Friday, February 25, 2005

Seputar 'kebiasaan' baruku

"Adduh, ada Iwan...kok gak bilang-bilang sih kalau mau masuk," ujarku sambil berlari ke kamar tidur terdekat di deretan kamar rumah ibu. Langsung aku menggebrak pintu yang lumayan berat dan bagus itu.
"Ih..kenapa sih lo, mbak. Iwan juga suka lihat lo tanpa kerudung di rumah," bela adikku, yang notabene kekasih Iwan.
"Itu lain, ki.. mbak kan gak sengaja keluar kamar, lupa pakai kerudung. Nah, kalau sekarang, mbak kan ingat dan kalau terlihat, mbak dosa, ki," paparku. Kiki, adikku, hanya sempat aku dengar menggerutu tidak jelas. "Tolong ambilkan kerudung, dong," pintaku padanya. Kiki segera menjulurkan tangan dengan kerudung dan dalamannya. Tapi sial sekali lagi, aku lupa pada pengikat rambutku.
Pagi itu, memang seperti beberapa hari yang lalu, aku mampir ke rumah ibu, karena terlalu pagi untuk ke kantor. Jam 7.00 pagi aku tiba di Jakarta. Bagiku, terlalu pagi untuk duduk di kursi kerjaku, yang biasanya akan mulai ramai sekitar pukul 9.30. Aku langsung naik ke ruang atas, karena aku ingin mengangin-anginkan rambutku yang masih basah. Sempat sebelum membuka penutup kepalaku, aku bertanya pada adikku, apakah Iwan, yang biasa mengantarnya ke kantor, akan langsung naik. Menurutnya, aku akan mendengar bila Iwan tiba. Karena itulah aku berleha-leha di ruang tengah sambil bercerita ngalor-ngidul dengan adik-adikku dan ibu, dan tak sadar bahwa Iwan telah datang dan tanpa suara telah ada di ruang tengah atas.
Kejadian itu sering mengelana disisiku sejak aku memutuskan untuk memakai kerudung. Di satu sisi hatiku yang bisa dibilang mudah tersinggung, aku mencoba untuk biasa menghadapi beberapa kejadian, walau sejujurnya ada kekecewaanku mendapati beberapa kejutan dari beberapa orang yang terbilang dekat. Kadang hal itu menimbulkan pergolakan bathin didiriku, ujung-ujungnya aku mengambil jalan singkat dengan bertanya pada sahabatku. Tetap ada semacam execuse yang aku sering iyakan, karena takingin repot. Belum lagi, aku seperti dilihatkan beberapa kelalaianku pada 'kebiasaan'ku yang baru ini, seperti aku pernah lupa mengenakan kerudung waktu aku keluar rumah ketika ingin menaikkan power lampu, aku pernah juga menggulung bajuku tinggi-tinggi ketika mengambil wudhu di tempat umum, aku pernah hampir menggulung lengan bajuku waktu aku akan makan di restoran padang pinggir jalan, dan satu lagi yang diingatkan kembali oleh kiki, aku pernah keluar kamar terburu-buru ketika akan mengambilkan kacamata mainan untuk anakku padahal saat itu ada tamu lain dirumahku, plus aku pernah tanpa kerudung sedang memengku anakku dikamar, dan adikku bersama pacarnya pamit dengan melongokkan kepala dari pintu yang tak terbuka lebar. Itulah pada dasarnya aku, yang mungkin sudah dimakan usia ataupun dosa yang menggunung, sering lupa pada habitnya yang seharusnya. Sedangkan aku sering sekali mengejek suamiku atas kealphaannya pada sesuatu, dan ternyata ejekan itu berbalik ke arahku. Astagfirullah... betapa aku diingatkan terus olehNya..Terima kasih.... Izinkan aku jadi hambaMu yang makin bertambah baik setiap hari....

Wednesday, February 23, 2005

Kenapa, bunda?

