Saturday, December 23, 2006

Keinginan

11087... tut.. tut....
"So, udah sarapan?"
"Udah. Biasa... gw bawa, Mel. Tadi sebelum masuk kantor gw sarapan sambil ngobrol, makanya masuk kantornya baru jam setengah delapan," papar Yoso pagi itu.
"Rajin juga lo, ya, bawa..."
"Iya, Mel, gw lagi ngirit nih..." Kemudian cerita panjang meluncur dari mulut temanku ini, tentang cita-cita dan keinginannya, yang terus terang malah membuat hati kecilku malu. Cukup dalam keinginan Yoso, yaitu naik Haji. Terus terang, mimpi itu lama sekali aku pendam, dan masih ingat sekali bagaimana aku dengan semangat 45nya membuka tabungan haji dan berniat menyisihkan setidaknya 100 ribu untuk memenuhi mimpiku datang ke rumah Allah. Sampai-sampai kegiatanku ini mengundang tawa dari seorang temanku, "Ya ampun, Mel, kalau cuma 100 ribu, kenapa gak nabung seperti biasa aja di tabungan elo?"
"Yah, biar jelas aja," jawabku singkat kala itu. Mimpi itu masih ada sampai saat ini, tapi disiplinku yang mulai berkurang. Aku mulai menumpuk uang tabungan haji di rekening lain, karena malas ke bank hanya untuk menyetor uang 200 ribu, yaitu 100 ribu punyaku dan 100 ribu lainnya ke rekeningku. Bisa ditebak, sekali melanggar, seterusnya rekening tabungan haji kami tak berubah nilainya.
"Biasanya kalau punya keinginan, kita jadi lebih semangat, iya, kan?" ucap Yoso lagi ketika aku menyatakan kehebatannya untuk konsisten memenuhi keinginannya.
Itu pula mungkin yang timbul di salah satu benak temanku nan jauh disana, yang tiba-tiba di pagi itu menelponku dan menceritakan keraguan dan keinginannya.
"Jangan ketawa ya, Mel, kalau gw ceritain," pintanya pertama kali membuka percakapan.
"Nggak, deh. Emang ada apa sih? Tumben banget pagi-pagi elo telpon"
"Gw ragu, Mel, antara ngambil paket atau terus"
"Yah, kalo elo belum punya kerjaan baru, yah.. jangan ambil paket. Gampang,kan?"
"Tapi, kan, sebel juga, kalau tiba-tiba 6 bulan kemudian gw dapat kerjaan diluar"
"So?"
"Nah, semalam gw sholat Istikharah"
Aku langsung tertawa mendengarnya. Bukan apa-apa, temanku satu ini susah sekali diajak sholat. Jangankan Sholat Sunnat, yang wajib saja selalu ada alasan, entah belum keramaslah, atau sebelum ke kantor, sempat kesenggol istri.
"Tuh, kan, elo ketawa. Gw semalam juga pas berdoa mikir gini, pasti gw diketawain ya, karena selama ini gak sholat, kok sekarang sholat Istikaharah," ujarnya jujur.
"Btw, sebelum Istikharah, Sholat Isya' gak?" ledekku.
"Sholat"
"Trus, Subuh?"
"Nggak, kesiangan," jawabnya.
Singkat cerita, ada satu keinginannya untuk memilih diantara pilihan terbaik yang ada. Sampai-sampai dia sempat tahajjud, istikharah dan sholat lainnya.
Terlepas dari apapun, aku sangat senang mendengarnya. Apapun yang terjadi pasti selalu ada hikmahnya, dan hikmah indah itu dilakukan oleh temanku.
-----

Mengingat kata-kata keinginan dan mimpi, aku bahkan siapapun sangat setuju dua kata itu bisa menjadi pemicu semangat yang timbul. Tinggal bagaimana kita menjaga semangat itu tetap ada. Karena sangat-sangat dimaklumi sekali bahwa setiap manusia setiap harinya akan mempunyai keinginan, yang biasanya belum sempat terpenuhi, sudah timbul keinginan yang lain, keinginan yang lain belum terpikir bagaimana menggapainya, sudah timbul keinginan yang kadang datangnya dari entah berantah. Herannya, setiap kali pula manusia tak pernah capai untuk mengejar keinginannya. Berlomba dengan ribuan manusia untuk mewujudkannya, ataupun sekedar meredam nafsu dalam diri dengan lebih menggunakan logika apakah keinginan ini cukup berharga untuk dijalankan atau tidak. Mungkin hanya manusia yang bijaksana yang bisa membedakan keinginan yang memang kudu diwujudkan atau kudu dibuang.
Tapi, pernahkah ketika kita yakin membuang satu keinginan, tiba-tiba ada orang lain yang membenarkan keinginan kita itu, sehingga kita punya alasan untuk tetap lanjut? Atau bisa jadi kita sendiri yang punya segudang excuse untuk mewujudkan keinginan yang tak berharga? Sangat manusiawi,kan?...
Aku jadi teringat satu kisah lagi tentang keinginan, yaitu keinginan seorang laki-laki untuk bisa berqurban kambing, padahal pekerjaannya hanya sebagai pesuruh, dan dia tulang punggung untuk keluarganya. Tahu berapa lama dia bisa mewujudkan mimpinya? 14 tahun! Selama 14 tahun, dengan sabar dia menabung, menyisihkan berapa ribu rupiah, dan ketika uangnya cukup, adiknya perlu dana untuk sekolah. Kembali menabung dengan sabar dan semangat, yang akhirnya Allah memberikan waktu qurban terindah untuknya. Hebat, bukan? Setelah membaca artikel itu, aku seakan ingin membangun kembali semangat untuk mewujudkan semua keinginanku... Nothing impossible in this world, kan? Kalau kita berusaha, Allah pasti tak akan menutup mata untuk semua usaha kita. Semoga....

Tuesday, December 19, 2006

Reminder

"Gimana, Mbak, outboundnya menurut Mbak?" Tanya Yassin temanku sepulang program 'kewajiban' outbound bagi pegawai baru.
"Seru," jawabku singkat.
"Selain itu?"
"Buat gue, sih, semacam reminder"
"O,ya? kalau aku sih ikut outbound kayak begini baru pertama kali, yah ini... bagus ya materinya, mbak. Mbak pernah ikut dimana aja?"
"Ikut outbound sih beberapa kali. Cuma materi dari Bu Riny ama Pak Julius kayak reminder buat gue. Dulu, waktu di Siemens, gue pernah ikut Fundamental Leadership Program di dale carnegie, pas kelas terakhir, kita diminta membawa komitmen untuk 6 bulan kedepan. Gue sempat lost tuh ama komitmen itu, syukurlah karena outbound ini gue merasa diingatkan kembali akan komitmen yang pernah gue bangun." paparku panjang lebar.
Itulah yang aku rasakan ketika materi Life strategy diberikan. Aku seperti diingatkan kembali pada lembaran karton putih besar, yang aku hiasi dengan gambar-gambar tentang aku di masa enam bulan mendatang. Masih ingat sekali apa yang kutulis saat itu, yaitu mendapatkan tempat baru yang lebih challenge untuk karirku, memulai bisnis sendiri, lebih memperhatikan anak, terakhir tujuan jangka panjangku, membeli rumah idaman lagi dan menjadi Ibu dan pekerja yang cukup dibilang sukses.
Aiih.. terlalu muluk sekali kalau ingat komitmen yang aku buat saat ini, tapi tidak saat aku menyusunnya. Mungkin dikarenakan energi positif yang timbul di antara kami, sehingga kami merasa optimis mampu untuk mewujudkannya. Tentu saja, komitmen itu kami jelaskan dengan berbagai strategi yang kami pikir masuk akal untuk kapabilitas diri sendiri.
Toh, nyatanya.. ketika aku melangkah jauh dari lingkungan itu, ketika komitmen pertama aku dapat wujudkan, aku mulai merasa blur dengan tulisan di karton putihku. Aku mulai menanamkan beribu-ribu execuse untuk tidak tercapainya komitmen yang lain. Tahu, kan, apa yang terjadi? Begitu mudahnya aku dibalikkan ke titik awal, menjalankan semuanya tanpa melihat tujuan, begitu mudahnya aku ditanamkan sejuta kelelahan menghadapi lingkungan dan tantangan baru. Sehingga ketika hari itu, aku duduk mendengarkan Pak Julius berbicara, begitu tersentaknya aku bahwa aku masih punya beberapa komitmen yang belum tercapai.
"Adduh, kayaknya gw harus mulai nih pulang dari sini," ujarku ke seorang teman yang duduk persis di sebelahku saat itu.
"Apa saja, Mbak?" tanyanya.
Aku coba paparkan beberapa... "Aku juga pengen ah, Mbak," lanjutnya. Aku mengangguk tersenyum. Yah, indah sekali saat itu, sebuah reminder dikirimkan kepadaku. Hmm.. aku jadi bertanya-tanya lagi, apakah akan ada reminder lain ketika aku mulai lelah??.....

