Thursday, April 13, 2006

Mama Alvin

"Mama-mama, saya pulang duluan,ya. Abis pembantu mau pulang," pamit Bu Ranti pada kami, para ibu yang sedang menunggu anak-anak di sekolah.
"Nggak balik lagi, Bu?" tanya salah seorang ibu, yang sering kami sebut Mama Alvin.
"Nggak, bu. Saya yang minta, abisnya kok lama-lama dia seperti menguasai rumah."
"Jadi Ibu yang minta dia balik?" tanyaku.
"Iya, udah terlalu lama ikut saya sih. lagipula biar anak-anak saya mulai mandiri."
"Kalau begitu biar di rumah saya saja, Bu."
"Jangan, jangan, Bu, sudah beberapa kali mbak yang ini kerja ama yang lain, ternyata gak cocok. Nanti malah memalukan saya lagi," ujar Bu Ranti sambil melambaikan tangannya.
Sepeninggal Bu Ranti, rasa ingin tahuku muncul untuk bertanya pada Mama Alvin, yang selama tiga bulan ini mendadak menjadi teman akrabku untuk mengobrol di sekolah ini.
"Memang Ibu masih butuh orang lagi?"
"Nggak,sih," jawabnya singkat. Dan tahulah aku bahwa rasa kasihan mulai merambat di hati mama yang satu ini.
Pertama kali mengenal mama satu ini bukanlah hal yang menarik perhatianku. Penampilannya yang khas ibu-ibu, mengikuti anaknya sambil menarik ransel anaknya, dan obrolannya yang tak jauh dari urusan dapur, yang terus terang aku tidak mahir dengan hal yang satu ini, benar-benar membuatku bercakap, bertemu dengannya sekedarnya saja. Pengetahuanku tentangnya dimulai ketika ada acara di sekolah anakku, dia menyumbangkan topi untuk para ibunya dengan sukarela, kemudian pengetahuan itu bertambah lagi dengan cerita dari Bulikku tentang toko serba adanya yang murah. Terus terang saat itu belum meninggalkan kesan yang mendalam di hatiku, apalagi aku memang bertemu dengan sosok ini hanya setiap hari Sabtu. Sampai ketika satu hari Sabtu, ketika aku menemui Bu Ranti, si pemilik sekolah, untuk berbincang-bincang tentang perkembangan anak, terucaplah satu kalimat Bu Ranti yang sangat meninggalkan kesan di hatiku. "Iya, kalau Mamanya Alvin sudah cukup dikenal di sekolah dasar itu, Ma. Karena dia punya 9 anak asuh disana." Deg... tiba-tiba aku merasa kagum sekali dengan Mama satu ini. Mulailah aku mendengarkan cerita-cerita tentangnya dari Bulikku, yang menjadi pelanggan tokonya, mulailah aku berlama-lama bercakap dengannya mendengarkan cerita-cerita tentang awal mula usahanya, itupun aku yang minta diceritakan. Semua itu menjadi berkembang, ketika aku menikmati cuti melahirkan sebagai murni ibu rumah tangga, aku jadi semakin kenal dengan sosok ini. Siapa nyana, mama yang sederhana ini ternyata lulusan S2, yang memilih usaha rumahan untuk karirnya, belum lagi kalau kita dengar omset usaha rumahannya yang menghasilkan berjuta rupiah dalam sehari, kalau hanya menilik penampilannya. Dan bukan itu saja, kemuliaan hatinyalah yang patut di acungi jempol. Bayangkan saja, dia tak pernah membiarkan pemulung yang lewat di depannya tanpa makan di rumahnya, dia juga tak pernah bisa membiarkan orang-orang kampung di sekitar kompleks kami pulang dengan tangan hampa dari rumahnya karena butuh bantuan, dari yang minta anaknya di sekolahkan, sampai pengobatan untuk anak-anak mereka, dia juga selalu menyisihkan 50 ribu rupiah untuk para satpam di sekitar rumahnya sebulan untuk biaya sekolah anak-anak mereka. Belum lagi, deretan petugas-petugas, seperti petugas PLN, yang selalu disuguhi makan dan minum di rumahnya. Sampai-sampai dia sering merasa jengah bila berjalan-jalan di seputar kampung karena hampir semua orang kampung pernah mengecap kebaikan hatinya, dan mereka begitu hormat pada Mama satu ini. Baginya, berbagi ke orang yang membutuhkan memberikan banyak manfaat baginya. Dia seakan dimudahkan untuk semua urusan, dari urusan pembantu sampai keamanan dirumahnya. Dia tak pernah kesusahan tanpa pembantu, karena setiap dia butuh orang untuk di rumah atau tokonya, orang-orang yang pernah dibantunya akan dengan ikhlas mencarikan orang. Dia juga selalu merasa aman dengan kendaraan-kendaraannya yang diparkir di belakang rumah, yang dia yakin tak mungkin ada orang yang iseng dengannya. Intinya, dibalik penampilannya yang biasa, ada sosok yang luar biasa yang meliputinya.. Subhanallah....

