika dia menegurku adalah, "nama kamu siapa,ya?"
Ajaibnya, ternyata di negeri asing itu, kami bisa saling berbagi, aku menumpang mencuci pakaian di tempatnya, aku berbagi Yoghurt, bahkan pada teman yang lainnya, dengan mudahnya aku bisa meninggalkan sarung tangan kulitku untuknya pada winter, ataupun rice cooker kecilku untuk teman yang baru pertama kali berjumpa.
Aku merasa ringan saat itu. Berbagi dan berbagi menjadi semacam kebutuhan bagi kami, yang mungkin bila berada di tanah air tak berpikir untuk itu. Satu keharuan yang juga terjadi saat itu, ketika teman kami yang non-muslim mengundang kami berbuka puasa di flatnya dengan menu lontong sayur, di saat itulah, dia memberikan bingkisan padaku sebagai kado pernikahan untukku. Dengan mata berkaca-kaca, aku hanya mampu mengucapkan terima kasih pada semua temanku.
Berbagi, kebersamaan sesungguhnya hal yang terindah. Hanya saja, banyak waktu yang kita habiskan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, yang kata para Eksekutif waktu 24 jam terasa kurang untuknya. Aku benar-benar bersyukur pernah mendapatkan pelajaran tentang kebersamaan di salah satu babak hidupku. Dari sanalah, aku mengerti bahwa kebersamaan dan berbagi tak akan menghabiskan waktu lama, cukup saling bertegur sapa, membagi apa yang bisa kita bagi, melengkapi apa yang kita bisa. Malah kadang hubungan seperti itulah yang bisa memperpendek waktu urusan kita, dan yang paling penting, kita tak pernah bisa menduga pula someday we really need them, seperti cerita temanku diatas.

Monday, May 16, 2005

Pelajaran dari Anak kecil

Kemarin sore, aku tak sengaja melirik satu buku yang agak kucel di sudutnya, berjudul "Latihan menulis huruf Arab". Kuraih buku biru itu dari atas meja, dan kuperhatikan satu persatu halaman buku itu. Jelas terlihat buku itu berisi rangkaian huruf-huruf Arab, dari Alif sampai Iya', dan dibawah setiap huruf, ada kolom berisi titik-titik yang bisa diikuti siapapun yang ingin berlatih menulis huruf Arab ini. Hampir seluruh halaman terisi penuh oleh goresan, yang kurang sempurna sesungguhnya, tapi tetap membuahkan kekaguman di hatiku. Goresan itu hasil karya anakku, Helmy, yang berusia 3 tahun 5 bulan.
Helmy memang terdaftar di musholla dekat rumahku sebagai murid TPA setiap senin sampai kamis sore. Itupun bukan karena inisiatifku, dia sendiri yang datang, dan ikut mengaji bersama teman-temannya. Bagiku, sangat susah untuk mulai mengenalkan Helmy baca tulis Al-quran di usianya yang masih dini. Memang, saat inipun dia terbilang murid yang paling muda disana, dan kemungkinan dia ikut mengajipun karena sebagian besar temannya yang berusia 5 tahunan mengaji disana. Tak heran, bila aku sering mendapat laporan bahwa anakku mengaji di pangkuan Ustadzahnya atau dipakaikan baju koko oleh Ustadzahnya. Pernah juga, aku ditelpon oleh Mbahnya, untuk menanyakan pensil warnanya, karena dia ingin menulis dengan pensil warna.
Begitulah Helmy dengan mengajinya, yang sering terlepas kontrol dariku. Beda dengan kegiatan playgroupnya yang selalu aku pantau. Bahkan ketika Mbahnya menceritakan Iqra 1 nya sukses, aku hanya tersenyum tak percaya, dan melupakannya setelah itu. Atau ketika Eyang putrinya, yang notabene adalah Ibuku, dengan mata berkaca takjub menceritakan tentang acara membaca Al-Fatihah bersama via telepon, aku hanya berpikir Helmy mungkin bisa karena mengekor dari Eyang putrinya. Paling yang membuat aku bersyukur dari kegiatan mengajinya, adalah karena nasehat Ustadzahnya, Helmy langsung memaksakan diri membuang hajat besar di WC, yang sudah berbulan-bulan aku coba latih, namun tak berhasil.
Itulah... sore itu, aku seperti ditunjukkan keajaiban lain dari anakku. Buku biru yang lecek itu kubawa pada suami dan kakakku, ternyata komentar merekapun tak jauh dariku, mereka tak pernah menyangka Helmy bisa melakukan itu. Sesungguhnya kemajuan anak kecil ini pernah ditunjukkan padaku sebelumnya padaku, ketika dengan setengah bergumam dia melafalkan Al-Fatihah komplit didalam mobil ketika kami berpergian atau ketika aku mendapati dia asyik menyimak VCD Iqra' dari adikku, yang awalnya kupikir tak disukai. Kami kurang memperhatikan hal-hal ini entah karena kami terlalu sibuk dengan urusan kantor kami, atau karena kami terlalu merendahkan kemampuannya. Mungkin itulah manusia, sering meremehkan yang kecil dan lemah, sampai harus ada waktu yang mana si lemah bisa membuktikan kekuatannya. Helmy telah membawa kami pada teori itu, malah dia memberikan kami cara yang tepat untuk berbenah diri, tanpa pernah sedikitpun protes dan mendikte kami.

Monday, May 09, 2005

Sore ini...

Siang ini, aku jadi teringat adikku. Bukan tentang ke'telat'annya, tapi tentang makna perjalanan karirnya, yang banyak mengundang belas kasihan dari kami sekeluarga. Setelah 2 tahun menganggur selepas kuliahnya, Erna, adikku baru bisa merasakan bekerja, itupun hanya dis ebuah kantor notaris. Aku hanya mengiba melihatnya, walaupun senyum dan ocehan supelnya tetap terpasang di wajahnya, aku tahu dengan sangat betapa kurang pendapatannya saat itu.
Ternyata Tuhan tak hanya mencobanya dengan faktor gaji, dia dihadapkan pada bos yang benar-benar jauh dari profil bos sesungguhnya. Dan cobaan itu tak berhenti walaupun dia pindah bekerja di tempat lain, situasi dan bos yang semena-mena mewarnai hari kerjanya. Ibuku sampai mengurut dada dan prihatin memandangnya. Doa beliau, aku rasa, tak berhenti untuk adikku ini.
Setelah beberapa kali, dia mengalami hal tersebut, dia seakan tersadar untuk tak bergantung lagi pada pekerjaannya. Tuhan memang Maha Adil, ketika adikku benar-benar merasa putus asa, ajakan untuk membuka usaha konsultan terbuka dari temannya, yang tak pernah diduganya. Usaha itupun terwujud, dan dengan resmi dia keluar dari kantor notaris, yang tidak bersedia membayar gaji terakhirnya.
Erna tetap ikhlas..dan ikhlasnyalah, yang kalau aku pikir-pikir membawa keberkahan untuknya. Satu persatu klien berhasil dia tangani, dan rupiah demi rupiah bisa dia kumpulkan dari dalam rumah tanpa meninggalkan anak terkecilnya.
Membayangkan itulah yang sore ini menemani benakku, ada pelajaran yang bisa diambil darinya. Bahwa Allah selalu mencreate orang dengan rezeki masing-masing dan bagaimana kita menjemputnya, dan satu kalimat bijak dari Mario Teguh seakan terbukti disini, yaitu when you are down to nothing, God's up to something.....