Saturday, November 11, 2006

Soulmate

Apa elo soulmate gue? Buku berjudul itu sempat kubaca walaupun hanya beberapa halaman, dan dibaca full oleh suamiku. Entah kenapa, tiba-tiba suamiku bisa melahap buku itu sampai habis dan sesudah baca buku itu, lagu soulmate-Kahitna jadi sangat sering sekali dia dengar.
"Abis, aku bingung gak ada bacaan. Ada buku itu, udah aku baca aja sambil nunggu tukang pompa kerja. Lucu, say," paparnya. "Pengertian soulmate di buku itu dengan lagu ini kontras banget, deh."
"Kontras apanya?" tanyaku
"Kontras, kalau di buku itu dibilang, soulmate adalah orang yang bisa melengkapi kekurangan kita. Nah, contohnya, aku merasa kamu benar-benar soulmateku, say. Kamu bisa mengimbangi kekurangan Mas soalnya," jawabnya sambil mengenggam tanganku. Wadduh, melambung rasanya dipuji suamiku saat itu.
"Kalau di lagu itu, seakan-akan soulmate itu ada dua, coba deh perhatiin teksnya deh," lanjutnya sambil menyodorkan teks lagu soulmate. Olala... ternyata suamiku punya juga teksnya. Aku hanya manggut-manggut, karena masih 'melayang' di angkasa.
Karena itulah, aku agak-agak penasaran dengan buku ringan itu. Hasilnya, aku tidak bisa menuntaskan buku itu seperti halnya suamiku.
Ingat-ingat kata soulmate, jadi ingat sekali dengan seorang teman kakakku, Yuli namanya. Dia penganut soulmate sejati. Bagaimana tidak, setiap bertemu, tak pernah lepas satu kata soulmatepun dari mulutnya, dan tak pernah juga aku berhenti meledeknya.
"Tahu, gak, Yul, soulmate itu bisa perempuan atau laki-laki,loh. Artinya, bisa jadi sebenarnya elo udah menemukan soulmate lo, dan itu Mbak Ari, bukan?" ledekku.
"Ih, Mbak... bukan gitu... soulmate itu adalah pasangan kita, Mbak"
"Soulmate kan artinya teman berbagi duka dan suka, bukan? Nah, jadi bisa saja soulmate elo itu Mbak Ari," ledekku.
"Bukan, Mbak."
"Jadi, menurut lo soulmate itu sama dengan jodoh?"
"Bisa jadi, tapi lebih mendalam, Mbak. Contohnya, elo ama Mas Nowo."
Jawaban jitu Yuli itu menyudahi perdebatan kami. "Pokoknya, gitu deh, Mbak... susah dijelaskan."
Lain waktu, Yuli membahas tentang soulmate lagi.
"Gue sebel deh, Mbak, ada orang dari Kalimantan minta kenalan. Dia merasa istrinya bukan soulmatenya."
"Trus?"
"Ih, udah jelas-jelas punya istri, pakai bilang itu bukan soulmate dia. Yah, kalau udah nikah begitu, itu soulmate dia, gimana, sih.." lanjutnya sambil menggerutu.
"Lho, jadi soulmate itu adalah jodoh dong, Yul.." ledekku.
"Yah, bisa jadi. Tapi, kan, Mbak, eneg aja ada orang udah menikah bilang istrinya bukan soulmatenya, iya,kan?" Aku mengangguk-angguk setuju. Kalau suaminya merasa istrinya bukan soulmatenya, apa si suami juga tak memikirkan kebalikannya, bisa jadi istrinya juga merasa salah memilih suami? Pikiranku melayang juga melengkapi gerutuan Yuli.
Lain waktu. Di email.
Soulmate does exist... dari Yuli.
10 menit kemudian
Soulmate does exist again... dari Yuli.
Aku tak membaca full emailnya. Terlalu panjang. Aku hanya membalas di email keduanya.
Apa bedanya soulmate dengan jodoh?
5 menit kemudian.
Nanti aku cari tahu jawabannya, Mbak.
Sebenarnya, sih, kalau dilihat-lihat definisnya, soulmate adalah teman berbagi masalah. Beberapa orang merasa soulmate adalah sahabatnya. Beberapa orang merasa kekasihnya adalah soulmatenya ketika mereka mulai membina hubungan, tapi beberapa saat kemudian berpikir kekasihnya bukan soulmate kiriman dari Yang Diatas. Parahnya lagi, beberapa orang malah berpikir orang yang diajaknya memadu janji setia di depanNya bukan soulmatenya. Nah, kalau begitu, jelas yang salah adalah pengertian soulmate yang mulai digrey-kan karena keegoisan atau kebuntu-pikiran orang tersebut. Kebuntuan yang mulai timbul ketika masalah-masalah datang, ketika perbedaan-perbedaan datang ataupun ketika datang orang yang lebih dari pasangannya. Padahal kalau dipikir-pikir dengan akal sehat, soulmate juga manusia biasa, yang artinya bisa jadi menimbulkan perbedaan, masalah untuk pasangannya, dan padahal lagi, disetiap saat dalam kehidupan, akan selalu datang makhluk-makhluk yang lebih menarik. Mengapa tak balik lagi lihat definisi soulmate, kan? Hmm.. mungkin akan lebih jelas memegang istilah suamiku, soulmate adalah orang yang melengkapi kekurangan kita, apapun masalahnya, kita selalu balik ke dirinya, semarah apapun kita kepadanya, kita tetap tak bisa jauh darinya.
Soulmate adalah pasangan jiwa... bukan begitu?.... Jadi, apakah elo soulmate gue? adalah pertanyaan yang seharusnya timbul sebelum memilih ikatan abadi, bukan?

PS: buat Yuli, as I promised... Semoga soulmate mendatangi Team Ar-Rahmah dengan berkahNya. Amien.

Thursday, November 09, 2006

Choice of Life

Life is about choices and consequences... Sepenggal kata-kata bagus itu aku dapat dari seorang temanku menjelang hari-hari akhirku di kantor yang terdahulu. Beberapa hari ini tiba-tiba saja kata-kata itu terngiang lagi di benakku, ketika seorang teman dekatku mengirimkanku satu sms singkat: Mel, bagi contoh surat resign dunk..
Walah, aku terus terang agak-agak shock membaca smsnya, karena setahuku dia belum dalam proses apa-apa di company manapun. Setelah menginterview agak-agak lama, akhirnya tercetus juga pengakuannya tentang rencananya. Dia berencana akan pulang kampung dan berencana membuka usaha sendiri sambil mencari kemungkinan menjadi dosen di salah satu universitas swasta di kotanya.
Aku mendengar itu hanya bisa mengerinyit tak mengerti, sampai akhirnya terjadi interview panjang via telepon malam itu. Tetap jawaban, keinginan dan angan-angan temanku itu susah sekali diterima akal sehatku, dari bagaimana nanti dia menghidupi keluarganya selama bisnisnya belum stabil, bagaimana dia membayar cicilan KPR yang di Jakarta, bagaimana nanti kalau keluarganya tidak betah, sampai pikiran kok bisa sih udah lama di Jakarta, balik ke kampung, tanpa konsep yang jelas, dan bukannya hijrah ke kota yang lebih internasional?
Tapi itulah.... Kadang pilihan seseorang menjadi hal aneh buat orang lain. Jadi ingat sekali ketika aku akan memilih fakultas untuk menimba ilmu, banyak argumentasi yang berkeliaran antara aku, Ibu dan Bapakku. Aku sangat-sangat ingin masuk fakultas jurnalistik atau ilmu komunikasi, dan hasil psikologi tesku juga menunjukkan dua tempat itulah yang cocok. Sedangkan Ibu dan Bapakku sangat tidak setuju dengan pilihanku, yang menurut mereka tidak jelas scope bidang pekerjaan nantinya. Maklumlah, kala itu, dunia informasi belum menjamur seperti sekarang.Ibu dan Bapak menyodorkan pilihan mereka, ambil fakultas ekonomi, tepatnya di jurusan akuntansi, teknik sipil atau teknik informatika. Walah... bukan aku namanya kalau langsung setuju, dengan agak-agak bandel, aku langsung bilang,"Oke, aku ambil teknik Elektro" Masih ingat sekali Ibu dan Bapak melongo tak jelas ke arahku. Kebayang sih, mereka pasti bertanya-tanya mau jadi apa aku ambil teknik itu. Aku sendiri tak tahu pasti. Aku hanya ingin tak ada yang menang saat itu. Konsekuensi pilihanku itulah yang sampai sekarang aku jalani. Aku kuliah di teknik elektro, dan dengan percaya dirinya mengambil teknik telekomunikasi, menyeberangi keinginan lain kedua orang tuaku, yaitu memdalami arus listrik kuat atau komputer, dan sekarang bekerja di bidang yang tak jauh dari pilihanku. Konsekuensinya mungkin yang sangat aku rasakan adalah aku suka memandang iri teman-temanku yang berkarir di dunia media massa, lebihnya tidak, aku cukup bersyukur dengan pilihan nekatku.
Kalau ingat-ingat kejadian itu, mungkin aku saat itu dipandang agak ajaib oleh kedua orang tuaku, memilih bidang yang saat itu tak jelas bidang pekerjaannya. Mungkin sekali pandangan itu sama persis dengan pandanganku pada teman nekatku itu.
"Banyak, kok, yang bisa dilakukan di kampung," begitu ucapannya sebelum menyerahkan surat resign pada mantan bosku kemarin siang. Terlihat jelas di mataku begitu kuat tekadnya mengubah hidup dengan memulai dari bawah. "Aku bisa bangun SPBU," kelakarnya lebih lanjut.
"Wah, kalau bisa bangun SPBU sih, gw malah udah gak mau cari kerja lagi, deh. Berarti kan simpanan gw udah em-em-an," sahutku.
"Pokoknya, pasti bisalah," tandasnya tegas.
Kalau sudah begini, aku memang hanya bisa memberikan jabat tangan salut untuknya. Bahwa hidup seseorang adalah pilihan orang tersebut, yang tidak ada standard baik-buruknya di mata orang lain, bahwa sesudah itu, konsekuensi yang terjadi adalah hal yang patut diatasi oleh pemilihnya, dan teman terbaikku ini telah memilih jalan hidup selanjutnya. Jalan yang mungkin juga akan membuat bos dan teman-temannya heran, keluarganya harus beradaptasi lagi, ataupun jalan yang pastinya akan banyak aral-melintang, tapi pastinya juga akan lebih memberikan hasil baik moril ataupun materiil yang lebih daripada yang sekarang, karena usaha sebanding lurus dengan hasil, bukan?...
Life is about choices and concequences
I live the life that I love....

PS: untuk seorang teman yang sudah memilih... Selamat menempuh 'hidup' baru! Wish U all the best! U've let me to take a look about choice of life.

Sunday, November 05, 2006

Waxing

Para wanita pasti familiar dengan istilah di atas. Aku sendiri sebenarnya bukan penganut waxing, bukan karena anti, tapi karena keluarga kami bukan termasuk keluarga berbulu tebal seperti layaknya orang-orang timur tengah.
Waxing yang sangat aku ingat waktu aku remaja dulu adalah waxing yang dilakukan oleh kakak pertamaku di bagian ujung lengannya, dan dilakukan di salon kecantikan. "Tahu, gak, Mel, abis waxing ini sekitar 6 bulan lagi baru tumbuh bulunya," promosinya waktu itu. Aku hanya meringis sendiri, dan sedikit berangan-angan sih mau melakukan waxing kalau sudah seumur dia. Nyatanya, sampai setua inipun, yang namanya praktek waxing tidak pernah kulakukan. Kata orang sih, rada-rada perih, ih... hidup ini aja sudah sakit, masa harus ditambah sakit yang lain, sih, begitu selalu alasanku untuk menghindar.
---
Tiga hari setelah Idul Fitri kemarin, tiba-tiba Mbak Ari, kakakku nomor dua, memamerkan waxing cream hasil pemberian temannya. Dengan lagak pedenya, dia melangkah ke kamar mandi untuk melakukan proses waxing sendiri.
"Ki, ambilin asseton," tiba-tiba teriakannya terdengar ke arah adikku, Kiki, yang kebetulan sedang menginap di rumah.
Adikku tergesa-gesa mengambil asseton.
"Ki, ambilin body lotion," teriaknya lagi.
Walau lumayan bingung, aku sok tak peduli, malah melangkah lenggang ke kamar mandi yang lain.
"Mbak, kayaknya Mbak Ari gak ikut, deh," kata adikku sekeluarnya aku dari kamar mandi.
"loh, kenapa?"
"Ketiaknya lengket. Waxingnya gagal," papar Kiki.
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
"Kok bisa?"
"Iya, Mel, gue gagal, nih. Mungkin karena bulu gue kurang banyak kali', ya" teriak Mbak Ari dari dalam kamarnya.
"Terus gimana, dong?"
"Masih lengket," jawab Mbak Ari sambil berlari ke kamar mandi dan mandi lagi.
Sambil menertawakannya, aku melangkah masuk ke kamar.
"Mas, Mbak Ari kayaknya gak ikut,"ceritaku pada suamiku.
"Kenapa?"
"Waxingnya gagal"
"Waxing apaan, sih?" tanyanya, yang kebetulan memang kurang mengerti istilah perwanitaan, dan sialnya dapat istri yang tidak pernah melakukan upacara itu.
"Itu cara untuk mencabut bulu, Mas"
"Trus?"
"Mbak Ari gagal, jadinya ketiaknya sekarang lengket."
"Lagian ada-ada saja, sih," ujarnya sambil tersenyum-senyum.
----
Akhir cerita. Mbak Ari agak berhasil menghilangkan lengket di ujung lengannya. Kamipun jadi pergi bersama.
"Kok bisa, sih, Mbak, waxing lo gagal?" tanyaku penasaran.
"Sebenarnya sih, Mel, gue udah dibilangin Yance, kalau bulunya gak banyak, susah waxingnya ditarik. Soalnya Yance kayak gitu. Dia berahsil ngelepasnya pakai aseton. Gue pikir gue bakal berhasil, ternyata nggak. Gue pakai asseton, gak lepas, gue pakai baby oil, body lotion, sampai-sampai Kiki bawain Filma ke kamar gue buat ngelepasinnya," ceritanya panjang lebar.
Aku dan suamiku tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
"Sekarang?"
"Masih lengket sih, tapi udah bisa angkat ketiak nih," jawabnya sambil mencoba mengangkat lengannya yang lumayan susah.
Oala... Mbak.. Mbak.... ada-ada saja....... Jadilah sepanjang perjalanan, aku mentertawakannya tanpa henti. Hm.. jadi benar kan kalau aku rada-rada mikir melakukan waxing?...

