Wednesday, March 23, 2005

Ibu Tua

Petang menjelang ketika aku melangkahkan kaki keluar gerbang kantorku.
"Nak, nak," sebuah suara parau menyambut langkahku. Aku membalikkan badanku dan memandang ke arah datangnya suara tersebut. Tampak seorang wanita tua berkebaya dengan tas di lengan tersenyum padaku.
"Ada apa,bu?"
"Nak, ini Pancoran?" tanyanya.
"Iya, bu. Ibu mau kemana?"
"Saya mau ketemu anak saya, Hasan. Di departemen hankam," jawabnya
"Setahu saya, tidak ada departemen hankam di daerah sini,bu. Tapi, tunggu..." aku mengeluarkan handphoneku dan mendial rumah Ibuku. Aku yakin sekali Ibuku tahu letak departemen ini, karena Ibuku seperti walikota Jakarta, begitu saya sering menyebut Beliau. Beliau punya ingatan luar biasa tentang jalan-jalan ibukota, bahkan sampai nomor angkutan umum, Ibu tahu semua. Dan benar dugaanku, Ibu dengan detail menyebutkan alamat dan bis yang harus ditumpangi. Segera aku menjelaskan pada Ibu tua dihadapanku. Tak lama dia menggelengkan kepala.
"Bukan, Nak. Seingat saya itu di Pancoran. Beberapa tahun lalu, saya pernah kesini dengan anak saya, Hasan," sahutnya seakan ingat semua jalan di Jakarta ini.
"Hmm..kalau begitu, Ibu tunggu saya telpon teman saya yang bapaknya di AU ya...siapa tahu dia bisa bantu." Kumulai mencari nama temanku di phone bookku.
"Sekalian, nak, bilang sama temanmu, nama anak saya Hasan."
Perkataannya yang menyusul langsung menghentikan kegiatanku. Aku jadi merasa ragu untuk mengklarifikasi, takut misi dan maksud Ibu tersebut bertentangan denganku.
"Ibu, Jakarta itu luas. Belum tentu semua orang tahu anak Ibu. Nah, anak Ibu itu kerja di Departemen hankam?"
"Nggak, nak, dia tinggal dekat Departemen Hankam." Makin melongolah aku dibuatnya.
Perasaan bingung dan kasihan berkecamuk di dalam bathinku. Akhirnya, setelah lama bercakap-cakap, baru tahulah aku bahwa Ibu ini datang dari Lampung, dan mendapatkan dirinya kecurian, dari alamat anaknya, oleh-oleh untuk keluarga anaknya sampai helaian bajunya. Aku berusaha menengahi kebingungannya dengan mencoba menanyakan nomor telepon Beliau di Lampung, itupun tak dipunyainya.
Singkat cerita, Ibu itu bersikeras ke mampang, dan akan berjalan kaki dari Pancoran kesana, karena takut tersesat lagi. Aku masih mencoba membujuknya, tapi tak berhasil. Kamipun berpisah tanpa sedikitpun bantuan dariku. Aku hanya terus berdoa agar Ibu tersebut dapat menemukan rumah anaknya.
Waktu aku menceritakan suamiku tentang kejadian itu dan kecemasanku. Dia mengingatkanku Ibu tersebut akan memperoleh bantuan pula dari orang lain. Upps, lega mendengarnya... Semoga saat ini Ibu tersebut tengah bercengkerama dengan anak cucunya. Amien.

Monday, March 21, 2005

Engkau

Aku ingat Engkau...
Ketika di persimpangan jalan ini
menunggu keputusan bathinku
untuk memilih...

Aku ingat Engkau...
Ketika pertanyaanku
menjadi sebuah pertanyaan
menanti jawaban yang tak pernah kunjung...

Aku ingat Engkau ....
Ketika senyumku ada di bibirku
karena jawaban yang Engkau pilih....
seakan menjawab kegundahanku...

Aku selalu ingat Engkau sesungguhnya....
walau kadang masih berharap pamrih...
walau kadang disertai keluhan yang tak berujung...

Dan...
Engkau tak pernah berhenti menemaniku...
mengingatkanku...
Adakah yang lebih indah dari itu?