Tuesday, May 03, 2005

31 tahun

Kemarin. 2 Mei 2005. Aku berusia 31 tahun. Bergudang rencana dari dua minggu sebelumnya, untuk mengisi hariku ini, seharian bersama sang buah hati, seperti hari-hariku di tahun yang lalu.
Itulah rencana... nyatanya pada harinya, aku dibiarkan tak bisa keluar dari segala rutinitas kantor. Setumpuk pekerjaan mengharuskan aku menghabiskan waktu di meja kerja hingga melewati masa maghrib. Tapi, tetap namanya hari ulang tahun, banyak hal surprise yang sepertinya sengaja di create olehNya. Berawal dari acara bangun tidur, suami dengan entengnya membangunkanku tanpa sedikit kemesraan, yaitu dengan ucapan "Say, udah jam 6, bangun, mandi,gih." Beda sekali dengan cara Ibuku bila membangunkanku pada hari ultahku, pasti ciuman di pipiku mendarat dengan manisnya disertai ucapan "selamat ulang tahun". Dan tololnya, dengan setengah mengantuk, aku sama sekali tidak protes, malah aku segera lari kekamar mandi dan menyiram tubuhku di bawah shower. Baru saat itu, aku sadar, aku berulang tahun ya....belum lama pikiran itu datang, sebuah teriakan kakakku menyerbuku, "Mel, Happy birthday,ya..." yang sepertinya terburu-buru pergi ke kantor.
Begitulah hariku dibuka, yang akhirnya ucapan selamat ulang tahun keluar dari mulut suamiku.
Ucapan semacam itu kadang seperti magic buatku, membuatku kadang terharu, apalagi kalau itu datang dari orang yang tak kuduga sebelumnya. Seperti tanteku, yang sudah lama sekali tak pernah kuhubungi, dia menghubungi Ibuku dan bilang "Hari ini Meli ultah,ya, bude". Uiih..aku sampai terheran-heran, "Ibuku bilang kalau ultah kamu sih pasti ingat, wong pas pendidikan nasional." Hahaha..aku sempat geer juga, ternyata beliau ingat karena tanggalnya sama dengan hari nasional disini. Belum lagi, candaan teman-teman di kantor, mereka sempat bikin keributan yang membuat pipi dan telingaku memanas, karena polahnya. Tetap...yang satu itu masih bisa dimaafkan untuk hari ini.
Hariku seakan makin lengkap dengan aku dan beberapa temanku ditraktir lunch di marche, seperti kebiasaan pada umumnya di departemenku, kemudian mendapatkan satu kartu dari asuransiku, dengan kata-kata yang sangat bagus : "No matter how old you are, there's something good to look forward to.."
Aha, kata-kata tersebut seakan mengingatkanku, bahwa berulang tahun bukan masalah bagaimana mengisi harinya, tapi seharusnya aku mulai memikirkan kemajuan apa yang menunggu di depan dan harus dijemput.
Jadi, sebenarnya poin-poin surprise tersebut hanya untuk menghias hari jadi, dan mengingatkan aku bahwa begitu banyak teman, saudara yang aku punyai...betapa berharganya waktu yang mereka luangkan untuk memberi ucapan selamat padaku, memberikan bingkisan bahkan untuk sebuah kecupan dan nyanyian selamat ulang tahun, seperti yang diberikan oleh Helmy, buah hatiku. Terimakasih untuk semuanya,ya.. Alhamdulillah...

PS: coretan yang baru bisa lengkap setelah 2 hari dari kejadian...(dan ini salah satu bingkisan untuk diri sendiri, boleh,kan?)

Friday, April 15, 2005

Keteguhan

"Nggak bisa, Mel, Rina lagi sibuk mau pindahan," jawab Rina, sahabatku, ketika aku mengajaknya menjenguk salah satu sahabat kami yang baru melahirkan. Aku maklum dengan kesibukannya ini.
Sudah beberapa bulan ini, Rina memang merencanakan hijrah ke rumah sendiri, karena adiknya telah menikah dan menempati salah satu kamar di rumahnya. Sebenarnya, menurut Rina, kamar adiknya, Eci, yang berada diatas masih akan ditempati oleh Eci dan suaminya. Hanya saja berarti adik bungsunya, yang kebetulan ditempatkan dilantai yang sama, keberatan karena harus bercampur dengan kakak iparnya, yang artinya dia tak bisa melepas hijab di dalam rumah. Karena itu dan alasan lainnya, dia memilih hijrah ke rumah barunya, dan kamarnya yang dibawah ditempati oleh adik bungsunya, agar lebih leluasa.
"Biasanya, Mel, kita pakai isyarat seruan kalau salah satu ipar kita mau ke bawah atau ke atas, jadi kita bisa segera memakai hijab," paparnya ketika aku bertanya lebih jauh tentang konsekuensi tersebut.
Mungkin bagi sebagian orang, bahkan saya, hal tersebut sangat merepotkan. Jangan, kan, seperti itu, bahkan untuk menemui tamu dirumahpun, aku malas melakukannya, karena berarti aku harus mengenakan hijab plus baju panjang.
Bukan itu saja, beberapa minggu yang lalu, ketika ibu saya mengadakan pengajian di rumahnya, saya pernah pasrah tak berhijab dihadapan adik iparku dan sepupuku dengan alasan yang sepele. Sudah terlanjur terlihat, begitu bisik hatiku. Dan itu aku lakukan dengan entengnya. Entah karena keluarga kami yang tak begitu kental menjalankan agama atau mungkin baru aku yang memulai memakai kerudung, aku seakan membenarkan tindakanku.
Namun ketika sore menjelang, kesadaranku timbul, aku memakai hijab kembali, itupun setelah aku merenung agak lama, dan akal sehatku mulai lurus.
Mungkin kejadian tersebut tak pernah dilakukan sahabatku yang satu ini. Karena dasarnya sudah kuat, istilah Sami'naa wa attonah, dijalankannya. Apa yang dia dengar, dia segera menjalankannya. Apa yang salah selama ini, dia segera perbaiki.
Karena itulah, pertanyaanku seputar agama sering mampir padanya. Rina selalu membantu sesungguhnya tanpa sedikitpun mengguruiku. Bahkan dengan bekal agamanya, dia bisa diterima di berbagai pihak, berbagai agama.
Pengamatan itulah yang sesungguhnya sering menjadi diskusi antar aku dan teman kantorku, yang kalau orang bilang sering mbandel sama segala aturan. Sering merasa aneh bila menuruti semuanya dengan strict, dan ujungnya, karena ingin merasa nyaman, aku sering membelokkan hati seperti kejadian diatas. Dan kalau aku mencoba 'lurus', betapa aku merasa semua mata memandang dan mengamati tingkahku yang lain dari umumnya.
Itulah... padahal kalau diamat-amati, tak semua orang peduli dengan apa yang aku lakukan. Untuk berubah sedikit saja, tak membuat semua orang melirik. Hanya saja rasa ge-er yang sering menguasaiku, termasuk ketika aku memutuskan untuk memakai kerudung. Seribu pertanyaan hinggap di benakku sebelum aku memutuskan hal yang terbilang wajib ini, seperti apa alasanku memakai kerudung, ataupun sekedar komentar-komentar, yang mungkin saja positif sebenarnya.
Dengan berbekal beberapa komentar dukungan dari temanku, suamiku dan ucapan sakti "Bismillah" aku memulai hari baruku dengan berkerudung...ternyata bayangan yang sempat menghidap bertahun-tahun di benakku, sedikit saja terjadi. Semua begitu mudah bila niat pada dasarnya. Ah..aku jadi merasa berhutang bertahun-tahun dengan Sang Khalik untuk satu ini, yang sebenarnya bisa beres kalau aku berani.
Mungkin rasa berani dari Rinalah, yang membuat dia begitu teguh pada agamanya. Aku bersyukur sekali menjadi salah satu sahabatnya. Cintanya dan ketekunannya selalu menjawab pertanyaan-pertanyaanku, yang pasti setelah itu akan menimbulkan pertanyaan untuk diriku sendiri, kapan ya aku bisa seteguh Rina?....