Saturday, November 04, 2006

Ketika Helmy meninggalkan kami...

Akhir pekan setelah Idul Fitri.
"Ayah, Mas Mi mau ikut bulik Ine. Ayah jangan nyariin ya... Mas Mi pulang sore loh," teriak anak pertamaku, Helmy, dari arah kamar mandi.
Suamiku melangkah mendekatiku yang sedang sibuk menyiapkan ransel thomas Helmy dengan beberapa kebutuhannya.
"Benar Helmy mau ikut ke Citayam, say?" Tanyanya dengan mata yang agak ragu dan cemas.
"Yo'i, Mas... Biarlah.."
"Gak ngerepotin, tuh?"
"Hmm.. nggaklah..."
Tak lama Nowo, suamiku, melangkah keluar kamar menyambut Helmy yang baru saja selesai mandi.
"Mas Helmy benaran mau ikut Bulik Ine?" Tanyanya lagi memastikan.
"Iya. Ayah ama Bunda di rumah aja,ya," jawab Helmy sok dewasa. "Bunda, Mas Mi pake tas Thomas loh..."
"Beres, Bos"
Jadilah sepanjang Sabtu itu, aku hanya bertiga di rumah, Aku, suamiku plus Dafi, bungsuku.
Kami habiskan separuh waktu di luar rumah.

Sore, ketika tiba di rumah.
"Helmy kok belum pulang ya, Mas," ujarku ketika perasaan sepi mulai menghanyutkan hatiku.
"Bunda mulai kehilangan teman berantem, dik Dafi," ledek suamiku
"Walaupun tuh anak jahil, suka ngerjain aku, Mas, sepi juga ya gak ada dia."

Kring..kring...
"Assalamu'alaikum. Mbak Meli, ini Ine, Helmy gak mau pulang."
"Hah?! Paksa, Ne, biar pulang, soalnya besok pagi mau diajak ke rumah Pakdenya."
"Udah, Ine paksa sih, Mbak, malah nangis tuh."
"Pokoknya bujuk, Ne, dia kan bawa susunya hanya 2 tempat."
"Kalau susu gampang, Mbak, nanti dibeliin di Indomaret."

Klik. Telepon ditutup.

Tidak berapa lama...
Kring...
"Mel, ini Om. Helmy nangis tuh gak mau pulang. Malah ngajak main lagi."
"Om, masalahnya kalau malam dia minta pulang, malah repot," ujarku mulai mencari alasan biar Omku termotivasi untuk memaksa Helmy pulang.
"Iya, deh, ntar dicoba."

0818...
"Ta, ini Mbak Meli. Helmy sudah pulang belum sih?"
"Wah, Ita lagi gak di rumah, Mbak. Ntar kalau Ita udah di rumah, Ita telepon Mbak Meli ya."

Dari maghrib sampai jam 8.30 malam, tak ada tanda-tanda Helmy pulang. Sebentar-sebentar kalau ada suara pintu pagar terbuka, aku melongok keluar. Sebenetar-sebentar juga suamiku mulai meledekku dengan teriakkan, "Bunda, tuh Helmy!"
Menyebalkan sekali.

Kring...
"Mbak, ini Ita. Helmy ketiduran di rumah, jadinya nginap."
"Kok gak ada yang ngabarin sih kalau gak jadi pulang?" tanyaku rada emosi.
"Maafin Bapak Ita, ya, Mbak"
"Kalau bisa, besok pagi-pagi, pulang ya"

Malamnya, tidurku lumayan tidak pulas. Sebentar-sebentar bangun karena mimpi Helmy, yang mungkin saat itu sedang tidur nyenyak. Jam 03.15 pagi, aku terbangun lagi, langsung ambil wudhu, sholat Tahajud. Sesudah sholat, tetap tidak bisa tidur.
Daripada bengong, aku mencuci baju saja. Manual, tanpa mesin cuci.
Paginya...
Kring...
"Bunda, Mas Mi lagi sarapan nih. Di sini dingiiiiinnnn deh, Bunda. ACnya gak bisa dimatiin"
"Sarapan pakai apa Sayang?"
"Pakai ayam"
"Mas Mi habis sarapan, pulang ya.. besokkan Mas Mi sekolah"
"Iya, Bunda... udah dulu ya, da...."

Ingat kejadian itu, aku jadi ingat kecemasanku dulu ketika Helmy berumur setahun. Aku sangat cemas sekali kalau dia tidak bisa beradaptasi di lingkungan luarnya, mengingat dia begitu tergantungnya padaku dan suami. Belum lagi, untuk tinggal di kampung, dia lumayan agak jijik bila melihat sendalnya penuh dengan tanah. Dia lebih suka berada di lingkungan yang lux, seperti hotel. Karena itulah, setiap liburan dia selalu menagih kami untuk menginap di hotel.
Nyatanya, kecemasanku tak terbukti, betapa harunya aku ketika di usia hampir 5 tahun ini dia memilih menginap di rumah Mbahnya, yang jauh dari kemewahan. Dia juga enjoy berbecek-becek ria..... Yang akhirnya malah menimbulkan kecemasan lain di hatiku karena ditinggalkannya.
"Bunda, kalau liburan nanti, Mas Mi nginap di rumah Mbah lagi ya. Mas Mi disana pakai sendal terus, main di sawah, di kali, ama nembakkin ayamnya Bulik Vera. Enak deh, Bunda"
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
"Ayah, kalau liburan nanti, Mas Mi ajak naik gunung dong...sekalian kemping," celotehnya masih panjang lebar.Yah, aku memang harus mulai siap untuk ditinggalkannya...

Thursday, November 02, 2006

Satu Episode Panjang

Awal 1998

"What time did Wiwi ask you to come here?"
"Execuse me, sir"
"Two o'clock?"
"Yes, sorry I'm late."

Mr. Thiemann hanya menggoyangkan tangannya, tanda no problem

Pertengahan 1999

"Mr. Gumhalter, which subject I must learn more detailed?"
"I don't know. I think it's better you learn all, and then we decide which subject you are in"
"What? Can you decide it for me? So, I could more focus"
"I can't, Miss Wulandari. I have to wait Mr. Thiemann."


Beberapa hari setelah itu.... Agustus 1999.
"Wisj, nyari orang IN ya?"
"Iya"
"Boleh gabung?"
"Oke, nanti gue ngomong ama Anton ya."
"Kalau belum pasti, jangan dulu"
"Prosedur pindah internal begitu, Mel"

September 1999, mulai di SBP
"Mel, kita ke Telkomsel yuk, Pak Nurain manggil"
besoknya
"Mel, ke satelindo yuk. Tjong ngajak meeting"
Besoknya
"Kuncoro ngajak meeting nih"
Malamnya.
"Define announcement ya"
"Bikin RSpec ya"
Besoknya
"Mel, presentasi di STT ya..ama anak bawah"
Berulang terus.
Sampai...
"Elo gak bikin passpor ama AMEX, Mel?"
"Emang gue diajak workshop di KL?"
"Yo'i..."
"Ini pertama kali elo keluar negeri ya?"
Aku mengangguk.

Akhir 1999
"Mel, Peer butuh orang IN buat project di Afrika. Elo yang pergi ya?"
"Berapa lama?"
"Tiga bulan"
"Gak ikatan dinas,kan?"
"Nggak, elo kan kerja."
Besoknya
"Mel, Peer bikin grup baru yaitu IP based mobile network. Kata Opa, elo tetap pergi, gabung aja ama grup peer yang baru."
"Trus, berapa lama?"
"setahun"
"Hah?!"
"Tenang...ada Tutut kok disana"

Maret 2001
"Elo gabung di Project Consultant, bawahnya Tobias"
"Kerjanya ngapain?"
"Elo pegang buat DCS project (-lupa namanya..red)"
"Pak, I want to move to Product Consultant"
"Why?"
Alasan meluncur dengan lancarnya.
Setelah under Leo
"Mel, elo ngerjain GPRS trial Indosat ya..Nevy soalnya mau dijual ama Fahringer"
"Mel, Telkomsel minta konsep TDM over IP"
"Mel, bikinin konsep IP buat Indosat"

Restruksturisasi lagi.
Dibawah Tutut.
"Elo mau megang apa, Mel, biar gak bosan?"
"Apa ya? udah gak ada mood"
"Radio, elo pasti gak mau"
"CS?"
"Nggak deh. Tapi gue pikirin sih"
Beberapa hari kemudian
"Jadi?"
"Gue bantuin Rudy aja plus tetap pegang PS"
"Oke"

Tutut pindah ke training center.
Raskita jadi my boss.
"Gue resign"
Pandu naik.
"Mel, gue dapat di Telkomsel."
"Wah, senangnya... gue kapan ya bisa pindah..."

Restrukturisasi lagi. Merger antara Fixed dengan Mobile Network.
Gabung under Agung.

Sebulan kemudian
"Berdasarkan beberapa pertimbangan,akhirnya gue milih cabut ke AGIT, Mel"
"Ok"

Sebulan kemudian
"Mbak, benar mimpi elo. Gw dapat di Natrindo"
"Gue ama siapa dong.."
"Tenang, kan, masih ada gue, Mel"

Satu hari setelah melahirkan anak kedua.
"Mel, gue dapat di XL."

Gubrakk!! so, I am the last mohicans....
Setelah cuti melahirkan.
Kenal beberapa orang baru, Adam, Bernard dan Yohan.
"Mbak, sini deh.."
"Gue keterima di Ericsson"
"Hah?! Asyik benar... Kontrak elo gimana?"
"Tahu, deh, Mbak"
Terjadilah pembicaraan trik-tips antara kami.
"Elo gimana, Mbak?"
"Honestly, gue udah tes di XL. Sampai Medical Check up. Tapi gak ada kelanjutannya,tuh"

Tiit..tiiit....
"Dengan Meli Wulandari? Saya dari XL. Bisa gak Mbak fax slip gaji Mbak ke kita? Buat pertimbangan."
"Oke, Mbak"

"Tuh,kan, apa gue bilang Mbak. Tunggu aja 2-3 minggu pasti dapat kabar deh"

Masa penantian. Tak ada kabar dari XL. Masa perubahan. Masa tes-tes di tempat lain. Masa berdebat. Masa pelatihan Dale Carnegie.

