Thursday, July 28, 2005

Ibu...

Aku rasa...
Ibu pasti rela untuk tidak makan
Kalau hanya ada satu makanan yang harus kami bagi

Aku rasa...
Ibu pasti rela untuk berjalan kaki
bila mendapati uang di saku hanya cukup untuk membeli susu

Ibuku memang hebat...
bisa mendobrak dunia dengan tangannya
walau tangannya tak sekuat raksasa....
Bisa membopong kami berlima di atas punggungnya
walau punggungnya bukan dari beton....

Aku tahu sekali...
Ibu bisa hebat seperti itu...
karena punya segudang cinta untuk kami

To: my great Ibu

Mbah Kakungku

Mbah Kakungku adalah sosok lelaki dewasa yang dulu sangat saya idolakan. Selain karena uang receh seratusan yang dibungkus plastik yang selalu dibagikan pada kami, bila Beliau berkunjung ke rumah kami, tapi juga karena profesi Beliau sebagai pengajar. Sampai-sampai ketika aku kecil dulu, aku ingin sekali menjadi seorang guru. Guru yang sederhana seperti Mbah Kakungku. Salah satu improvisasi yang aku lakukan untuk cita-cita kecilku itu adalah saat masih di sekolah dasar dulu, aku pernah meminjam satu ruang kelas di sekolahku dulu, untuk mengajarkan pekerjaan rumah pada teman-temanku di waktu malam hari. Kegiatan itu lumayan berlangsung beberapa bulan, dan terhenti ketika ada para orang tua temanku yang protes pada pihak sekolah, karena anak mereka selalu keluar malam pada hari sekolah. Jadilah kegiatan itu 'terpaksa' dihentikan, tetapi tetap semangat mengajarku masih menonjol, dan rumah temankulah yang kemudian jadi markas kami.

Keinginan untuk seperti Mbah Kakungku itulah yang memenuhi hasratku, dan aku merasa Bapakku tak pernah setuju dengan cita-citaku, yang mana setiap aku mengutarakan cita-citaku sebagai guru, balasan "jadi dosen" selalu dilontarkan oleh Bapakku. Mungkin menurut Beliau menjadi guru kurang bergengsi dibanding menjadi dosen.
Tetap saja profil Mbah Kakungku tak pernah lenyap di benak dan hatiku. Aku selalu senang bila berlibur di kampung halaman Bapakku itu, karena dari beranda rumah Mbah, aku bisa melihat aktivitas guru-guru TK, yang notabene adalah staff dari sekolah taman kanak-kanak milik Mbahku, ataupun menjumpai buku-buku bacaan sekolah dasar yang memenuhi lemari buku milik Mbah. Belum lagi, Mbah menambah keasyikan kami bermain di halamannya yang luas dengan memasang ayunan dari tali yang sangat panjang, agar kami bisa diayun setinggi dan sejauh mungkin.

Namun ada satu hal yang sangat tak disukai oleh Mbahku yaitu melihat kami berkumpul dengan om-omku dengan menggunakan celana pendek dan bermain kartu. Herannya, Beliau tak pernah memarahi kami, cukup menunjukkan muka tak suka atau menyuruh kami melakukan sesuatu.

Tak sempurna selalu kehidupan seseorang, begitupula dengan Mbahku ini. Beliau hanya dikaruniai satu orang anak, dan itu bukan Bapakku. Bapakku hanyalah keponakannya, yang juga menjadi salah satu anak asuhnya. Bapak dirawat Mbah Kakungku sejak umur 7 bulan, ketika Nenek kandungku meninggal dunia dan suami nenek kandungku ini menikah lagi. Selain Bapakku, beberapa om dan bulikku dari saudara-saudara lainnya turut diasuhnya.
Jiwa sosial dan ruhanilah yang mungkin membawa Beliau menjadi orang yang tak pernah pikun, mandiri (bayangkan ketika Beliau berusia 70 tahunan, Beliau berkunjung kerumah kami seorang diri, dan bejalan-jalan mengunjungi saudara di Jakarta seorang diri) sampai akhir hayatnya.
---
Perjalanan hidup sosok hebat ini hingga 85 tahun. Saat Beliau berpulang, aku baru saja menyelesaikan kuliahku. Aku ikut serta kekampung halaman Bapakku. Aku ingin melihat sosok hebat ini terakhir kali, bahkan bila mungkin aku ingin ikut mensholatkannya sebagai rasa kagum dan hormatku. Tak disangka, ketika hari pemakaman dia, beratus-ratus orang datang melayat ke rumah Mbah, tanpa berhenti, hingga setiap sudut halaman, rumah, dapur, sekolah TK penuh dengan orang-orang dari berbagai desa. Bahkan untuk aku menjalankan sholat jenazah, aku harus mengantri beberapa giliran. Pikiran hebatlah yang memenuhi benakku, Mbahku tetap bersahaja walau sudah dibalik kain kafan putih.

Satu hal yang mungkin tak bisa aku lakukan ketika menemui tulisan bahasa Arab di salah satu buku tulis, yang tergeletak di rak buku Beliau setelah pemakaman.
Menurut Mbah Putriku, buku tulis itu adalah hafalan Al-qur'an Mbahku semasa hidup yang rutin Beliau lakukan setelah melaksanakan sholat Tahajud. Subhanallah.....