PS: for Rina, my best teacher...

Monday, April 11, 2005

Suamiku itu positif!

Rabu pagi. Saatnya mendengarkan wejangan dari Pak Mario di Ramakofm. Aku dan suamiku sudah bersiap-siap mendengarkan topik hari itu, yang pastinya akan sangat berguna bagi kami. Akhir-akhir ini kami memang seperti keranjingan mendengar suara positif yang disampaikan oleh Pak Mario tentang self development. Bagiku, mendengarkannya banyak memberikan input positif bagi kami untuk ke depannya.
Topik Rabu itu yang dibawakan oleh Pak Mario adalah tentang powerful atau powerless. Satu kalimatnya yang membawa alam pikiran saya adalah tentang seringnya kekuatiran orang akan masa depan. Padahal masa depan itu adalah masa yang paling baik, begitu katanya, jadi tidak perlu dikuatirkan. Yang terpenting adalah apa yang kita lakukan hari ini, doing right now.... Mendengar kata-katanya ini terus terang seakan menohok perasaanku. Aku seperti dibawa kembali ke kenyataan bagaimana akhir-akhir ini saya sibuk memikirkan masa depan saja, tanpa pernah melihat hari-hari yang dilalui.
Aku melirik ke arah suamiku. Seperti biasa, wajahnya tetap tenang, atau kalau aku sering menggodanya, sok cool... Sekilas dia sempat tersenyum, dan komentar pendeknya, " benar juga,ya, say, apa yang Pak Mario bilang."
Singkat. Padat. Aku hanya mengangguk-angguk tak jelas. Di satu sisi hatiku ada perasaan yang tak menentu tentang tingkah lakuku yang muncul menjelang awal bulan, saat mengisi tabel excel sheet untuk mengisi pengeluaran kami sebulan kedepan. Kalau dipikir-pikir tingkah lakukku ini benar-benar menyebalkan, aku sering mengeluh padanya tentang bagaimana masa depan kami kalau kami amsih seperti ini, belum lagi keluhan itu ditambah dengan teoriku tentang penurunan nilai hidup, dan tahu jawaban suamiku? "Tenang saja, say, rezeki pasti ada kok.."
Adduh... terus terang aku sering gemas melihat ketenangannya. Kadang bagiku, suamiku orang yang benar-benar 'lurus'. Malah ketika semprotanku mulai tak beraturan, dia masih bisa tersenyum dan diam. Dan bisa ditebak marahku seakan sia-sia...akhirnya diam merengutlah pilihanku.
Itupun berlaku bila aku mulai mengeluh tentang kebosananku di kantor, yang makin meninggi dari titik jenuh. Petuah-petuahnyalah yang sering menemani tangis kebosananku, dan lag-lagi sering tidak mempan. Namun bukan suamiku namanya, kalau dia bosan memberikan petuah. Ketika dia mendapatiku menangis bosan dengan kantor, dia kembali menjulurkan petuah-petuahnya, dan ampuhnya lama-lama aku merasa terbiasa, dan lumayan adem dengan petuahnya. Banyak benarnya sesungguhnya.... Hanya saja aku sering keras kepala untuk menanggapinya.
Itulah suamiku. Yang nyaris perilaku dan tindakannya begitu tenang dan positif. Karena dialah, aku sekarang punya jawaban untuk pertanyaan orang seputar kebetahanku bertahan di kantor, padahal tak sesuai dengan keinginan. Karena dialah, aku akhir-akhir ini sering merasa lapang menerima bagian rezekiku. Dan karena dialah, aku merasa positif untuk masa depan kami.
Sekali lagi aku melirik ke sebelah kananku, kulihat suamiku masih tenang mengendarai mobil tua kami, padahal arus lalu lintas sangat padat. Kalau ada orang yang mengeluh macet, dia hanya berkomentar, "Yah.. bukan Jakarta kalau gak macet, Pak."
Sesungguhnya dia orang biasa seperti aku, hanya saja aku bersyukur punya pendamping yang 'lebih' dariku, walau dia mungkin bukan pengusaha sukses seperti suami temanku. Atau mungkin dia bukan orang-orang yang hebat seperti teman-temanku. Tapi cukup, dia buatku...Alhamdulillah...