Mbak, udah di telepon Fajar belum? -sms masuk
Belum. Tenang, kata teman gue sebulan setelah medical check up.
Sebulan? Lama banget ya

Bertemu Fajar.
"Mbak, ini belum final offer. Kita mau tahu kompensasi Mbak di current company."
Terjadi diskusi.

"Mas, aku dapat konfirmasi dari Ericsson"
"Wah, gede juga ya, say"
"Eh-eh. Alhamdulillah."

Tiit..tiit.
Mel, bisa EFA besok pagi? - sms dari bos-
Oke. Jam berapa?
Jam 10.
Oke.

Pagi harinya...
"Sudah bisa EFA sekarang, Pak?"
"Boleh"
Tutup pintu.
"Gak perlu EFA, Pak. Saya mau ngasih ini."
"Hah?! Kamu ngagetin banget. Kenapa?"
"Banyak, Pak. Pertama, saya merasa tidak ada personal development disini."
"Iya, HR disini tidak aktif. Personal Development dari kita sendiri. Misalnya, saya assign apa yang buat kamu"
"Kedua, banyak konsep yang gak jelas buat saya, spserti konsep OSS, menurut saya konsep SS yang udah digodok aja, masih rancu buat saya, apalagi kalau saya cebur ke OSS. Belum lagi isu merger, Nokia juga punya OSS loh, Pak."

"Tapi,kan, Siemens lebih dulu"
"??"
"Ketiga, saya sudah sholat Istikharah, Pak, hasilnya saya harus keluar"
"Kamu mau ditawarkan apa biar bertahan?"
"Nggak ada"
"Kamu pindah kemana?"
"Bapak pasti tahu, kan?"
"Nggak"
"Masa' sih? Jimmy kalau ke sini aja, udah teriak-teriak, kok, belum lagi yang lain. Kalaupun belum, cepat atau lambat, Bapak pasti tahu, kok"
"Megang apa kamu disana?"
"Masih PS sama IMS, kok. Honestly, saya dapat tawaran dua company, satu sudah finalized, yang satunya lagi masih nego. Dua-duanya pegang produk yang sama, kok"
"Oke, saya pegang dulu surat resignnya,ya"

Prosedur yang hampir sama dengan waktu Amel atau Silvy. Hanya tidak ada yang pasti dalam penawaran.

Tanda tangan kontrak di Ericsson.
Kring..kring..
"Halo, dengan Mbak Meli? Saya, Edo, bisa Mbak datang hari Rabu buat offer kita?"
"Jam berapa?"
"Jam 10"
"Oke."

Hari Rabu. Ke tempat Edo.
"Mbak Mel, kami tawarkan paket ini..ini.."
"Bisa lebih, Mas?"
"Ini udah paling mentok"
"Okelah, saya ambil. Saya mulai masuk tanggal 1 November"
Sorenya..
"Halo, dengan Pak Agus? Saya Meli... saya mau membatalkan kontrak"

Agak tidak enak. Tapi sudahlah... This is what I want....
Sekarang...
sudah terdampar ....


PS: wish me luck! --memoriam in Siemens, 8 years 8 months--

Saturday, October 07, 2006

Dilema

"Mbak Meli, dilema itu artinya apa ya?" tanya Adam, teman kantorku.
"Yah, dilema....," jawabku asal.
"Bisa gak, Mbak, dibilang Mbak punya 2 keinginan. Yang satu mbak suka, yang satu nggak?"
"Kalau itu, sih, gampang, Dam. Tinggal pilih saja yang kita suka. Iya, kan? Dan itu bukan dilema. Kalau menurutku, dilema itu memilih salah satu dari dua hal yang kita sukai."
"Oo.. iya,ya, Mbak."
Percakapan singkat beberapa hari yang lalu tiba-tiba menerpaku. Aku dihadapkan pada dua pilihan, yang setelah aku buat tabel plus-minusnya, jumlahnya persis seimbang. Setelah aku pikir keras-keras, hasilnyapun sama.
Jadilah, teman-teman terpercayaku yang jadi sasaran diskusi. Jawabannya pun macam-macam, ada yang mengusulkan aku minta 'gentlemen agreement', ada juga yang mengusulkan aku mengambil kompensasi yang paling besar, dan saran paling banyak yang aku terima adalah go for it... artinya nikmati hasil usahaku, yang selama ini aku idam-idamkan.

Wadduh, terus terang rasa ragu tetap ada di hati. Aku tanyakan pengalaman temanku yang lain, yang sudah lebih dulu memilih, dia menceritakan kegamangan yang sama yang dia rasakan setahun yang lalu. Dia menutup sarannya dengan, "sholat Istikharah, Mel."
Pesan bijak itu sendiri sebenarnya sudah aku dengar dari beberapa orang temanku, aku hanya mengangguk-angguk saat itu. Biasa... aku terlalu keras kepala dan selalu mencoba analisa semua saran dengan sangat lambat.
Sampai akhirnya, aku menceritakan semuanya ke Nowo, suamiku.
"Kalau kamu mau keluar dari comfort zone, keluarlah sejauh mungkin. Jangan nanggung, say. Kamu coba pikirkan apa yang kamu tidak suka dari company yang sekarang, bukan gaji kan?"
Aku menggeleng kecil
"Hehehehe, tapi termasuk deh, Mas. Cuma bukan prioritas"
"Nah, yang kamu gak suka adalah manajemennya kan? Kemanapun kamu dipindah oleh kantor sekarang dengan segala perbaikan posisi, kamu tetap akan berada di manajemen yang sama, iya, kan? Ketika mereka merger, bukan berarti mereka akan berubah kan, say? Kalau masalah jauh, tenang...banyak jalan menuju Roma", sarannya.
"Tapi, say, apapun pilihanmu, Mas dukung. Istikharah deh."
Olala... kata Istikharah lagi yang terdengar, kali ini dari mulut suamiku, yang sarannya sangat menyejukkanku saat itu.
Mulailah, beberapa malam, aku tunaikan sholat 2 rokaat itu. Malam pertama, belum ada petunjuk sama sekali. Malam kedua, aku bermimpi bertemu temanku untuk lunch bersama, digedung yang pernah aku datangi untuk interview. Malam ketiga, mataku sempat tertumbuk pada satu kalimat di majalah, yang garis besarnya, kenyamanan pertemanan jangan jadi penghalang untuk pindah kantor. Malam keempat, biasa saja. Malam kelima, tidak lama satu sms muncul, Mbak, aku ada interview di... Mungkin ini maksud pertanda? Bahwa kalau aku tidak go for it, aku akan melakukan hal yang sama? Paginya, aku diberitahu bosku, bahwa aku tetap dibawah dia. Oh, oh, so I can't fly freely... Aku masih diperbantukan, tidak disuruh terjun bebas.
Ini kali petunjuk terakhir, ya?
Beberapa hari kemudian, sebelum surat 'cinta' aku berikan, temanku, Ponix, tiba-tiba mengatakan, "Nokia cari OSS person di Kompas hari Minggu kemarin". Aku hanya mengangguk. Kok bisa ya, Ponix menyampaikan berita itu, padahal dia tak pernah tahu statusku yang diberi challenge untuk mencoba PM/SDA OSS.
----
Dilemaku terhapus dengan sempurnanya. Allah Maha memanjakanku, memberikan petunjuk yang sangat jelas di hati raguku. Benar-benar ini seperti miracle buatku. Aku tak pernah mengira bahwa Allah begitu mudahnya dan cepatnya memberikan jawaban. Ketika satu sms masuk lagi,
Gimana, Mbak? udah resign?
Udah. Baru aku kasih.
Ada Hadits : Gak rugi orang yang dah sholat Istikharah. So, go for it.
Balas temanku singkat, dan benar-benar menguatkanku. Semoga.....

Ikhlas

Dear Meli, ternyata menjadi untuk benar-benar ikhlas itu susaaaaahhh bgt ya...., begitu sekelumit tulisan sms dari seorang sahabatku. Tanpa sadar aku mengangguk setuju. Aku jadi teringat kultum siang itu, ketika seorang mantan peragawati, Mbak Okky Asokawati, membeberkan tentang perjalanan hidupnya menuju ke arah 'muallaf', begitu istilah Mbak Okky. Istilah itu diambilnya, karena Beliau merasa sekali Islam yang dia anut dari kecil, bukanlah Islam seperti yang dirasakannya sekarang. DBAS, Dunia Bahagia Akhirat Surga, adalah target Beliau setelah mengenal Islam. Dengan target itu, Beliau mencoba melihat semua kejadian yang terjadi dari sisi hikmah, karena menurutnya manusia itu ciptaan Allah, sepertinya mesin cuci samsung, pasti ada kan manualnya, nah manualnya manusia itu, yaitu Al-Qur'an. Apapun yang terjadi, kita seharusnya mengacu pada buku manual tersebut, dan yang penting kita jaga agar DBAS kita jangan terampas. Pemikiran yang sederhana tapi sangat mengesankan buatku saat itu.
Jadilah, sepulang dari acara kultum siang itu, aku dan sahabatku, Tutut, itu membahas tentang kejadian yang akhir-akhir ini kami alami, yang sebagian besar tentang topikku saat itu, tentang kepasrahan yang tiba-tiba timbul dari diriku kepada Allah, dan merasakan lebih ringan menjalankan hidup. Kepasrahan itu sendiri muncul ketika aku begitu give up dengan semua angan-angan diotakku yang susah diraih, begitu lelahnya saat itu, begitu beratnya menahan luapan keinginan saat itu, dan begitu putus asanya aku saat itu. Kemudian, pertanyaan yang muncul dari benakku, mengapa aku tidak mencoba memaintain yang aku punya saat itu?...
Mulailah, aku memohon maaf atas segala dikteku padaNya, mulailah aku melepaskan keinginanku satu persatu, dan mulailah aku memohon padaNya untuk menjadi orang yang lebih sabar, bersyukur dan ikhlas.
Allah memang Maha Pemurah, tak sampai hitungan tahunan, aku mulai bisa menjadi sosok yang lebih tenang (begitu komentar salah seorang temanku), aku merasa menjadi orang yang lebih pasrah. Tetap semangat, tetap usaha, dan tetap berdoa, biarkan Allah yang mengatur segalanya.
"Tapi, Tut, kayaknya akhir-akhir ini gue merasa udah mulai berubah, deh. Ketika semua hasil tinggal hitungan dari Allah, gue seakan memaksa Allah untuk mempercepat semua proses. Sebel deh, ama diri gue! Betapa susahnya menjadi orang yang konsisten, tetap pasrah. Gue kadang bertanya bagaimana ya caranya menjadi seperti dulu lagi?"
"Mel, mungkin Allah ngatur semuanya."
"Iya, ya... I'll try deh," jawabku menutup pembicaraan. "Thanks, ya, Tut."
----
Dan malam ini, ketika aku membaca sms Tutut, membuatku merenung lagi, bahwa sesungguhnya setiap manusia itu punya cobaan. Kadang-kadang cobaan yang menimpa orang lain dalam pikiranku adalah hal yang ringan, tak seberat cobaanku. Kadang-kadang cobaan yang menimpa orang lain adalah hal yang mudah untuk diatasi buatku. Tapi, pernahkah aku berpikir bahwa cobaan yang diberikan padaku bisa jadi hal yang mudah juga untuk orang lain? Apakah pernah juga aku memikirkan sebagai orang lain ketika cobaanku datang, sehingga aku begitu mudahnya melewati semuanya? Atau pernahkah aku harusnya melihat bahwa semua keinginanku itulah yang mengubah sudut pandangku tentang cobaan? Karena cobaan yang sering ada adalah aku ingin, aku ingin, aku ingin... dan aku menganggapnya cobaan karena belum terwujud. Aihh.. jadi rancu sekali bukan? Manusia dan keinginan itu seperti sebuah kotak yang ditarik garis diagonal, begitu kata Aa Gym, artinya garis diagonal, yang merupakan simbol keinginan, itu akan terus melampaui kotak, bahkan ketika kotak (yaitu pengandaian untuk manusia) itu sudah tuntas. Agak horor membayangkan pengandaian itu, ketika aku menutup mata aku masih punya banyak keinginan, atau istilah orang, banyak maunya sampai mati. Padahal keinginan itu adalah hal yang lumrah, hal yang bisa membuat orang semangat, dan Islam mengakui itu, karena itu salah satu ilmunya lagi, kalau punya keinginan, mintalah kepada Allah, karena Dia yang Maha kaya, tapi tetap diringi pernyataan bila keinginan itu diridhoi-Mu, ya Allah. Mengimbangi apa yang kita mau dengan apa yang terbaik dari Allah-lah yang menurutku agak susah. Balik lagi, Ikhlas-lah rasa yang aku pandang perlu aku punyai. Indah, bukan, kalau kita punya keinginan dan tetap tahu batasannya kita sebagai manusia, yang cuma bisa meminta, dan Allah yang mengabulkan yang terbaik? Indah, bukan, ketika kita meminta, Allah yang memikirkan dampak kedepannya buat kita, tanpa kita repot-repot memikirkannya? Indah, bukan, dimanjakan Allah dengan cara terbaik? Seandainya, setiap hari akalku bisa diajak berpikir begitu...
Iya, Tut, semoga kita bisa menjadi manusia yang ikhlas. Amien.
Kutulis jawaban singkat untuk Tutut, jawaban yang sebenarnya doaku.