"Kenapa bunda harus pakai kerudung?" tanya anak kecilku dengan bahasa cadelnya. Aku memandangnya sambil tersenyum.
"Karena tidak boleh, mas," jawabku sesederhana mungkin padanya. Anak kecilku, Helmy, biasa aku panggil dia dengan sebutan 'mas'. Sebutan tersebut sekedar untuk mengingatkannya bahwa dia anak sulung yang bila saatnya nanti punya adik, akan punya tanggung jawab yang besar pada adiknya.
"Sama siapa, bunda?"
"Sama Allah," jawabku sambil berusaha membenarkan helai kerudung di kepalaku.
"Kenapa, bunda?" tanyanya lagi sambil mata bulatnya mengamati kesibukanku. Aku membalikkan badan, memandang ke arahnya dan meraihnya kepelukanku.
"Kalau bunda tidak pakai, bunda akan kena marah Allah. Mas, nggak mau kan bunda dimarahi Allah?"
Dia menggeleng. Untungnya, kali ini dia tidak menanyakan lagi siapa Allah. Mungkin karena dia pernah menanyakan siapa Allah padaku beberapa waktu lalu, ketika dia mulai bisa berbicara dan ketika dia bisa dengan leluasa menanyakan apa saja yang aku dan suamiku lakukan.
Masih terekam jelas dibenakku, waktu pertanyaan itu singgah, aku memutar otak untuk menjawab pertanyaan sederhananya, namun sulit untuk dijawab.
"Allah itu yang menciptakan bunda, ayah, mas, eyang putri, teman-teman mas Helmy, Olda, mbah... Allah juga yang ngasih uang ke bunda sama ayah, biar bisa beli susu buat mas."
"Allah tinggal dimana?"
"Dimana-mana. Disini, diatas.." jawabku sambil menunjuk hatiku. Dengan mata bulatnya, dia mengangguk. " Allah bisa lihat mas Helmy dimana saja mas Helmy main," lanjutku.
Entah mengerti atau tidak, setelah mendengarkan jawabanku, dia menarik tanganku untuk menemaninya bermain.
Itulah pertanyaan kecilnya, sering membuat kami geli sampai speechless, karena tak mampu menjawab. Pertanyaannya sering muncul sampai hal-hal terkecil seperti anak-anak seusianya. Dan tak aneh pula, waktu aku dan suami sering mendapatinya berkata 'aku belum sholat,bunda' atau ketika kami sedang menghabiskan waktu akhir pekan diluar rumah, sering kami merasa diingatkan dia dengan kata-kata 'kita ke mesjid aja, ayah', sewaktu dia mendengar percakapan kami yang masih ragu-ragu untuk sholat dimana. Aku yakin sekali, anak kecilku itu memang suka berada dimesjid yang luas hanya karena merasa leluasa berlari-lari, setelah sebelumnya dia berwudhu mengikuti gerakan ayahnya, kemudian sholat tapi minus ruku' yang sempurna dengan rakaat yang kurang dari semestinya, ataupun dia merasa gembira bisa mendapati aku dibalik hijab pemisah jamaah wanita dan pria.
Pernah suatu ketika, dia ikut kami kepusat perbelanjaan yang padat di kawasan mangga dua, ketika kami mampir untuk sholat, terdengar dengan jelas ucapan 'Allahu Akbar' dia yang sangat nyaring. Aku nyaris terbuyar konsentrasi untuk sholat. Dan tak lama ucapan 'Amin' pun terdengar nyaring. Saat itu beberapa bapak-bapak tersenyum-senyum mendengar ucapannya, begitu cerita suamiku. Semburat rasa bangga sempat mampir ke relung hatiku.
Aku memang merasa sering dibuat takjub olehnya. Mungkin itu pula yang sering mampir ke orang tua lainnya tentang anak mereka.
Namun, tetap di balik itu, ada juga tingkah-tingkahnya yang suka menjengkelkan kami, apalagi untuk hal-hal baru. Seperti ketika aku baru saja mengenakan kerudung, di bulan Ramadhan 1425 H lalu, dia dengan tangisnya yang keras menarik-narik kerudungku agar dilepas. Saat itu, aku benar-benar seperti putus asa, sambil memandang suamiku yang berusaha menenangkannya, aku terus melafalkan Alfatihah dan doa kecil. Alhasil, dia berhenti dengan mudahnya. Kejadian itu terus berlangsung sampai beberapa hari, terutama ketika aku harus pergi dengannya. Syukur Alhamdulillah, setelah itu dia seakan mengerti dan pertanyaan seperti diatas terus bergulir, dan ketika aku harus menemui tamu dengan mengenakan kerudung.
"Bunda, kok, pakai kerudung?" tanyanya kala itu.
"Iya, kan ada om Iwan. Bunda malu."
"Malu kenapa?"
"Malu gak pakai kerudung,mas," jawabku hanya membalikkan kalimat.
"Takut, bunda?"
"Iya, mas," jawabku yang tahu kemana arah pertanyaannya.
"Takut sama siapa?"
"sama siapa,mas?"
"Allah, bunda," jawabnya riang seakan memenangkan pertandingan.
"Pintar ya anak bunda," ujarku sambil mengelus helai rambutnya.
"Mas Helmy pintar karena sekolah, bunda."
Aku tertawa kecil mendengar jawabannya.
Celotehannya seperti itulah yang selalu kami ulangi dalam perjalanan menjemput rezeki setiap hari. Aku dan suami seakan tak berhenti dihibur oleh 'mas' kecil kami. Memandang mata bulatnya, mendengar celotehannya adalah hiburan yang terindah bagi kami selepas bekerja seharian. Kami suka berandai-andai apa jadinya kami kalau kami tak diberi kepercayaan oleh Allah untuk makhluk kecil ini...benar-benar tak bisa kami bayangkan. Alhamdulillah,untuk semuanya ya Rabbi....

Monday, February 21, 2005

MencintaiMu

MencintaiMu...
adalah sesungguhnya hal yang sederhana
kalau saja aku sadar
bahwa hari-hariku selalu dihiasi kebaikanMu
keramahanMu...

MencintaiMu..
adalah sesungguhnya mudah
kalau saja aku tak banyak menuntut
membandingkan apa yang Kau beri padaku
dengan apa yang Kau beri pada lainnya

Pada kenyataannya...
aku terlalu sibuk...
hanya bisa menyapaMu dengan sekedarnya
hanya bisa mengingatMu sambil lalu
padahal banyak waktuku
yang tercurah untuk mimpiku
yang terbuang sia-sia...

Aku ingin sekali mencintaiMu
dengan segala keikhlasanku...
seperti Engkau padaku...

Aku ingin sekali memelukMu
merengkuh namaMu...
dalam setiap babak yang kumiliki....

Izinkanlah aku, ya Rabbi....