PS: for my lovely hubby, Nowo

Wednesday, March 23, 2005

Ibu Tua

Petang menjelang ketika aku melangkahkan kaki keluar gerbang kantorku.
"Nak, nak," sebuah suara parau menyambut langkahku. Aku membalikkan badanku dan memandang ke arah datangnya suara tersebut. Tampak seorang wanita tua berkebaya dengan tas di lengan tersenyum padaku.
"Ada apa,bu?"
"Nak, ini Pancoran?" tanyanya.
"Iya, bu. Ibu mau kemana?"
"Saya mau ketemu anak saya, Hasan. Di departemen hankam," jawabnya
"Setahu saya, tidak ada departemen hankam di daerah sini,bu. Tapi, tunggu..." aku mengeluarkan handphoneku dan mendial rumah Ibuku. Aku yakin sekali Ibuku tahu letak departemen ini, karena Ibuku seperti walikota Jakarta, begitu saya sering menyebut Beliau. Beliau punya ingatan luar biasa tentang jalan-jalan ibukota, bahkan sampai nomor angkutan umum, Ibu tahu semua. Dan benar dugaanku, Ibu dengan detail menyebutkan alamat dan bis yang harus ditumpangi. Segera aku menjelaskan pada Ibu tua dihadapanku. Tak lama dia menggelengkan kepala.
"Bukan, Nak. Seingat saya itu di Pancoran. Beberapa tahun lalu, saya pernah kesini dengan anak saya, Hasan," sahutnya seakan ingat semua jalan di Jakarta ini.
"Hmm..kalau begitu, Ibu tunggu saya telpon teman saya yang bapaknya di AU ya...siapa tahu dia bisa bantu." Kumulai mencari nama temanku di phone bookku.
"Sekalian, nak, bilang sama temanmu, nama anak saya Hasan."
Perkataannya yang menyusul langsung menghentikan kegiatanku. Aku jadi merasa ragu untuk mengklarifikasi, takut misi dan maksud Ibu tersebut bertentangan denganku.
"Ibu, Jakarta itu luas. Belum tentu semua orang tahu anak Ibu. Nah, anak Ibu itu kerja di Departemen hankam?"
"Nggak, nak, dia tinggal dekat Departemen Hankam." Makin melongolah aku dibuatnya.
Perasaan bingung dan kasihan berkecamuk di dalam bathinku. Akhirnya, setelah lama bercakap-cakap, baru tahulah aku bahwa Ibu ini datang dari Lampung, dan mendapatkan dirinya kecurian, dari alamat anaknya, oleh-oleh untuk keluarga anaknya sampai helaian bajunya. Aku berusaha menengahi kebingungannya dengan mencoba menanyakan nomor telepon Beliau di Lampung, itupun tak dipunyainya.
Singkat cerita, Ibu itu bersikeras ke mampang, dan akan berjalan kaki dari Pancoran kesana, karena takut tersesat lagi. Aku masih mencoba membujuknya, tapi tak berhasil. Kamipun berpisah tanpa sedikitpun bantuan dariku. Aku hanya terus berdoa agar Ibu tersebut dapat menemukan rumah anaknya.
Waktu aku menceritakan suamiku tentang kejadian itu dan kecemasanku. Dia mengingatkanku Ibu tersebut akan memperoleh bantuan pula dari orang lain. Upps, lega mendengarnya... Semoga saat ini Ibu tersebut tengah bercengkerama dengan anak cucunya. Amien.

Monday, March 21, 2005

Engkau

Aku ingat Engkau...
Ketika di persimpangan jalan ini
menunggu keputusan bathinku
untuk memilih...

Aku ingat Engkau...
Ketika pertanyaanku
menjadi sebuah pertanyaan
menanti jawaban yang tak pernah kunjung...

Aku ingat Engkau ....
Ketika senyumku ada di bibirku
karena jawaban yang Engkau pilih....
seakan menjawab kegundahanku...

Aku selalu ingat Engkau sesungguhnya....
walau kadang masih berharap pamrih...
walau kadang disertai keluhan yang tak berujung...

Dan...
Engkau tak pernah berhenti menemaniku...
mengingatkanku...
Adakah yang lebih indah dari itu?

Tuesday, March 15, 2005

Super Woman

"Nanti sore, ketemu ibu di dokter ya, nduk," begitu kata-kata ibu yang selalu menyertai kepergiannya ke kantor bila aku sakit.
"Tapi dapat coklat,ya,bu," rajukku. Ibu hanya mengangguk tersenyum dan mencium dahiku. Tak lama kemudian, aku pasti akan mendengar ibu mewanti-wanti bulik yang menjaga kami berlima dengan segala pesan, termasuk pesananku untuk mendapat coklat Silver Queen.
Itulah sebagian upacara kecil yang selalu aku kenang tentang ibuku, yang notabene wanita pekerja.
Ibuku memang tidak seperti ibu-ibu temanku yang lain, dia sibuk dengan aktivitas kantor dari jam 7 pagi sampai jam setengah lima sore. Lepas itu, ibu yang kuingat selalu punya waktu untuk kami, apa untuk menemaniku belajar menulis indah (untuk satu hal ini, ibuku hebat sekali), atau hanya duduk menemani kami menonton televisi. Karena perbedaan itulah, aku sering protes pada ibu untuk tidak bekerja. Saat itu bagiku, kalau ada ibu dirumah, aku bisa minta izin beliau pada siang hari untuk ikut latihan menari jaipongan dan tidak perlu pergi mengaji, kalau ada ibu dirumah, aku bisa meminta beliau untuk menemaniku makan siang, dan kalau ada beliau di rumah, aku bisa berlari-lari dengannya di sore hari seperti yang dilakukan teman-temanku dengan ibunya. Namun sekali-kali ibu tak pernah melakukan itu, melepaskan pekerjaannya dan murni menjadi ibu rumah tangga, karena ibu selalu bilang ibu ingin anak-anak ibu semuanya bisa sekolah sampai menjadi sarjana, dan tidak seperti ibu yang hanya tamat SMA.
Ketika itu, aku tidak mengiyakan kata-kata ibu, aku yang memang pada dasarnya suka berkhayal, malah sibuk menghayalkan diriku dewasa nanti. Tahu apa yang aku khayalkan dulu?... Aku selalu berkhayal hidup di desa, dengan cukup menjadi ibu rumah tangga atau kalaupun bekerja, tak perlu sampai sore, yaitu jadi seorang guru, dan suamiku boleh bekerja di Jakarta. Sederhana dan sedikit 'memalukan' bukan untuk diceritakan saat ini?.... Nyatanya, waktu aku mengatakan itu, Ibu hanya tertawa kecil, mungkin di benak beliau, lihat saja nanti...
Dan inilah aku sekarang...yang duduk di samping tempat tidurku mengompres kepala Helmy, anakku, yang tiba-tiba panas tinggi, sambil sebelah tangankutak berhenti bergerak mengetik huruf-huruf di keypad handphoneku.
Ternyata, kesibukan Ibuku dulu menular padaku. Aku harus bekerja dan menjadi seorang ibu secara bersamaan. Tak ayal, kejadian seperti mendapatkan anak yang tiba-tiba demam sepulang kantor juga harus aku hadapi. Kejadian seperti dikejar pekerjaan dan kepentingan mengurus anak seakan terus berlomba. Untungnya, aku pernah melihat ibu seperti apa dulu... Untungnya, aku pernah disertakan training tentang prioritas hidup sehingga aku selalu berusaha memenuhi prioritasku dulu, untungnya aku punya suami yang bersedia membahu untuk anak kami, untungnya aku hidup di zaman ini, yang mana handphone dan mobil sudah seperti barang primer untuk mempermudah hidup dan untungnya lagi, Allah selalu menunjukkan kemudahan padaku.
Ingat semua itu, seakan diingatkan kembali pada Ibu... Aku jadi membayangkan bagaimana susahnya Ibu dulu membawa kami ke dokter seorang diri, karena mengandalkan Bapakku tidak mungkin. Bagaimana Ibu dulu harus berkejar dengan waktu pulang kerja dengan hanya mengandalkan bajaj atau bis untuk mengantar kami ke dokter. Bagaimana ibu dulu menahan diri untuk tidak berbelanja bagi dirinya sendiri agar kami bisa menjadi lebih baik dari Beliau... Begitu banyak yang Ibu lakukan untuk kami... yang bilapun dibanding dengan apa yang dilakukan Ibu-Ibu temanku, pastilah Ibuku lebih unggul, karena dia bekerja untuk kami. Bahkan kalau saat ini ada pemilihan Super Woman, maka aku yakin Ibuku akan menjadi pemenangnya...
I love you, Mom.... Thanks for everything.....