Monday, September 25, 2006

Mbak Ari

"Tahu, gak, Ki, jembatan penyeberangan busway di Landmark udah di benarin loh," celetuk Mbak Ari, Kakakku, di sela-sela perjalanan kami menuju jembatan yang ditujunya.
"Masa', Mbak?"
"Eh-eh, hanya gue gak tahu lagi yah kalau ada yang lepas lagi paku-pakunya," jawabnya ringan.
Aku mengernyitkan dahi tanda tak mengerti apa yang mereka bicarakan.
"Apaan, sih, Ki?" tanyaku penasaran.
"Biasa, Mbak. Kayak gak tahu Mbak Ari..." jawab Kiki singkat.
"Maksudnya?" tanyaku tambah penasaran.
"Itu, Mel, gue memberitahu trans jakarta, kalau jembatan di Landmark bolong-bolong," papar Mbak Ari singkat.
"Kok bisa?"
"Ya, bisalah... Tahu, gak, Mbak, pernah Mbak Ari telepon ke kantor gue cuma nanyain nomor pengaduan Trans Jakarta. Mana gue tahu"
"Terus?"
"Yah, gue telepon ke 108 aja. Gue ceritain kondisi jembatan penyeberangan di Landmark. Eh, benar tuh, paku-paku yang lepas di benarin."
"Rajin banget sih, loh, Mbak"
"Ih.. Elo tuh.. coba deh bayangin kalau Ibu-ibu hamil lewat, atau nenek-nenek yang kurang awas, bisa berbahaya... Lagipula orang di bagian pengaduannya tuh welcome kok ama pengaduan gue," jelas Mbak Ari panjang lebar. Aku hanya saling memandang ke arah Kiki, adikku.
Bukan hal aneh, kalau Kami menemui tingkah sosial Mbak kami satu ini. Tingkah yang sering mengundang protes dari kami berempat, bahkan dari Ibu. Tingkah yang menurut kami suka berlebihan. Tapi, toh, tetap Mbak Ari dengan tak acuhnya melakukan apa yang menurut dia benar.
Sampai-sampai, kami berempat menjuluki Mbak Ari dengan sebutan santa klaus. Tokoh dermawan di kisah-kisah natal, karena Mbak Ari sering terlihat sangat care dengan sekeliling. Mbak Ari sangat jarang membiarkan orang yang membutuhkan bantuannya pulang dengan tangan hampa, walaupun orang tersebut masuk golongan orang yang di complainnya. Bukan itu saja, beberapa tukang ojek, becak, kacang rebus pinggir jalan, juga tak pernah lupa dijamah kebaikkannya.
Satu contoh, beberapa bulan lalu, Mbak Ari selalu berangkat kerja jam 5.30 pagi, pulang jam 11 malam. Belum lagi ditambah waktu akhir pekan, dia habiskan untuk bekerja. Aku, yang kebetulan tinggal serumah dan sering mendapat protes dari Ibu karena tidak mengingatkannya, mencoba menanyakan sebanyak apa sih pekerjaannya. "Nggak, Mel.. gue cuma bantuin Pak Agus. Kasihan, Mel, Pak Agus belum punya anak buah, dan kerjaannya banyak," jawabnya singkat tanpa beban.
Mendengar jawabannya, aku tak berani bertanya apa-apa lagi. Jawaban itulah yang aku kemukakan ke Ibuku. Lagi-lagi Ibu merasa aneh, kok ada yah orang yang mau membantu kerjaan orang sampai-sampai mengorbankan waktu istirahatnya.
Cerita lainnya, Mbak Ari sering membeli berpak-pak amplop, tahu untuk apa? Mbak Ari lagi-lagi membantu tugas temannya untuk menulis komisi para marketing di amplop-amplop itu. Hebatnya lagi, Mbak Ari membeli, menulis dan mengantar amplop-amplop itu sendiri ke rumah temannya, yang seharusnya bertugas. Bukan temannya yang mengambil ke rumah kami.
"Mbak, elo gak ngeri di perbudak?" Suatu kali pertanyaan itu terlontar juga dari mulutku.
"Nggak mungkinlah... Emang mereka butuh gue bantu lagi. Elo gak boleh Su'udzon gitu, Mel," jawabnya tetap lurus.
Atau ketika suatu siang, Mbak Ari pernah menelpon Erna, adikku. Untuk dibuatkan surat gugatan cerai untuk temannya. "Tapi, Na, jangan di charge ya... Kasihan, dia gak punya uang."
Banyak lagi kisah-kisah Mbak Ari ini dan semua masih berkisar kepedulian dia. Makanya kami berempatpun tak aneh, kalau tiba-tiba, dia membawa sepatu, baju, kue-kue, ataupun souvenir-souvenir, bahkan uang, dari teman-temannya. Wong, dia sangat peduli. Kepeduliannya juga yang membuat seorang temannya yang super kaku, pelit, berbaik hati memberinya sesuatu. Temannya itu merasa dihargai dan tertolong oleh Mbak Ari.
Hebat... hanya kata itu yang pantas untuk Mbak Ari. Buat Mbak Ari juga, sepertinya tak ada hari tanggal tua di kamusnya, karena seringkali aku menjumpai dia bilang tak punya uang, besoknya membayari kami apa.
"Yah..ternyata masih banyak yang bolong-bolong ya..." ujar Mbak Ari ketika kami menyusuri jembatan penyeberangan Landmark.
"Udah, Mbak.. Telepon aja," ledek Kiki.
"Iya, nanti hari Senin, gue telepon lagi, deh"
Olala... Tingkah Mbakku ini seperti asisten pribadinya Sutiyoso saja. Hmm... Andaikan Sutiyoso punya asisten seperti ini..... Pasti banyak warga yang tertolong....

Friday, September 15, 2006

Sekotak Apresiasi untuk kami

Malam terakhir pelatihan leadership dale carnegie akhirnya tiba juga. Ada perasaan yang sebenarnya hilang dari dua pertemuan sebelumnya. Perasaaan 'missing' yang tiba-tiba muncul bila hari Rabu datang, "wah, tinggal dua kali lagi nih," selalu itu yang bergaung di dalam relung hatiku. Ternyata, ketika gaungan itu aku ungkapkan, beberapa teman kantorku yang bergabung di pelatihan ini, pasti menimpali "andaikan ada lanjutannya..."
Aihhh.... Tiba-tiba saja kami menjadi begitu sentimentilnya. Beda mungkin dengan beberapa pihak yang berkaitan, seperti suamiku, dengan wajah yang agak ceria, dia berkata,"tinggal dua kali lagi, ya, say." Aku hanya mendelik,"iya, mas, sedih nih..." tanpa penjelasan panjang lebar seperti bila aku mulai berbicara. Dan biasanya, setelah itu, Nowo, suamiku hanya tersenyum. Aku tak tahu di pikirannya, mungkin yang saja dia merasa agak lega karena berarti setiap Rabu, dia bisa pulang dengan jam yang normal, dia tidak perlu cari cara agar tidak terbengong di kantor dan tetap tenang dengan lingkungan kantornya, yang menurut kabar agak-agak horor.
Padahal setiap hari Rabu tiba, aku selalu dengan inisiatif yang tinggi plus harap-harap cemas, selalu menawarkan diri untuk tidak ditunggu, dan mungkin karena cintanya padaku, Nowo akan menolak usulku. "Gak usah diantar driver kantor, biar aku tunggu saja, Say." Dengan ucapan terimakasih dan senyum kemenangan, aku akan melangkah turun dari mobil ke arah gedung kantorku dengan sangat ringan. Ucapan terimakasihku biasanya aku tambah dengan jatah makan malamku untuk sahur suamiku, win-win solution bukan?....
Bukan itu saja, kegiatan Rabu malam ini juga mengundang protes dari Helmy, anakku. Pertanyaan rutin selalu dia tuturkan di Kamis pagi, "Bunda, semalam kenapa pulang malam?"
"Bunda training, Mas"
"Training itu apa, Bunda?"
"Training itu hm... kayak sekolah, Mas."
"Kok, Bunda sekolah pakai baju kerja?"
"Karena Bunda sudah besar, Bunda sekolahnya gak perlu pakai seragam"
"Berarti nanti kalau Mas Helmy sudah besar, Mas Helmy gak usah pakai seragam dong... Asyik!"
"Iya..kalau Mas Helmy sudah sebesar Bunda"
"Tapi, nanti Bunda pulang sore ya," pintanya dengan jari telunjuk yang digerakkan di depanku. Aku mengangguk. Agak berat sebenarnya, karena beberapa Kamis lalu, aku selalu memiliki acara. Jadilah, acara-acara itu aku batalkan dengan sendirinya.
Kejadian-kejadian itulah yang nantinya tidak akan aku dapati lagi. Tidak akan ada lagi Rabu semangat yang tumbuh setiap aku bangun tidur. Tidak akan ada lagi coaching di hari selasa sore. Tidak akan ada lagi perputaran otak memilih cerita yang akan dibawakan. Tidak akan ada lagi pembakaran kalori dengan cara menyenangkan di ruang training, dan terlebih tidak akan ada lagi pertemuan dengan teman-teman yang selama tiga bulan ini menjadi teman dekat, tidak berkelompok-kelompok, tidak saling iri, yang ada saling mendukung, mencela tanpa menyakiti, memberi semangat, dan saling membagi bagian terdalam dari perjalanan hidup kami.
Itulah yang berputar di otak ini ketika malam perpisahan tiba, malam yang dibuka dengan memberikan apresiasi lisan ke teman satu grup dan diakhiri dengan cium pipi kiri-kanan. Banyak yang terjadi malam itu. Entah kenapa, semua orang menuju pada satu perasaan, kami merasa kehilangan. Puisi dari seorang Vida, temanku cukup menggambarkan semuanya. Training yang awalnya aku sangka hanya seperti training-training lainnya, ternyata berbuah banyak pengalaman dan menambah banyak teman. Teman-teman inilah yang pada malam ini seakan memberikan energi terbaik dalam hidupku, dengan memberikan kartu apresiasi kepadaku. Kartu-kartu yang pada awalnya hanya merupakan tugas terakhir dari para Trainer kami, yang pada awalnya juga sempat mengundang ragu di hatiku, apakah aku sanggup menilai kelebihan teman-temanku semua? Bayangkan saja 33 orang! Toh, nyatanya, aku hanya perlu waktu dua hari untuk menyelesaikannya. Ketika di depan komputer, sambil membayangkan wajah mereka satu persatu, tanganku dengan lancarnya bisa menulis kelebihan mereka. Sebegitu dekatnyakah kami? Bahkan ketika pulang dari acara malam itu, rasa haru membuncah di dadaku ketika membaca satu persatu apresiasi untukku, sekaligus rasa bersalah, karena aku tidak membuat satupun untuk para trainer kami yang patut diacungi jempol.
Perasaan terharu inilah yang mungkin mewarnai hati teman-temanku lainnya. Pasti ada sedikit rasa malu, haru serta kagum pada diri sendiri ketika membaca kesan-kesan tentang kami sebagai individu selama training, bahkan mungkin kami sempat mengerinyit menajamkan pikiran, benarkah kami seperti itu? Atau mungkin kata-kata untuk kami inilah yang bisa mencambuk kami untuk menjadi semakin baik, menuju apa yang ditulis dengan seutuh-utuhnya?...

