Wednesday, June 08, 2005

Bersyukur

Beberapa hari yang lalu, adikku bercerita tentang seseorang yang kami kenal. Ceritanya ini tentang keluhannya tentang biaya hidup yang terus menerus mencekik, padahal menurut adikku, apa yang didapatnya pasti mencukupi buat sebulan, malah yang didengar adikku, dia sempat menyimpan beberapa rupiah untuk dirinya. "Bukannya aku menghitung rezeki orang, mbak, hanya saja telingaku terlalu pegal untuk mendengar keluhannya, padahal diluar itu, dia selalu menasehati orang untuk selalu bersyukur," papar adikku panjang lebar. "Kan kontras, mbak." Aku hanya beryaaa panjang... Terus terang mendengar cerita adikku ini, aku agak gemas sekali, aku terkadang sering keluar 'sok'nya, mau menghampiri orang tersebut dan sekedar mengingatkannya, tapi kali ini aku mencoba menahan diri. Karena di satu sisi, aku merasa tidak berhak mencampuri urusan orang tersebut, apalagi usia kami yang bertaut jauh dan satu sisi lagi, aku malah takut, aku melakukan apa yang orang tersebut lakukan, menasehati orang tapi melakukannya disisi lain. Fakta itulah yang sering menghampiri kehidupan kita sesungguhnya, mudahkah kita mendapati orang yang tidak pernah mengeluh? Pasti gelengan kepala beberapa kali akan mewarnai jawaban kita. Sukar sekali menemui orang yang benar-benar bersyukur. Aku juga bukan termasuk orang yang benar-benar bersyukur, seringkali aku mengeluhkan tentang kebosanan di tempat kerjaku, atau gaji yang kurang, hal-hal yang lumrah sebenarnya, tapi pernah membawaku pada tingkat kebosanan, ujung-ujungnya keluhan yang mewanai hariku. Lambat laun ada kesadaran sendiri dibathinku bahwa mengeluh bukan jalan satu-satunya, toh aku makin merasa kurang ketika keluhan terluncur dari mulutku. Allah Maha Adil, aku dibiarkan melihat dan belajar tentang indahnya arti bersyukur dan qanaah. Otakku agak ringan ketika aku belajar bersyukur. Hidupku berasa lapang ketika rasa bersyukur meliputi hariku, dan ketika mendapati dompet kosong di akhir bulan, tawa aku dan suamilah yang memenuhi hari kami. Mungkin begitu juga yang dirasakan suami sepupuku, dengan gajinya yang beberapa ratus ribu, memiliki tiga orang anak, mertua ikut tinggal dengannya, dia tetap menjalani hari dengan senyum. Walaupun mendengar cerita dari istrinya bahwa setiap hari dia memaksa dirinya untuk berjalan kaki dari stasiun Kalibata di kantornya, daerah Samali dan tidak pernah sedikitpun dia menyentuh gajinya untuk makan siang, tetap dia bersemangat menjalani hidup.
Itulah yang mengiris nadi dan hatiku, apalagi ketika mendapati dia harus di PHK dari kantor tempatnya karena bangkrut sedangkan saat itu anak keempatnya lahir di dunia. Banyak ucapan yang terlontar yang menyesalkan semua kejadian itu, memilik anak tanpa mempertimbangkan rezeki yang ada... Susah memang...
Dengan penuh semangat dia memboyong keluarganya kembali ke rumah orang tuanya, memulai hidup dengan berjualan kue, menikmati apa yang didapat dan apa yang diusahakan sambil membangun asa. Hebatnya lagi, suami sepupuku ini tak pernah sedikitpun datang dengan maksud meminta, selalu ada hal baik yang dia tinggalkan untuk kami, entah kerajinannya membantu tugas rumah tangga selama menginap, atau entah ketabahannya yang membuat hati kami sekeluarga semakin miris dan kagum. Dan itu yang membangunkan asa di hati kami, semoga harinya terus berjalan lebih baik dari hari kemarin. Semoga…