Friday, February 25, 2005

Seputar 'kebiasaan' baruku

"Adduh, ada Iwan...kok gak bilang-bilang sih kalau mau masuk," ujarku sambil berlari ke kamar tidur terdekat di deretan kamar rumah ibu. Langsung aku menggebrak pintu yang lumayan berat dan bagus itu.
"Ih..kenapa sih lo, mbak. Iwan juga suka lihat lo tanpa kerudung di rumah," bela adikku, yang notabene kekasih Iwan.
"Itu lain, ki.. mbak kan gak sengaja keluar kamar, lupa pakai kerudung. Nah, kalau sekarang, mbak kan ingat dan kalau terlihat, mbak dosa, ki," paparku. Kiki, adikku, hanya sempat aku dengar menggerutu tidak jelas. "Tolong ambilkan kerudung, dong," pintaku padanya. Kiki segera menjulurkan tangan dengan kerudung dan dalamannya. Tapi sial sekali lagi, aku lupa pada pengikat rambutku.
Pagi itu, memang seperti beberapa hari yang lalu, aku mampir ke rumah ibu, karena terlalu pagi untuk ke kantor. Jam 7.00 pagi aku tiba di Jakarta. Bagiku, terlalu pagi untuk duduk di kursi kerjaku, yang biasanya akan mulai ramai sekitar pukul 9.30. Aku langsung naik ke ruang atas, karena aku ingin mengangin-anginkan rambutku yang masih basah. Sempat sebelum membuka penutup kepalaku, aku bertanya pada adikku, apakah Iwan, yang biasa mengantarnya ke kantor, akan langsung naik. Menurutnya, aku akan mendengar bila Iwan tiba. Karena itulah aku berleha-leha di ruang tengah sambil bercerita ngalor-ngidul dengan adik-adikku dan ibu, dan tak sadar bahwa Iwan telah datang dan tanpa suara telah ada di ruang tengah atas.
Kejadian itu sering mengelana disisiku sejak aku memutuskan untuk memakai kerudung. Di satu sisi hatiku yang bisa dibilang mudah tersinggung, aku mencoba untuk biasa menghadapi beberapa kejadian, walau sejujurnya ada kekecewaanku mendapati beberapa kejutan dari beberapa orang yang terbilang dekat. Kadang hal itu menimbulkan pergolakan bathin didiriku, ujung-ujungnya aku mengambil jalan singkat dengan bertanya pada sahabatku. Tetap ada semacam execuse yang aku sering iyakan, karena takingin repot. Belum lagi, aku seperti dilihatkan beberapa kelalaianku pada 'kebiasaan'ku yang baru ini, seperti aku pernah lupa mengenakan kerudung waktu aku keluar rumah ketika ingin menaikkan power lampu, aku pernah juga menggulung bajuku tinggi-tinggi ketika mengambil wudhu di tempat umum, aku pernah hampir menggulung lengan bajuku waktu aku akan makan di restoran padang pinggir jalan, dan satu lagi yang diingatkan kembali oleh kiki, aku pernah keluar kamar terburu-buru ketika akan mengambilkan kacamata mainan untuk anakku padahal saat itu ada tamu lain dirumahku, plus aku pernah tanpa kerudung sedang memengku anakku dikamar, dan adikku bersama pacarnya pamit dengan melongokkan kepala dari pintu yang tak terbuka lebar. Itulah pada dasarnya aku, yang mungkin sudah dimakan usia ataupun dosa yang menggunung, sering lupa pada habitnya yang seharusnya. Sedangkan aku sering sekali mengejek suamiku atas kealphaannya pada sesuatu, dan ternyata ejekan itu berbalik ke arahku. Astagfirullah... betapa aku diingatkan terus olehNya..Terima kasih.... Izinkan aku jadi hambaMu yang makin bertambah baik setiap hari....

Wednesday, February 23, 2005

Kenapa, bunda?