Yang jelas sekotak apresiasi kami malam itu, yang kami bawa pulang, yang kami share merupakan pengalaman terindah dalam hidupku. Mengingatkanku bahwa banyak yang bisa aku pelajari dari ketulusan sebuah pertemanan. Terima kasih buat semuanya, teman....

PS: teman-teman, Dale angkatan 537 ...keep on our relationship ya!!...

Monday, September 11, 2006

Emak

Akhir-akhir ini aku seperti diingatkan akan sosok Emak, panggilan untuk Ibunya Ibuku. Emak sudah berpulang kira-kira empat tahun yang lalu karena penyakit jantungnya. Semasa hidupnya, Emak nyaris tinggal bersama kami sepenuhnya. Emak yang menjaga kami ketika Ibu bekerja. Emak yang memasakkan masakan, yang menurutku masakan paling enak yang pernah kurasakan seumur hidupku sekarang, untuk kami sepulang kami sekolah. Emak juga yang suka marah-marah kalau kami lebih suka nonton televisi dibandingkan Sholat Maghrib.
Emak kami ini memang tak beda dengan nenek-nenek lainnya. Hanya saja, Emak sangat sederhana karena tuntutan hidup. Emak dulu adalah pedagang jamu keliling yang cukup banyak pelanggannya. Kata orang, jamu buatan Emak tak ada duanya. Setahuku, Emak menjual jamu karena tuntutan hidupnya yang harus membiayai lima orang anaknya tanpa suami. Otomatis, karena kerasnya hidup ini, Emak sangat keras pada anak-anaknya, terutama pada Ibuku. Kala Ibu jengkel, Ibu suka bercerita tentang kerasnya Emak kepada Ibu, tapi tidak terlalu ke anak yang lain. Wajarlah, akhirnya Ibukulah anak yang paling maju diantara adik-adiknya, malah Ibu bisa membiayai hidup adik-adiknya.
Mungkin kesamaan Emak dengan nenek-nenek lainnya adalah kecerewetannya. Emak suka tiba-tiba cerewet, uring-uringan tidak jelas juntrungannya, kalau sudah begini kami berlima memilih menghindar. Kalau makan, Emak sering tak rapi, beberapa makanan bisa tercecer. Ceceran inilah yang kadang membuat kakak sulungku merengut tak juntrungan juga. Emak juga senang sekali kalau setiap awal bulan, kami beri uang jajan kepadanya, atau uang THR untuknya. Makanya jangan aneh, walau Emak tak banyak harta dari menjual jamunya, Emak tetap bisa membeli sebidang tanah, beberapa emas dan main arisan di beberapa pengajian. Sayangnya, apa yang Emak punya dikuasai oleh sepupuku, yang ingin sekali bisa mempunyai rumah di tanah Emak. Dengan berbekal kepikunan Emak yang suka timbul, sepupuku mendapatkan persetujuan untuk membangun rumah di tanah tersebut.
Itulah... buatku hal itu tak masalah. Karena kami benar-benar menyayangi Emak. Kami ingin Emak bisa selalu tersenyum di sisa harinya. Satu kenangan tentang Beliau yang kadang sangat aku rindukan adalah ketergantungan Beliau padaku untuk belajar membaca Al-qur'an. Tahu apa yang dulu sering aku lakukan padanya? Aku sering mengumpet, bila Beliau mulai membawa Al-qur'an ke kamarku, atau aku pura-pura tidur, atau aku mengajarinya dengan mata tak lepas dari televisi. Bisa dihitung dengan jari, aku mengajari Beliau dengan serius.... dan kali ini aku benar-benar kangen untuk membimbing Beliau lagi belajar membaca Al-qur'an dengan sungguh-sungguh! Apakah Emak kangen juga untuk belajar denganku dari alam sana?....

Monday, September 04, 2006

Reinkarnasi

Nanti kalau aku reinkarnasi... Itu potongan kalimat sms dari temanku. Aku agak geli membacanya. Di zaman seperti ini, masih ada yang percaya dengan reinkarnasi, atau ini sekedar penghiburan untuknya? Membaca kata reinkarnasi ini, aku jadi teringat pada sebuah artikel di majalah Femina dahulu, yang menyebutkan bahwa reinkarnasi adalah suatu aliran agama dan nyata adanya. Bila ditilik dari artinya, reinkaranasi adalah lahir kembali. Itu terjadi ketika manusia meninggal, ada satu tujuan arwah yang akan digapai si empunyanya, entah ke tubuh binatang, tumbuhan, maupun manusia. Semua tergantung pada keinginan si empunya yang tidak terwujud semasa hidup, bisa juga karena si empunya sangat mengagumi sesuatu dan masih tidak ingin terpisah atau bisa jadi si empunya juga ingin memperbaiki kesalahan di masa hidupnya.
Satu contoh kisah yang sempat aku baca dari artikel itu adalah keinginan seorang raja menjadi rusa, karena ketidak-inginannya melihat binatang tersebut dilakukan semena-mena. Masih banyak kisah lainnya tentang reinkarnasi yang menarik. Agak sukar dipercaya akal sebenarnya, tapi toh banyak orang yang menganut aliran tertentu sangat percaya dengan kejadian alam ini.

Aku sendiri kurang begitu mempercayai reinkarnasi. Banyak hal yang bertentangan dengan ajaran agamaku. Walaupun begitu, aku tetap bisa menghargai kepercayaan dan keinginan setiap orang, termasuk temanku ini. Mungkin baginya, bukan masalah kepercayaan akan reinkarnasi tapi lebih mengarah keinginan untuk bisa mengubah yang telah lewat. Menghadirkan satu mesin waktu untuk diputar ke masa yang ingin diperbaiki, dan mungkin reinkarnasi adalah cara yang paling praktis, kan?...
Ingat kemungkinan itu, mengingatkanku kembali akan keinginanku tentang sebuah mesin waktu yang sering muncul. Aku ingin bisa memutar waktu ke masa lalu, ketika aku mulai tumbuh menjadi orang yang menutup diri di masa SMA, aku ingin memutar waktu ketika aku mulai mendaftarkan diri ke universitas, dan memilih masuk jurnalistik, aku juga ingin memutar masa-masa bersama Ibuku dengan kualitas yang tentu saja beda dari yang pernah aku hadapi, aku juga ingin memutar masa-masa penyusunan acara pernikahanku, dengan mengadakan pesta yang lebih sederhana, sehingga dananya bisa aku belikan sebuah rumah, dan terakhir kalau aku bisa memutar mesin waktu untuk melihat masa depanku, betapa aku ingin bisa melihat masa depanku, sehingga aku bisa melakukan yang terbaik dari semua yang kulakukan. Tapi itulah, mesin waktu adalah hal yang lebih muskil dari aliran reinkarnasi. Mesin waktu hanya ada di film Doraemon atau sinetron 'lorong waktu' seingatku. Aku pasti akan meminjamkan mesin waktu ini untuk temanku, biar dia tidak perlu mengulangi masa hidupnya seperti di reinkarnasi.

Tetap ada cara lain yang lebih mungkin dibanding mesin waktu atau reinkarnasi, yaitu Hidup hari lepas hari, artinya lupakan masa lalu, jangan ragukan masa depan, tapi kerjakan yang terbaik untuk hari ini. Aihh.. bijak sekali bukan kedengarannya? Itulah yang selalu aku ingat, agar aku tak pernah menyesali yang telah lalu dan tetap melakukan yang terbaik untuk kedepannya. Aku yakin sekali, tanpa melihat kedepannya aku jadi apa, dengan pertolongan terbaik dari Yang Diatas, aku akan bisa menjadi yang terbaik menurutNya. Sederhana. Cukup memberi semangat.

Kalau jadi kodok, gimana?.... tiba-tiba isengku muncul. Kali ini, aku ingin sekali meminjamkan bahkan memberikan cara-cara di atas untuknya, tanpa mesin waktu ataupun reinkarnasi. Semoga bisa membantunya....

PS: untuk seorang teman, masih perlu reinkarnasi?....