Wednesday, April 12, 2006

Siapa tahu kasus saya bisa jadi pioneer

Kata-kata itulah yang terlontar dari mulutku di depan bapak Kasubdikmas ketika interview untuk penggantian paspor. Bapak kepala itu hanya tertawa kecil mendengar ucapanku. Baginya, permohonanku ini memang agak aneh, karena buku paspor yang aku punyai masih memiliki sebagian besar halaman yang kosong, masa berlaku masih sangat panjang dan tidak ada penggantian nama, seperti kasus-kasus paspor para TKI yang harus menyertai bin atau binti pada namanya. Penggantian pasporku dikarenakan fotoku pada paspor beda denganku sekarang, dalam arti masalah kerudung.
”Begini saja deh,mbak, tulis surat pernyataan saja mengapa mbak memohon penggantian paspor. Cukup tulis tangan saja dan tanda tangan di materai,” papar Bapak tersebut. ”Pasti kok Mbak dapat paspor baru. Toh, negara tidak dirugikan dengan penggantian paspor mbak, malah nambah uang kas negara,kan?”
”Baiklah, Pak. Terimakasih.”
Di luar ruangan, aku sudah ditunggu Pak Mujiono yang menolongku untuk mengurus paspor ini. Dengan hati was-was, aku takut sekali bila saat ini aku menemukan hambatan untuk mengganti paspor. Untunglah, ketika aku keluar dari ruang Bapak Kasubdikmas tersebut, seorang karyawati kantor imigrasi mengatakan ”bisa,kok, hanya perlu buat surat keterangan.” Lega sekali rasanya, apalagi ketika Pak Pur, orang yang seakan menjadi pintu solusiku mengatakan pasporku pasti jadi.
Uiihhh..lega sekali....apalagi kalau mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, ketika aku meminta kantor untuk mengurus penggantian paspor, dengan terus terang mereka sangat keberatan, karena menurut mereka biayanya sangatlah mahal, harus ada biaya penghapusan data di kantor imigrasi, belum lagi pajak dan bla-bla. Aku benar-benar putus harapan, malah sempat ada pikiran sombong menyeruak di benakku, berapa juta sih biayanya, akan aku ganti. Ditengah-tengah kepusingan itulah, suamiku menyodorkan satu nama untuk dihubungi, yaitu Pak Pur, dan kejadian diataslah yang akhirnya aku temui. Semua benar-benar aku koordinasi sendiri, dan biayanya tidak sebesar yang aku bayangkan maupun ucapan kantor.
Mengingat urutan kejadian itu seperti kejadian yang menguji kedewasaanku sesungguhnya. Semua berawal dari tawaran untuk berkunjung ke negeri Hitler lagi dalam bulan Maret dalam rangka workshop. Sebenarnya tawaran ini sendiri memberatkanku, satu sisi aku baru saja melahirkan, dan sisi lain, aku merasa kesempatan yang jarang terjadi dikantor. Nyatanya aku menyetujui, dan lebih nyata lagi, visaku ditolak, karena fotoku di paspor beda dengan foto yang aku ajukan untuk membuat visa. Dan tidaklah aneh, bila kemudian saran untuk melepas kerudung pada saat difoto sempat dilontarkan calo visa ataupun temanku, yang menurutku, itu ide tergila selama dua tahun aku mengenakan kerudung. Aku benar-benar sebal mendengar saran itu.