"Kenapa bunda harus pakai kerudung?" tanya anak kecilku dengan bahasa cadelnya. Aku memandangnya sambil tersenyum.
"Karena tidak boleh, mas," jawabku sesederhana mungkin padanya. Anak kecilku, Helmy, biasa aku panggil dia dengan sebutan 'mas'. Sebutan tersebut sekedar untuk mengingatkannya bahwa dia anak sulung yang bila saatnya nanti punya adik, akan punya tanggung jawab yang besar pada adiknya.
"Sama siapa, bunda?"
"Sama Allah," jawabku sambil berusaha membenarkan helai kerudung di kepalaku.
"Kenapa, bunda?" tanyanya lagi sambil mata bulatnya mengamati kesibukanku. Aku membalikkan badan, memandang ke arahnya dan meraihnya kepelukanku.
"Kalau bunda tidak pakai, bunda akan kena marah Allah. Mas, nggak mau kan bunda dimarahi Allah?"
Dia menggeleng. Untungnya, kali ini dia tidak menanyakan lagi siapa Allah. Mungkin karena dia pernah menanyakan siapa Allah padaku beberapa waktu lalu, ketika dia mulai bisa berbicara dan ketika dia bisa dengan leluasa menanyakan apa saja yang aku dan suamiku lakukan.
Masih terekam jelas dibenakku, waktu pertanyaan itu singgah, aku memutar otak untuk menjawab pertanyaan sederhananya, namun sulit untuk dijawab.
"Allah itu yang menciptakan bunda, ayah, mas, eyang putri, teman-teman mas Helmy, Olda, mbah... Allah juga yang ngasih uang ke bunda sama ayah, biar bisa beli susu buat mas."
"Allah tinggal dimana?"
"Dimana-mana. Disini, diatas.." jawabku sambil menunjuk hatiku. Dengan mata bulatnya, dia mengangguk. " Allah bisa lihat mas Helmy dimana saja mas Helmy main," lanjutku.
Entah mengerti atau tidak, setelah mendengarkan jawabanku, dia menarik tanganku untuk menemaninya bermain.
Itulah pertanyaan kecilnya, sering membuat kami geli sampai speechless, karena tak mampu menjawab. Pertanyaannya sering muncul sampai hal-hal terkecil seperti anak-anak seusianya. Dan tak aneh pula, waktu aku dan suami sering mendapatinya berkata 'aku belum sholat,bunda' atau ketika kami sedang menghabiskan waktu akhir pekan diluar rumah, sering kami merasa diingatkan dia dengan kata-kata 'kita ke mesjid aja, ayah', sewaktu dia mendengar percakapan kami yang masih ragu-ragu untuk sholat dimana. Aku yakin sekali, anak kecilku itu memang suka berada dimesjid yang luas hanya karena merasa leluasa berlari-lari, setelah sebelumnya dia berwudhu mengikuti gerakan ayahnya, kemudian sholat tapi minus ruku' yang sempurna dengan rakaat yang kurang dari semestinya, ataupun dia merasa gembira bisa mendapati aku dibalik hijab pemisah jamaah wanita dan pria.
Pernah suatu ketika, dia ikut kami kepusat perbelanjaan yang padat di kawasan mangga dua, ketika kami mampir untuk sholat, terdengar dengan jelas ucapan 'Allahu Akbar' dia yang sangat nyaring. Aku nyaris terbuyar konsentrasi untuk sholat. Dan tak lama ucapan 'Amin' pun terdengar nyaring. Saat itu beberapa bapak-bapak tersenyum-senyum mendengar ucapannya, begitu cerita suamiku. Semburat rasa bangga sempat mampir ke relung hatiku.
Aku memang merasa sering dibuat takjub olehnya. Mungkin itu pula yang sering mampir ke orang tua lainnya tentang anak mereka.
Namun, tetap di balik itu, ada juga tingkah-tingkahnya yang suka menjengkelkan kami, apalagi untuk hal-hal baru. Seperti ketika aku baru saja mengenakan kerudung, di bulan Ramadhan 1425 H lalu, dia dengan tangisnya yang keras menarik-narik kerudungku agar dilepas. Saat itu, aku benar-benar seperti putus asa, sambil memandang suamiku yang berusaha menenangkannya, aku terus melafalkan Alfatihah dan doa kecil. Alhasil, dia berhenti dengan mudahnya. Kejadian itu terus berlangsung sampai beberapa hari, terutama ketika aku harus pergi dengannya. Syukur Alhamdulillah, setelah itu dia seakan mengerti dan pertanyaan seperti diatas terus bergulir, dan ketika aku harus menemui tamu dengan mengenakan kerudung.
"Bunda, kok, pakai kerudung?" tanyanya kala itu.
"Iya, kan ada om Iwan. Bunda malu."
"Malu kenapa?"
"Malu gak pakai kerudung,mas," jawabku hanya membalikkan kalimat.
"Takut, bunda?"
"Iya, mas," jawabku yang tahu kemana arah pertanyaannya.
"Takut sama siapa?"
"sama siapa,mas?"
"Allah, bunda," jawabnya riang seakan memenangkan pertandingan.
"Pintar ya anak bunda," ujarku sambil mengelus helai rambutnya.
"Mas Helmy pintar karena sekolah, bunda."
Aku tertawa kecil mendengar jawabannya.
Celotehannya seperti itulah yang selalu kami ulangi dalam perjalanan menjemput rezeki setiap hari. Aku dan suami seakan tak berhenti dihibur oleh 'mas' kecil kami. Memandang mata bulatnya, mendengar celotehannya adalah hiburan yang terindah bagi kami selepas bekerja seharian. Kami suka berandai-andai apa jadinya kami kalau kami tak diberi kepercayaan oleh Allah untuk makhluk kecil ini...benar-benar tak bisa kami bayangkan. Alhamdulillah,untuk semuanya ya Rabbi....

Monday, February 21, 2005

MencintaiMu

MencintaiMu...
adalah sesungguhnya hal yang sederhana
kalau saja aku sadar
bahwa hari-hariku selalu dihiasi kebaikanMu
keramahanMu...

MencintaiMu..
adalah sesungguhnya mudah
kalau saja aku tak banyak menuntut
membandingkan apa yang Kau beri padaku
dengan apa yang Kau beri pada lainnya

Pada kenyataannya...
aku terlalu sibuk...
hanya bisa menyapaMu dengan sekedarnya
hanya bisa mengingatMu sambil lalu
padahal banyak waktuku
yang tercurah untuk mimpiku
yang terbuang sia-sia...

Aku ingin sekali mencintaiMu
dengan segala keikhlasanku...
seperti Engkau padaku...

Aku ingin sekali memelukMu
merengkuh namaMu...
dalam setiap babak yang kumiliki....

Izinkanlah aku, ya Rabbi....

Tuesday, January 25, 2005

Lelakiku

Lelakiku tadi pagi bertanya...
Masihkah hatiku untuknya?

Lelakiku kemarin malam datang...
Membawa sebuket mawar...
Masih bisakah hatiku memafkannya?

Lelakiku tak akan pernah lagi bertanya...
Senyumku sudah cukup baginya
Masihkah kau ragu padaku?

Monday, January 24, 2005

Dasar...

