Friday, April 15, 2005

Keteguhan

"Nggak bisa, Mel, Rina lagi sibuk mau pindahan," jawab Rina, sahabatku, ketika aku mengajaknya menjenguk salah satu sahabat kami yang baru melahirkan. Aku maklum dengan kesibukannya ini.
Sudah beberapa bulan ini, Rina memang merencanakan hijrah ke rumah sendiri, karena adiknya telah menikah dan menempati salah satu kamar di rumahnya. Sebenarnya, menurut Rina, kamar adiknya, Eci, yang berada diatas masih akan ditempati oleh Eci dan suaminya. Hanya saja berarti adik bungsunya, yang kebetulan ditempatkan dilantai yang sama, keberatan karena harus bercampur dengan kakak iparnya, yang artinya dia tak bisa melepas hijab di dalam rumah. Karena itu dan alasan lainnya, dia memilih hijrah ke rumah barunya, dan kamarnya yang dibawah ditempati oleh adik bungsunya, agar lebih leluasa.
"Biasanya, Mel, kita pakai isyarat seruan kalau salah satu ipar kita mau ke bawah atau ke atas, jadi kita bisa segera memakai hijab," paparnya ketika aku bertanya lebih jauh tentang konsekuensi tersebut.
Mungkin bagi sebagian orang, bahkan saya, hal tersebut sangat merepotkan. Jangan, kan, seperti itu, bahkan untuk menemui tamu dirumahpun, aku malas melakukannya, karena berarti aku harus mengenakan hijab plus baju panjang.
Bukan itu saja, beberapa minggu yang lalu, ketika ibu saya mengadakan pengajian di rumahnya, saya pernah pasrah tak berhijab dihadapan adik iparku dan sepupuku dengan alasan yang sepele. Sudah terlanjur terlihat, begitu bisik hatiku. Dan itu aku lakukan dengan entengnya. Entah karena keluarga kami yang tak begitu kental menjalankan agama atau mungkin baru aku yang memulai memakai kerudung, aku seakan membenarkan tindakanku.
Namun ketika sore menjelang, kesadaranku timbul, aku memakai hijab kembali, itupun setelah aku merenung agak lama, dan akal sehatku mulai lurus.
Mungkin kejadian tersebut tak pernah dilakukan sahabatku yang satu ini. Karena dasarnya sudah kuat, istilah Sami'naa wa attonah, dijalankannya. Apa yang dia dengar, dia segera menjalankannya. Apa yang salah selama ini, dia segera perbaiki.
Karena itulah, pertanyaanku seputar agama sering mampir padanya. Rina selalu membantu sesungguhnya tanpa sedikitpun mengguruiku. Bahkan dengan bekal agamanya, dia bisa diterima di berbagai pihak, berbagai agama.
Pengamatan itulah yang sesungguhnya sering menjadi diskusi antar aku dan teman kantorku, yang kalau orang bilang sering mbandel sama segala aturan. Sering merasa aneh bila menuruti semuanya dengan strict, dan ujungnya, karena ingin merasa nyaman, aku sering membelokkan hati seperti kejadian diatas. Dan kalau aku mencoba 'lurus', betapa aku merasa semua mata memandang dan mengamati tingkahku yang lain dari umumnya.
Itulah... padahal kalau diamat-amati, tak semua orang peduli dengan apa yang aku lakukan. Untuk berubah sedikit saja, tak membuat semua orang melirik. Hanya saja rasa ge-er yang sering menguasaiku, termasuk ketika aku memutuskan untuk memakai kerudung. Seribu pertanyaan hinggap di benakku sebelum aku memutuskan hal yang terbilang wajib ini, seperti apa alasanku memakai kerudung, ataupun sekedar komentar-komentar, yang mungkin saja positif sebenarnya.
Dengan berbekal beberapa komentar dukungan dari temanku, suamiku dan ucapan sakti "Bismillah" aku memulai hari baruku dengan berkerudung...ternyata bayangan yang sempat menghidap bertahun-tahun di benakku, sedikit saja terjadi. Semua begitu mudah bila niat pada dasarnya. Ah..aku jadi merasa berhutang bertahun-tahun dengan Sang Khalik untuk satu ini, yang sebenarnya bisa beres kalau aku berani.
Mungkin rasa berani dari Rinalah, yang membuat dia begitu teguh pada agamanya. Aku bersyukur sekali menjadi salah satu sahabatnya. Cintanya dan ketekunannya selalu menjawab pertanyaan-pertanyaanku, yang pasti setelah itu akan menimbulkan pertanyaan untuk diriku sendiri, kapan ya aku bisa seteguh Rina?....