“Foto di studio yang pemotonya perempuan aja, Mel,” ujar mereka ketika aku mengatakan keberatan untuk foto tanpa kerudung. Mereka berpikir keberatanku karena aku harus buka kerudung di depan pria, yang notabene tukang foto. Padahal selain itu, keberatanku juga akan hasil foto, dalam arti kalau sekarang aku harus foto tanpa kerudung berarti aurat yang selama ini coba aku tutupi akan terlihat juga oleh orang lain melalui foto yang dihasilkan.
”Yah, abis gimana,ya, mbak, ketentuan dari kedutaan begitu. Bahwa foto yang ada di paspor harus sama dengan foto yang akan digunakan untuk mengurus visa,” sambung mereka.
“Nah, mas, gimana kalo aku kasih foto zaman dulu”
“tapi harus backgroundnya putih loh, mbak”
“iya, foto SMA,” jawabku sudah sekenanya
“Mbak, fotonyakan harus berwarna dan terbaru”
“Mas pikir kalo aku foto untuk visa mau, apa Mas bisa menjamin di bandara munich nanti, aku tidak bermasalah? Karena secara physically, aku beda”
“Nggak apa-apa, mbak, yang penting visanya keluar”
“Enak aja, aku tetap tidak mau. Kenapa sih gak coba dulu?” ujarku setengah beremosi.
Tiba-tiba saja aku merasa bicara dengan musuh beratku. Terlalu bodoh sekali solusi yang dia beri. Bagi aku, saat itu dia benar-benar hanya ingin menyelesaikan tugas calonya, bukan tugas untuk membantuku.
“Pokoknya, mbak, aku tunggu di kedutaan sebelum jam setengah 12, bawa foto tanpa jilbab,” ujarnya sok tegas. Ih…rasa jengkel makin memuncak memenuhi otak dan perasaanku.
Langsung aku sambar telepon rumah untuk menghubungi temanku, yang aku yakin sangat bisa diandalkan untuk berdiskusi tentang case ini. Berkali-kali temanku mencoba menenangkanku, yang aku yakin sekali suaraku sudah naik turun tak keruan. Dari hasil diskusi, temanku menyarankan untuk meminta surat keterangan dari kantor imigrasi tentang perubahan foto, dan setelah coba mengurus visa ke kedutaan. Hal itulah, yang akhirnya aku coba diskusikan pada kantor, bisa ditebak orang kantor yang mengurus paspor tak mau melakukan, dan menurut mereka, tidak mungkin mengurus visa kurang dari 10 hari. Itulah yang terjadi, toh ketika visaku tidak bisa diproses alias ditolak, aku tidak merasa kecewa sama sekali. Jerman bukan negara baru bagiku.
Selalu ada jalan, itulah pelajaran yang aku ambil dari kejadian ini. Aku merasa lega telah melewatinya, dan aku merasa lega karena Allah memudahkan semuanya untuk aku. Sampai-sampai komentar, “lepas aja jilbabnya,” dan komentar “gara-gara pakai jilbab, saya nggak bisa pergi, pak” yang terlontar dari orang yang sangat aku hormati bisa kutanggapi sambil lalu. Yang penting…aku lega…..

PS: Seperti tulisan diary ya…bingung, mau nulis cerita ini gimana,sih……