Tuesday, March 15, 2005

Super Woman

"Nanti sore, ketemu ibu di dokter ya, nduk," begitu kata-kata ibu yang selalu menyertai kepergiannya ke kantor bila aku sakit.
"Tapi dapat coklat,ya,bu," rajukku. Ibu hanya mengangguk tersenyum dan mencium dahiku. Tak lama kemudian, aku pasti akan mendengar ibu mewanti-wanti bulik yang menjaga kami berlima dengan segala pesan, termasuk pesananku untuk mendapat coklat Silver Queen.
Itulah sebagian upacara kecil yang selalu aku kenang tentang ibuku, yang notabene wanita pekerja.
Ibuku memang tidak seperti ibu-ibu temanku yang lain, dia sibuk dengan aktivitas kantor dari jam 7 pagi sampai jam setengah lima sore. Lepas itu, ibu yang kuingat selalu punya waktu untuk kami, apa untuk menemaniku belajar menulis indah (untuk satu hal ini, ibuku hebat sekali), atau hanya duduk menemani kami menonton televisi. Karena perbedaan itulah, aku sering protes pada ibu untuk tidak bekerja. Saat itu bagiku, kalau ada ibu dirumah, aku bisa minta izin beliau pada siang hari untuk ikut latihan menari jaipongan dan tidak perlu pergi mengaji, kalau ada ibu dirumah, aku bisa meminta beliau untuk menemaniku makan siang, dan kalau ada beliau di rumah, aku bisa berlari-lari dengannya di sore hari seperti yang dilakukan teman-temanku dengan ibunya. Namun sekali-kali ibu tak pernah melakukan itu, melepaskan pekerjaannya dan murni menjadi ibu rumah tangga, karena ibu selalu bilang ibu ingin anak-anak ibu semuanya bisa sekolah sampai menjadi sarjana, dan tidak seperti ibu yang hanya tamat SMA.
Ketika itu, aku tidak mengiyakan kata-kata ibu, aku yang memang pada dasarnya suka berkhayal, malah sibuk menghayalkan diriku dewasa nanti. Tahu apa yang aku khayalkan dulu?... Aku selalu berkhayal hidup di desa, dengan cukup menjadi ibu rumah tangga atau kalaupun bekerja, tak perlu sampai sore, yaitu jadi seorang guru, dan suamiku boleh bekerja di Jakarta. Sederhana dan sedikit 'memalukan' bukan untuk diceritakan saat ini?.... Nyatanya, waktu aku mengatakan itu, Ibu hanya tertawa kecil, mungkin di benak beliau, lihat saja nanti...
Dan inilah aku sekarang...yang duduk di samping tempat tidurku mengompres kepala Helmy, anakku, yang tiba-tiba panas tinggi, sambil sebelah tangankutak berhenti bergerak mengetik huruf-huruf di keypad handphoneku.
Ternyata, kesibukan Ibuku dulu menular padaku. Aku harus bekerja dan menjadi seorang ibu secara bersamaan. Tak ayal, kejadian seperti mendapatkan anak yang tiba-tiba demam sepulang kantor juga harus aku hadapi. Kejadian seperti dikejar pekerjaan dan kepentingan mengurus anak seakan terus berlomba. Untungnya, aku pernah melihat ibu seperti apa dulu... Untungnya, aku pernah disertakan training tentang prioritas hidup sehingga aku selalu berusaha memenuhi prioritasku dulu, untungnya aku punya suami yang bersedia membahu untuk anak kami, untungnya aku hidup di zaman ini, yang mana handphone dan mobil sudah seperti barang primer untuk mempermudah hidup dan untungnya lagi, Allah selalu menunjukkan kemudahan padaku.
Ingat semua itu, seakan diingatkan kembali pada Ibu... Aku jadi membayangkan bagaimana susahnya Ibu dulu membawa kami ke dokter seorang diri, karena mengandalkan Bapakku tidak mungkin. Bagaimana Ibu dulu harus berkejar dengan waktu pulang kerja dengan hanya mengandalkan bajaj atau bis untuk mengantar kami ke dokter. Bagaimana ibu dulu menahan diri untuk tidak berbelanja bagi dirinya sendiri agar kami bisa menjadi lebih baik dari Beliau... Begitu banyak yang Ibu lakukan untuk kami... yang bilapun dibanding dengan apa yang dilakukan Ibu-Ibu temanku, pastilah Ibuku lebih unggul, karena dia bekerja untuk kami. Bahkan kalau saat ini ada pemilihan Super Woman, maka aku yakin Ibuku akan menjadi pemenangnya...
I love you, Mom.... Thanks for everything.....