PS: for Rina, my best teacher...

Monday, April 11, 2005

Suamiku itu positif!

Rabu pagi. Saatnya mendengarkan wejangan dari Pak Mario di Ramakofm. Aku dan suamiku sudah bersiap-siap mendengarkan topik hari itu, yang pastinya akan sangat berguna bagi kami. Akhir-akhir ini kami memang seperti keranjingan mendengar suara positif yang disampaikan oleh Pak Mario tentang self development. Bagiku, mendengarkannya banyak memberikan input positif bagi kami untuk ke depannya.
Topik Rabu itu yang dibawakan oleh Pak Mario adalah tentang powerful atau powerless. Satu kalimatnya yang membawa alam pikiran saya adalah tentang seringnya kekuatiran orang akan masa depan. Padahal masa depan itu adalah masa yang paling baik, begitu katanya, jadi tidak perlu dikuatirkan. Yang terpenting adalah apa yang kita lakukan hari ini, doing right now.... Mendengar kata-katanya ini terus terang seakan menohok perasaanku. Aku seperti dibawa kembali ke kenyataan bagaimana akhir-akhir ini saya sibuk memikirkan masa depan saja, tanpa pernah melihat hari-hari yang dilalui.
Aku melirik ke arah suamiku. Seperti biasa, wajahnya tetap tenang, atau kalau aku sering menggodanya, sok cool... Sekilas dia sempat tersenyum, dan komentar pendeknya, " benar juga,ya, say, apa yang Pak Mario bilang."
Singkat. Padat. Aku hanya mengangguk-angguk tak jelas. Di satu sisi hatiku ada perasaan yang tak menentu tentang tingkah lakuku yang muncul menjelang awal bulan, saat mengisi tabel excel sheet untuk mengisi pengeluaran kami sebulan kedepan. Kalau dipikir-pikir tingkah lakukku ini benar-benar menyebalkan, aku sering mengeluh padanya tentang bagaimana masa depan kami kalau kami amsih seperti ini, belum lagi keluhan itu ditambah dengan teoriku tentang penurunan nilai hidup, dan tahu jawaban suamiku? "Tenang saja, say, rezeki pasti ada kok.."
Adduh... terus terang aku sering gemas melihat ketenangannya. Kadang bagiku, suamiku orang yang benar-benar 'lurus'. Malah ketika semprotanku mulai tak beraturan, dia masih bisa tersenyum dan diam. Dan bisa ditebak marahku seakan sia-sia...akhirnya diam merengutlah pilihanku.
Itupun berlaku bila aku mulai mengeluh tentang kebosananku di kantor, yang makin meninggi dari titik jenuh. Petuah-petuahnyalah yang sering menemani tangis kebosananku, dan lag-lagi sering tidak mempan. Namun bukan suamiku namanya, kalau dia bosan memberikan petuah. Ketika dia mendapatiku menangis bosan dengan kantor, dia kembali menjulurkan petuah-petuahnya, dan ampuhnya lama-lama aku merasa terbiasa, dan lumayan adem dengan petuahnya. Banyak benarnya sesungguhnya.... Hanya saja aku sering keras kepala untuk menanggapinya.
Itulah suamiku. Yang nyaris perilaku dan tindakannya begitu tenang dan positif. Karena dialah, aku sekarang punya jawaban untuk pertanyaan orang seputar kebetahanku bertahan di kantor, padahal tak sesuai dengan keinginan. Karena dialah, aku akhir-akhir ini sering merasa lapang menerima bagian rezekiku. Dan karena dialah, aku merasa positif untuk masa depan kami.
Sekali lagi aku melirik ke sebelah kananku, kulihat suamiku masih tenang mengendarai mobil tua kami, padahal arus lalu lintas sangat padat. Kalau ada orang yang mengeluh macet, dia hanya berkomentar, "Yah.. bukan Jakarta kalau gak macet, Pak."
Sesungguhnya dia orang biasa seperti aku, hanya saja aku bersyukur punya pendamping yang 'lebih' dariku, walau dia mungkin bukan pengusaha sukses seperti suami temanku. Atau mungkin dia bukan orang-orang yang hebat seperti teman-temanku. Tapi cukup, dia buatku...Alhamdulillah...

PS: for my lovely hubby, Nowo