Senin pagi. Hujan dari malam, dan bisa ditebak bagaimana rupa jalanan... macet...dimana-mana air tergenang. Alhamdulillah sekali, aku masih bisa santai di dalam mobil yang dikendarai suami dengan ditemani dialog interaktif di ramako fm. Bahasan pagi ini masih tentang bencana tsunami di Aceh. Masih ada rasa ngilu, iba dan geram di hatiku ketika pembahasan tentang sumbangan untuk para korban dimulai. bagaimana tidak, kejadian 26 Desember itu, tepatnya hampir sebulan itu, masih seputar tentang sumbangan yang tidak merata ataupun sampai turis-turis bencana, begitu istilah dari mereka.
Sampai-sampai suamiku yang sedang sabar-sabarnya menyetir sempat komentar, seharusnya sumbangan itu dikoordinir perdaerah, katanya. Mulailah debat diantara kami mulai, dari analisaku tentang kemungkinan seharusnya Departemen Sosial harus lebih berperan, sampai akhirnya timbul pertanyaan dari suamiku, memang masih ada DepSos?
aku dengan percaya dirinya mengiyakan, padahal seperti biasanya, kalau aku ditanya balik, ketidakpercayaan diriku tentang sesuatu mulai luntur.
Ujung-ujungnya pembahasan kami ke tetangga kami yang baru balik dari Aceh untuk menyerahkan bantuan dari kantornya. Suamiku sempat bertemu dengannya sepulang sholat Jumat, Idul adha kemarin, dan dari ceritanya, suami bilang dia keliling untuk lihat kondisi, dan sempat melihat gedung berlantai 15, hanya tersisa dua lantai teratas. Disana-sini masih banyak jenasah yang belum terangkat. Belum lagi tentang pembakaran puing-puing, yang kadang jenasah yang tertindih dan susah dievakuasi ikut pula.
"Yah, itu yang saya tidak suka,say, begitu kata suami, orang hanya datang menyerahkan bantuan tidak sekalian jadi relawan. Karena melihat medan yang begitu berat, seharusnya mereka sudah siap tempur dari Jakarta. Kayak teman saya dikantor, dia ke Aceh menyerahkan bantuan, eh.. sempat-sempatnya berfoto diantara puing-puing, pakai kacamata hitam lagi. Mungkin ini ya yang disebut turis bencana."
Tapi memang dasar manusia, kami hanya bisa menilai orang lain, mengkritik para relawan yang belum menyiapkan diri untuk siap tempur, malah menyusahkan... padahal apa yang kami perbuat? Pertanyaan itulah yang kemudian timbul diantara percakapan kami, mereka mungkin malah lebih baik dari kami, yang hanya bisa menonton berita tentang Aceh, mengelus dada, menitikkan airmata, dan hanya memberikan bantuan yang tak sebanyak perjuangan para relawan. Kami sempat termenung dan malu. Astagfirullah... Bantulah saudara-saudara kami di Aceh, ya Allah... Kuatkan bathin dan bantu mereka untuk bangkit. Amien...

"Allah tak pernah memberi cobaan yang kita tak bisa memikulnya"

Tuesday, January 18, 2005

Doa

Siapakah yang tak pernah meminta? Pasti sulit menemukan jawabannya. Tak ada orang sepertinya yang tak pernah meminta, baik kepada orang tua, suami, teman ataupun pada Yang Pencipta. Nah, permintaan atau bahasa halusnya disebut permohonan kepada Sang Pencipta inilah yang sering kita sebut doa.
Kadang buat saya, doa seperti peletup semangat yang bisa tiba-tiba muncul disela-sela kebosanan, atau bisa jadi pelega hati ketika sedang dirundu duka, atau bisa jadi malah semacam rutinitas tanpa saya bisa yakin kalau doa saya akan terkabul. Tapi memang begitulah manusia, terutama saya, yang kadang merasa begitu pasrah dalam doa, namun seringkali merasa bosan dengan doa. Yah, bagaimana tidak bosan, kalau doa-doa yang dipanjatkan hanya berisi permintaan yang sama, yang hari demi hari dipanjatkan tanpa melibatkan hati, hanya lafal saja. Dan herannya, sebagaimana bosannya saya melafalkan doa, tetap rutinitas itu saya lakukan. Karena bagi saya, dalam keadaan 'sadar' ataupun tidak 'sadar', saya yakin sekali Allah masih mau mendengar doa saya. Allah tak akan pernah bosan mendengar doa saya, walaupun isi doa saya tak berisi kalimat-kalimat permohonan agar saya lebih dekat padaNya, yang ada hanya isi keluhan-keluhan saya agar mendapatkan kehidupan (tentunya duniawi!) lebih baik dari saya, dapat pekerjaan lebih baik dari sekarang, dan dipermudahkan segala urusan.
Itu selalu yang saya lafalkan....
Sampai suatu ketika dibulan Ramadhan yang suci, ketika saya sholat taraweh berjamaah dengan suami, suami saya melafalkan satu doa dalam bahasa Arab, yang saya reka-reka artinya apa. Untuk memastikan artinya, seusai sholat, saya sempatkan bertanya pada suami tentang arti doanya. Seingat saya, suami cukup gamblang menjelaskan arti doa tersebut, dan dengan bimbingannya, saya coba untuk menghafalkan. Tapi, mungkin karena dosa saya yang sudah terlampau banyak, lafalan doa dari suami tercinta tak pernah dapat kuhafalkan. Akhirnya, suami memberikan clue, cukup dengan memohon kebaikan dunia akhirat, Insya Allah urusan kita terlampaui untuk dunia dan akhirat, begitu jelasnya.
Sejak itu, doa yang saya panjatkan berubah, untuk orang-orang terdekat, saya selalu memohon kebaikan dunia dan akhirat, dan untuk saya, selain lafal itu, masih saya tambahkan keinginan-keinginan saya.
Itulah yang saya sebut doa rutinitas selanjutnya... hampir setiap saat ketika saya sholat, doa itulah yang menyertai saya. Membuat saya semakin hari semakin ringan mengucapkan, dan kadang menimbulkan keputus-asaan ketika keinginan saya, yang saya adukan padaNya, tak terwujud.
Toh, saya tetap berusaha 'sadar', kadang sesuatu yang menurut kita baik, belum tentu sepenuhnya baik buat kita. Selain itu, saya coba mulai mencari tahu apa faktor yang menentukan doa itu dikabulkan, salah satunya yang saya dapat dari sahabat sekaligus guru bagi saya, dia sempat mengatakan sambil lalu, bahwa makanan juga menentukan faktor doa kita dikabulkan atau tidak. Terus terang ucapannya yang sambil lalu itu membekas di hati saya. Saya merasa harus bebenah diri. Saya merasa harus lebih mawas tentang makanan. Saya mencoba sedikit demi sedikit.
Namun 'ketidaksadaran' tetap menghantui saya, saya kembali putus asa dan bosan dengan doa saya. Untungnya, disaat-saat itulah saya coba beralih ke hal-hal lain, yang bisa menghapuskan sementara memori saya tentang harapan yang berlebih.
Puncaknya, ketika saya mengikuti sebuah tausiyah, bahwa Allah selalu senang pada hambaNya yang selalu memohon untuk segala urusannya, kita tinggal berdoa, dan urusan kabulnya itu urusan Allah. Allah mungkin belum atau tidak mengabulkan sekarang didunia, tapi mungkin di akhirat. Plong, rasanya hati saya... Mungkin inilah jalan dari Allah, agar saya tidak terlalu membangun harapan semakin tinggi setiap hari, cukup berdoa, berusaha, dan hasilnya hanya Allah yang menentukan...