Tuesday, August 15, 2006

comfort zone



Beberapa minggu yang lalu, aku sempat melakukan gebrakan untuk menghilangkan rasa takutku yang lumayan tinggi, yaitu berparasailing di Bali. Awalnya, dengan tekad yang lumayan kuat, aku benar-benar tidak akan mencoba satupun permainan di Benoa. Jadilah ketika pembagian tiket permainan, aku ikut sibuk dengan membagikan tiket-tiketku ke teman-temanku. Niat tinggallah niat, beberapa menit kemudian, aku mengalami godaan yang sangat besar untuk mencoba permainan itu. "Kalau kamu sudah begitu, berarti 60% kamu ingin sekali mencoba," kata bos besarku mengimbangi keraguan dan keinginanku. Singkat cerita, dengan setengah pemaksaan dan setengah keinginan, terbanglah aku ke angkasa dengan ditarik motorboat. Asyik. Segar. Indah. Hanya sedikit menakutkan. Yang terpenting, aku benar-benar menikmati.
"Wah, Mbak Meli sudah berhasil keluar dari comfort zone!" teriak seorang temanku. Aku menyeringai mendengarnya. Aihh, seperti inikah rasanya keluar dari comfort zone? atau temanku yang terlalu mendramatisir?
Kalau dilihat istilahnya, comfort zone itu adalah daerah dimana kita merasa sangat nyaman. Bisa menjadi diri sendiri. Karena itulah, banyak orang yang berpikir lebih dari dua kali untuk melangkah barang setapak dari daerah itu. Siapa, sih, orang yang dengan ikhlas, tanpa pemikiran ulang, mau mempertaruhkan suatu kenyamanan? Aku contohnya perlu pemikiran satu, dua bahkan puluhan kali untuk melakukan itu. Tapi sejalannya dengan waktu, aku banyak mendapatkan beberapa petuah, entah dari radio, buku, majalah, bahwa comfort zone kadang merupakan suatu daerah yang kurang tantangan, kemungkinan untuk melangkah maju jauh, aku semakin merasa harus mulai bergerak dan mulai mengagumi orang-orang yang melakukan gebrakan. Contoh kasus, seorang temanku, Amel, dengan gagah beraninya melangkah jauh dari comfort zone alias kantor kami yang sangat nyaman plus sebuah posisi untuknya. Tentu saja, omongan miring berkeliaran di telinganya bahkan akhirnya jatuh ke telingaku, yaitu apa motif Amel meninggalkan kantor?... Wadduh! aku sendiri tidak punya jawaban untuk dijabarkan pada banyak orang, yang aku tahu, temanku ini bersedia mundur satu step untuk meraih beberapa step ke depan, hebat, bukan? Contoh lain, Pak Suluh, senior manager di kantorku. Ketika perpisahannya, aku sempat menanyakan apa yang membuat dia untuk resign dan mengambil resiko di perusahaan yang baru dia rintis? Sekali lagi, jawaban keluar dari comfort zone-lah yang terdengar.
Untunglah, ketika mereka menyampaikan alasan mereka, aku sudah paham comfort zone. Aku cukup angkat jempol untuk mereka. Merekalah para risk-taker, berani menantang challenge untuk sesuatu yang tentunya lebih baik.

Menantang comfort zone bukan hanya otoritas orang dewasa, ini bisa terjadi pada beberapa usia, seperti yang terjadi pada Helmy, anakku. Mungkin Helmy belum tahu tentang zona ini, yang dia tahu bahwa dia sudah berani kembali mengelilingi kolam renang dewasa, dan teriakan dari tengah kolam renang seakan pertanda kebebasannya,"Bunda, Mas Helmy sudah berani!"
Aiih... pasti ada rasa kebebasan yang memenuhi dadanya saat itu. Melangkah dari pojokkan nyamannya, melangkah ke tengah kolam dengan didampingi, hingga akhirnya berenang sendiri adalah hal yang dilakukannya.
Tapi dari semua contoh itu, ada beberapa orang yang benar-benar belum berani keluar dari area yang nyaman ini. Sah-sah saja sebenarnya, setiap orang berhak untuk tetap tenang, bergerak ataupun berlari dari comfort zone, karena setiap tindakan ada risikonya, bukan? Terus terang, aku memilih melangkah dari comfort zone, walau usia bisa dibilang tidak muda lagi... Sah juga,kan?...

Saturday, August 12, 2006

Apresiasi

"Benar Ibu seperti yang kamu tulis, Nduk?" tanya Ibu di hari Ibu tahun lalu mengenai tulisan kecilku tentang Beliau. Aku hanya mengangguk kecil.
"Kamu selalu bisa membuat Ibu terharu," lanjut Beliau. Aku tersenyum jengah sambil mengelus-elus punggung Ibu.
Aku tahu sekali ketika itu perasaan Ibu pasti sangat bahagia, mendapatkan satu bentuk penghargaan kecil dariku. Yang kalau aku pikir-pikir sendiri tidak sebanding dengan apa yang sudah Ibu berikan selama ini. Mengingat itu, aku jadi ingat tentang tulisan di salah satu buku yang sedang kupelajari, yaitu apresiasi atau penghargaan, di dalam buku itu ditulis bahwa apresiasi atau penghargaan sekecil apapun itu mampu membuat orang terkenang walaupun mungkin yang memberikan penghargaan tersebut sudah sangat lupa tentang hal yang satu itu.
Mungkin itulah yang dirasakan Ibu, berbunga-bunga, terharu dan bahkan kata seorang adikku, airmata Ibu berlinang membaca tulisanku. Aneh, padahal saat aku bercerita tentang Beliau, aku tak pernah membayangkan kejadian seperti itu. Aku hanya ingin menghias hari Ibu tahun lalu bisa lebih indah dari sebelumnya. Nyatanya, toh, teori di buku tersebut benar lagi.
Di kala penghargaan sangat jarang ditemui, namun ada saja orang yang mendapatkan penghargaan kecil seperti mendapatkan air di padang pasir. Sebegitu besarnyakah efek sebuah apresiasi?...
Besar tidaknya efek apresiasi itu sendiri sebenarnya tak ada nilai standarnya. Karena mungkin ucapan terima kasih bagi seseorang akan bisa memberikan energi beribu kali lipat, bisa jadi transfer-an bonus di rekening pribadi bisa menjadi energi yang menghasilkan beribu semangat untuk menjadi yang terbaik bagi seorang karyawan, atau bahkan perjalanan titik karir yang jelas bisa jadi pemicu dan penghargaan bagi yang terbaik. Dan mungkin itulah, beberapa rekanku sering mengatakan sebuah proyek sebagai proyek 'thank you'. Aih..aih.. kalau begini mungkin ada kesalahan standard atas si pemberi penghargaan dengan si penerima. Bisa jadi si pemberi merasa cukup memberikan ucapan terima kasih, sedangkan si penerima merasa harus ada yang dibayar atas segala effort yang dia keluarkan.
Yah..itulah apresiasi. Terus terang, aku dulunya hanya memandang apresiasi di dunia kerja. Bukan hal yang salah sih, mengingat 12 jam dalam sehari aku habiskan di kantor. Sampai-sampai aku merasa bosan, bangkit kembali, bosan kembali lagi menunggu standard apresiasi menurutku terwujud, yang terus terang jauh dari standard apresiasi perusahaan. Toh, ujung-ujungnya aku harus menerima semua. Mengalah karena bukan penguasa. Setidaknya, aku mulai menurunkan standard apresiasi yang aku harapkan, kalau aku ingin bisa bekerja dengan tenang.
Dan akhir-akhir ini, ketika Ibu dengan terharunya mengucapkan rasa terima kasih, atau ketika Helmy memelukku karena aku membacakannya cerita, aku merasa melihat bentuk lain apresiasi, yaitu apresiasi di lingkungan keluarga... Jadi ingat sekali, ketika Pak Ashar, trainer leadershipku sempat menggelitik kami dengan pertanyaan,"Kapan terakhir kali anda memuji pasangan anda? Ini khusus buat yang sudah menikah,loh...." Hampir semua peserta training tersentak. Aku sempat tersentak mengingat apakah di minggu ini aku sempat melontarkan satu pujian pada suami?... Wah, kalau ini saja membuat kami tersentak, apalagi ditanya bentuk apresiasi ke orang lain,ya?...

Monday, July 31, 2006

Manajemen stress


Kemarin, saya berada di depan pabrik kardus yang besar sekali.... dst, kalimat itu membuka pertemuan kami masih di pelatihan leadership. Kali ini, topiknya tentang manajemen stress. Menurut beberapa orang sih, selama manusia masih hidup, pasti akan masih ada stress, karena stress itu bisa membuat orang lebih hidup, lebih dewasa, atau bisa juga menjadi gila.
Nah, wajar dong kalau di kelas kali ini kami dibuat agak-agak beda penampilannya, ada yang bergaya baru bangun tidur, meniru pemain sepak bola, koki, para eksekutif, bergaya pantai sampai yang hanya menambahkan rumbai-rumbaipun ada. Bukan itu saja, beberapa yel-yelpun dibuat, dengan kata-kata yang memang seharusnya tak jauh dari pelatihan yang telah kami ikuti. Semua atraksi ini digunakan untuk mengiringi performa kami dalam membawa arti prinsip hidup yang secara tidak sengaja kami dapati dari perjalanan hidup kami.
Seru dan asyik.... Lalu apa hubungannya antara prinsip hidup dengan manajemen stress itu sendiri? Sepertinya, sih, beda sekali... Paling persamaannya adalah prinsip hidup dan stress bisa membuat kita lebih dewasa, dan bisa jadi dari menangani stress yang pernah terjadi, kita menemukan satu sikap yang bisa kita sebut prinsip hidup. Bisa demikian bukan?...
Balik lagi, ke masalah stress, dari beberapa poin yang diutarakan teman-temanku, pemicu stress itu bermacam-macam, dari yang kena macet di jalan, report yang mendekati deadline, anak sakit, sampai ketahuan selingkuh oleh pasangan. Tentu saja, pemecahannya macam-macam, dari beberapa faktor yang diutarakan, ada yang memasang musik bila kena macet, ada yang tidak mau menunda membuat report, dan beberapa cara lain yang benar-benar personal.
Sebenarnya menurut buku pegangan kami, dalam menghadapi stress, intinya kita harus tenang, hidup hari lepas hari, artinya jangan takut sama masa depan dan jangan menyesali masa lalu, mempertimbangkan apa yang akan terjadi dan bertanya pada diri sendiri apa saja yang terbaik kita lakukan dan tentu saja tenang, jadi rumus menjadi gila karena stress tak pernah terjadi. Tiba-tiba teman di sebelahku membisikkan sesuatu, "sholat tahajud aja ya, Mel, biar gak stress," otomatis aku mengangguk-angguk setuju. Yah..pokoknya apapun jenis stressnya, tetap tenang plus berusaha plus berdoa, pasti akan beres.... Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya, bukan?...

Tuesday, July 25, 2006

Antusiasme

Topik pelatihan leadership yang aku ikuti dua minggu yang lalu adalah tentang antusiasme. Menurut buku pegangan kami, antusiasme adalah salah satu rahasia keberhasilan yang jarang dipedulikan orang. Aku sendiri setuju dengan point ini, kalau dikilas-balik tentang keberhasilan seseorang, antusiame menjadi satu kunci utamanya. Pasti pernah ingat kan pelajaran di SD dulu, yang bercerita tentang Thomas Alva Edison, bagaimana dia begitu antusiasnya mencoba idenya, kalau tidak salah dia melakukannya hingga 20000 kali! Dan nyatanya setelah itu keberhasilan yang diraihnya, antusiasme plus kerja keras intinya.
Aku jadi ingat kata-kata yang pernah terlontar dari mulut temanku, ketika kami berbicara tentang bisnis,"Tahu, gak, kamu, Mel.. kalau kamu tetap ingin serius di bisnis, setiap hari kamu harus mentouch bisnis kamu barang semenit atau dua menit saja. Entah kamu analisa bisnis kamu, copy-paste excel sheet, sampai kamu coba mencari di internet alternatif ide." Boleh juga sih, sarannya... Sejujurnya, setahun yang lalu, ketika aku mulai semangat membangun own business, aku dengan senang, ikhlas mengorbankan beberapa hari cutiku untuk mendapatkan pelajaran tambahan tentang bisnisku, kadang kala di sela-sela jam istirahat, aku korbankan jam makan siangku untuk berburu cetakan di pasar-pasar tradisional, belum lagi setiap hari aku melanglang ke website komunitas hobi yang sama. Benar-benar menyenangkan, walaupun lelah....
Sayangnya, semangat yang ada hanya sesaat timbul. Kemungkinan hal itu dibatasi kurangnya strategi dan antusiasme yang semakin hari semakin berkurang seiring dengan problem yang makin besar. Itulah, ketika pelatihan ini, aku seperti di flash back kembali tentang hal-hal yang gagal aku lakukan, dan rasa malu timbul dengan sendirinya di dalam hatiku. Tujuan topik ini sendiri sebenarnya tak terlalu muluk, kami para peserta diajak untuk antusias pada hal-hal yang kecil dulu. Jadilah, ketika kami perform, hal-hal personal yang mewarnai antusias kami, dari menurunkan berat badan, merapikan meja kerja, berolahraga, menurunkan kolesterol, dan point yang aku pilih adalah aku ingin lebih disiplin sholat lima waktu. Simple dan agak susah menurut pengalamanku, aku sering terlewat sholat Isya karena ketiduran, dan sholat Subuh karena alarm yang aku pakai alarm tangisan anakku. Mulailah sepulang dari pelatihan, aku memasang alarm di handphoneku untuk sholat Subuh. Langkah pertama ini membuatku agak mengantuk keesokan harinya, toh tetap antusiasku harus dijalankan dengan konsisten, selain karena ingin ada perbaikan, sholat itu sebenarnya kewajiban, kan?... Dari sini, aku sendiri berharap bisa membangun antusias di bagian lain dari hidupku, toh seringnya keberhasilan itu dari hal-hal kecil, bukan?....

Thursday, July 20, 2006

TEMAN

Salah satu ungkapan yang sangat aku ingat adalah "Friends are a family who you can choose", bagus, singkat dan sangat berkesan. Apalagi bila tiba-tiba aku ingat akan beberapa temanku, yang tidak setiap hari bisa aku temui, ataupun aku hubungi. Ada keinginan tersendiri di hatiku untuk selalu tahu keadaan mereka ataupun kalau bisa bersua kembali dengan mereka, pasti akan banyak cerita yang bisa kami saling bagi. Indah, bukan?
Mungkin karena keindahan pertemanan itulah, aku yakin sekali setiap individu bisa mempunyai lebih dari satu orang, yang bisa disebut teman. Coba saja anda hitung berapa teman yang bisa anda miliki dari jenjang sekolah, TK, SD, SMP, SMA sampai universitas? Belum lagi teman yang berasal dari club yang anda ikuti, teman kerja, teman kursus, banyak bukan?
Sebagai contoh, aku yang terbilang tak terlalu memiliki teman yang banyak, bisa dengan bangga bilang kalau temanku jumlahnya tak terhingga. Padahal kalau ditilik-tilik dari masa sekolah, masa sukses gaulku hanya SD, SMP lalu kuliah. Di masa TK, aku hanya memiliki beberapa teman, karena aku kurang percaya diri dengan kekuranganku saat itu, yaitu mengucapkan huruf 'r', maka aku menarik diri dari pergaulan. Kemudian di masa SMA, aku hanya memiliki segelintir teman dari club yang aku ikuti, dan beberapa teman sekelas, itupun masih dikarenakan hal yang sama, kurang percaya diri! Bayangkan saja teman SMAku terdiri dari anak-anak konglomerat, direktur ataupun artis, mereka bersekolah dengan membawa mobil sendiri, sedangkan aku cukup puas dengan diantar Bapakku setiap pagi, dan pulang, naik bis kota.
Toh, sejalan dengan waktu, kepercayaan diriku timbul seiring dengan kedewasaanku. Aku bisa bergaul dengan bebas di masa kuliah. Tak mengenal materi, tak mengenal derajat, dan kami menjadi sangat akrab satu sama lain. Walaupun tak dipungkiri, kami saling membentuk genk-genk masing-masing, tapi tetap kami bisa jalan bersama dan bersatu. Aku sendiri terdaftar di dua genk secara tidak resmi, genk gaulku, terdiri dari empat orang, dimana hanya aku satu-satunya yang wanita, genk keduaku, yaitu genk para wanita elektro yang sering ngumpul di musholla, dari hanya ngobrol, sholat, mengerjakan pe-er sampai mengkaji Al-Qur'an bersama. Tetap saja, seiring waktu, satu persatu teman berganti keakrabannya, dan terakhir sekali, aku menjalin hubungan seperti saudara hanya pada dua orang sahabatku, Rina dan Wenny. Sampai-sampai untuk masalahku yang paling pribadipun hanya kupercayai pada dua makhluk cantik ini. Menangis. Tertawa. Berbagi saran, itulah yang mewarnai persahabatan kami. Sampai-sampai suamiku sendiri berkomentar "Kalian itu dekat sekali ya satu sama lain, sampai seperti saudara".
Perjalanan waktu jugalah, yang kemudian menempatkan kami sangat sulit bertemu, entah karena anak, entah karena pindahan rumah, hanya teleponlah yang menghubungkan kami. Aku yakin sekali, kamipun sebenarnya memilik genk lain di lingkungan kami. Nah, aku sendiri memiliki beberapa teman yang terbentuk dari lingkungan kantor, teman-temanku itu beragam jenis. Ada teman yang hanya saling lirikan mata, kami bisa saling mengerti maksudnya, ada juga teman yang timbul karena perjalanan panjang kami ke Brussel, teman yang dimana aku sering membahas masalah dari sisi agama dan super ceria, teman yang benar-benar simple, teman yang rada-rada 'telat', teman yang jago memutar gajinya, teman yang sangat baik hati dan selalu memberi, teman yang benar-benar ibu berpengalaman sampai teman yang istri konglomeratpun ada. Dengan mereka, aku tak akan bisa menyembunyikan rahasia tentang masalah karir ataupun kantor. Sampai-sampai kalau kami berkumpul, para suamilah yang menjadi korban untuk menunggu acara diskusi kami selesai. Terus terang, memiliki teman yang segudang itu tak pernah merepotkanku, malah sebaliknya. Tak perlu bertemu setiap hari, tapi kami merasa dekat satu sama lain. Kalau sudah begini, aku jadi ingat salah satu ungkapan lewat radio CosmoFM, "Friends are like stars. You don't always see them but You always know they are there" Hmm...

PS: dedicated to all my friends...
kalau tidak disebutin disini, bukan berarti kalian dilupakan loh...

Monday, July 17, 2006

Cinta

Cinta itu buta, cinta itu rumit, begitu ungkapan beberapa orang yang jamak kita dengar. Pasti tersenyum mendengar kata-kata ini lagi, apalagi kalau mengingat tingkah-tingkah kita ketika SMP atau SMA lalu, lucu dan agak norak, ya,kan? Bahkan dengan menggebu-gebunya kita beramai-ramai memenuhi mall-mall menjelang hari cinta, atau yang lebih populer dengan Valentine, untuk memilih bingkisan cinta. Ingat itu, saya jadi teringat dengan teman saya, yang sekarang sudah menjadi artis terkenal. Dulu ketika kami masih di SMP, setiap tanggal 14 Februari, dia akan menyambangi saya dan memberikan ucapan "Met valentine, ya, mel," dengan gaya kenesnya dan dilengkapi ciuman pipi kiri kanan. Saya hanya mengangguk dan tersenyum, karena di kamus saya tidak pernah ada hari Valentine, yang menurut Ibu saya, bukan hal yang harus diingat dan dirayakan.
Tapi itulah cinta memang unik, beberapa pasangan malah selalu mengingat hari jadi mereka dengan sesuatu yang bisa disharing dengan pasangannya, ada juga beberapa pasangan yang cukup memendam cinta dalam hati, cukup di apresiasikan dengan perbuatan tanpa kata-kata I love U, ada juga pasangan yang sangat ekspresif di manapun mereka berada. Semua itu wajar-wajar saja, karena setiap insan berbeda dan setiap cinta berbeda bukan? Walau demikian, cinta tetap punya standard yang sama di manapun berada, bahkan kalau ditilik-tilik, semua lagu cinta punya makna yang hampir sama. Kalau buat saya sendiri, ada beberapa kejadian cinta hebat yang terjadi dalam kehidupan saya sampai saat ini, kejadian yang secara otomatis mengundang air mata haru, yaitu ketika saya bertemu lagi dengan ibu sepulang dari Jerman dulu, karena ketika saya bertolak kesana saya meremehkan arti seorang ibu, ketika calon suami (yang sekarang sudah menjadi suami) memaklumi keadaan keluarga saya, dan terakhir, setiap kali saya menjadi seorang Ibu baru. Indah... dan saya masih bisa tersenyum-senyum sendiri kalau mengingat itu.
Makanya kalau sekarang saya melihat orang jatuh cinta atau merayakan valentine dengan pasangannya, saya turut senang juga. Seperti juga, waktu beberapa tahun lalu, ketika saya sudah bekerja dan memiliki anak, saya pernah janjian dengan dua teman kantor untuk mengenakan baju pink di hari valentine.... dan tahu dong, komentar teman-teman kantor kami, "Dee... valentine-an" Woalah... rasanya saat itu, malu dan pede jadi kamus kami seharian....


PS: buat 2 teman disana, ingat gak kejadian diatas?..:)

Wednesday, July 05, 2006

Menghibur

Pasti pernah terhibur atau menghibur,kan? Itulah yang beberapa minggu lalu kata itu muncul kembali di benakku. Padahal kegiatan menghibur dan terhibur sangat jamak dalam kehidupan kita sehari-hari. Dari teman yang curhat, panjang lebar, dan kita yang duduk terdiam, mencoba menangkap kesedihannya, itu sudah dibilang menghibur. Lalu ada juga, cara menghibur dimana kita memberikan solusi yang memihak ke kita. Alhasil, setelah acara curhat selesai, jadilah kita menjadi lebih dekat satu sama lain.

Banyak orang bilang curhat, menghibur, itu barang komoditas para wanita. Mungkin kata-kata itu muncul karena banyak sekali para wanita yang secara berbisik-bisik bercerita, sambil merangkul bahu, dan tak lama kemudian ada isak tangis, kalau isi curhatnya tentang luka hati. Kalau ditilik-tilik, sebenarnya para priapun suka juga dengan acara curhat ini, yangakpuasan mungkin kita tak bisa dengan jelas menangkap moment tersebut, tapi yakin sekali, deh, kalau para pria juga banyak keluhan yang harus diutarakan. Sangat manusiawi, bukan?

Saat ini, aku seperti menemui kepuasan sendiri dari acara menghibur dan curhat. Sepanjang hari-hariku banyak yang mengandung ketidak-puasan, dari penantian panjang mendapatkan pekerjaan baru sampai keluhan tentang masalah pribadiku, dan cara temanku untuk bertanya mengapa ini terjadi pada Yang Diatas-lah yang dipakainya. Cara itulah yang aku pakai akhir-akhir ini, sambil bercerita panjang di atas sajadah, aku memegang Kitab Al-Qur'an, dan membukanya. Tahukah bahwa cara ini sangat jitu karena aku selalu menemui ayat sesuai dengan kondisiku? Yang lebih membanggakan lagi, aku seakan diusapNya, dan dihibur dengan kata-kataNya. Tertarik mencoba??

Thanks for Oka, untuk caranya...