"Doa adalah sumsum ibadah" (Hadist)

PS: Hasil Tausiyah by Ust. Diauddin

Monday, January 17, 2005

Matamu

Matamu itu,nak...
seperti bola bening
yang tak berhenti bergerak
seakan-akan ingin menunjukkan
saya tahu ini
saya ingin itu
saya bisa!

matamu itu,nak...
suka berair
ketika keinginanmu tak terpenuhi
ketika kamu dipaksa untuk melakukan sesuatu
yang kamu tahu kamu benci untuk melakukannya

matamu itu,nak...
kadang membuat bunda trenyuh
membuat terharu....
tapi bunda terpaksa
karena kamu anak masa depan
yang harus bisa mentolerir
atau memperbaiki
apa yang tak kamu suka
menjadi suatu hal yang biasa

Dimatamu itu,nak....
Bunda berharap
hatimu...
hidupmu...
akan sebening matamu ...
jangan pernah polusi dunia
memperkeruh matamu,nak...

PS: for my lovely Son, Helmy Aufa Akbar Seto

Thursday, January 06, 2005

Berat badan

Kata satu ini sepertinya kata kunci untuk para wanita. Bayangkan saja, gara-gara kata ini saya bisa bercakap panjang lebar dengan tetangga, yang notabene ibu beranak satu juga seperti saya. Padahal, seumur-umur saya jarang bisa bicara panjang lebar dengan yang namanya tetangga, sebatas kata 'halo' atau 'darimana,bu' atau yang paling panjang 'udah lama gak kelihatan'.Dan dengan si ibu satu ini, saya sempat basa-basi menanyakan resep kurus beliau. Jadilah, yang namanya wanita, mau diperhatikan siapapun, tetap suka...... dengan bangganya, dia memaparkan resepnya, dari suntik akupunktur dengan dokter kenamaan di sekitar wilayah kami, senam yang seminggu tiga kali sampai-sampai resep makan yang jitu agar lebih langsing.Saat itu saya manggut-manggut sambil sesekali menambahkan beberapa dampak dari giat berolahraga. Dan bisa ditebak dong, dengan mata yang makin berbinar, si ibu mengiyakan komentar saya dan menceritakan efeknya pada saya. Ajaib memang. Tapi itulah fenomena yang terjadi diantara para wanita, termasuk saya. Saya sempat kecanduan menurunkan berat badan dengan semangat. Awalnya, waktu saya dinyatakan hamil yang kedua. Otomatis, kunjungan ke dokter kandungan harus kembali dilakukan. Saat itu, betapa kagetnya saya waktu mengamati angka di timbangan digital rumah sakit. Bayangkan, 62 kilo. Berat itu lebih besar daripada berat sesudah saya melahirkan anak pertama. Jelas saat itu sudah sangat telat untuk menurunkan... wong sedang hamil. Sudahlah, saya pasrah dengan keadaan itu, yang penting anak saya sehat dan normal. Dilalahnya, ketika kandungan menginjak usia 8 minggu, saya keguguran. Langsung besoknya, saya perintahkan pembantu saya untuk menyediakan makanan rebus khusus untuk saya. Labu siam rebus, tahu rebus, tempe rebus, sampai kentang rebus. Menu ini hanya bertahan 1 minggu... terus terang, bosan!!... dan ujung-ujungnya si labu siam rebus ini saya jadikan sebagai camilan di kantor.
Selain makanan, saya benar-benar ngubek artikel tentang cara langsing, disitulah saya mulai beraksi.... Saya bisa dengan tabah mengatakan 'no' pada makanan bertepung (seperti gorengan), coklat, kue-kue berlemak dan makanan weekend keluarga kami (untuk satu ini, saya hanya minum air mineral, kalau suami dan anak pergi ke restoran fast food), belum lagi ditambah berolah raga setiap malam. Hebat,kan?... kalau ingat itu, terus terang berat untuk mengulangi lagi. Alhasil, dalam waktu 6 bulan, saya bisa mengurangi berat 10 kilo.Bangga memang, apalagi bila bertemu teman kuliah, mereka dengan irinya memandang saya. Karena saya satu-satunya yang sudah mempunyai anak, dan badan saya masih seperti jaman kuliah dulu. Layaknya, atlet yang menang di olympiade, saya dengan sumringahnya membagi resep dan bersedia mengkopi VCD senam saya untuk mereka. Tentu saja kesumringahan saya masih saya coba tutupi dengan kata-kata yang bernada rendah hati.Tapi itulah wanita... selalu ingin tampak indah di hadapan orang lain. Rela mengeluarkan uang berapapun untuk mewujudkannya. Seperti teman saya, yang lumayan borju, dia langsung menyewa personal trainer, untuk memandu dia mengolah tubuh. Kalau ditanya biayanya, uiihhh.. terus terang melebihi uang susu anak saya. Lalu ada juga, salah seorang teman saya, yang ikut program pelangsingan seperti layaknya para selebriti. Dan biayanya, makin membuat saya ternganga. Untungnya, dengan biaya yang tak besar, saya termasukbyang paling berhasil.
Seharusnya usaha untuk terus berolahraga dan menjaga makanan tak boleh berhenti begitu saja, saat ini berat badan saya mulai menunjukkan angka 53 kg. Saya mulai cemas tapi malas untuk mengulangi program yang dulu. Waktu saya mengutarakan ini diantara teman-teman wanita, ternyata mereka juga sedang ingin menurunkan berat badan karena mau hamil lagi. Jadi menurut teori kami, kalau berat badan kami lebih kecil dari sekarang, dan hamil, tentu lebih mudah menurunkan setelahnya, bukankah demikian?
Dari diskusi kami itulah, saya jadi ingat lagi bahwa berat badan untuk para wanita bisa menjadi hal yang sensitif, seperti teman kuliah saya, yang bisa lebih marah karena dibilang lengannya besar, atau tubuhnya besar daripada diejek dengan kemampuan otaknya, atau bila disebut, 'otak kamu seperti komputer XT'. Dan waktu saya ceritakan ke teman-teman wanita saya, mereka sempat komentar 'jangan-jangan teman kamu tidak tahu komputer XT' terus terang untuk satu ini saya tidak yakin... tapi begitulah....

NB: coretan iseng, yang niatnya mau dikirim ke gado-gado femina

Wednesday, January 05, 2005

Impian

Waktu kecil, saya punya segudang mimpi...
jadi foto model...
jadi penyanyi...
bahkan jadi penyair sehebat Khalil Gibran

Waktu dewasa, saya masih punya mimpi
jadi penyair..
atau penulis...
yang karyanya dibaca semua orang

Saat ini...
jadi penyair atau penulis
hanya mimpi diantara rimbunan kesibukan
hanya sempat sekilas terbersit di pikiran
kala saya membaca syarat sayembara menulis
itupun...masih dipikiran!!...
apalagi jadi foto model
modal sangat jauh dipunya...
atau jadi penyanyi....
suarapun tak indah didengar.....

Tetap...
impian harus ada...
kadang itu yang membuat saya semangat untuk hidup.....

Jakarta, 5 Januari 2005