Saturday, November 11, 2006

Soulmate

Apa elo soulmate gue? Buku berjudul itu sempat kubaca walaupun hanya beberapa halaman, dan dibaca full oleh suamiku. Entah kenapa, tiba-tiba suamiku bisa melahap buku itu sampai habis dan sesudah baca buku itu, lagu soulmate-Kahitna jadi sangat sering sekali dia dengar.
"Abis, aku bingung gak ada bacaan. Ada buku itu, udah aku baca aja sambil nunggu tukang pompa kerja. Lucu, say," paparnya. "Pengertian soulmate di buku itu dengan lagu ini kontras banget, deh."
"Kontras apanya?" tanyaku
"Kontras, kalau di buku itu dibilang, soulmate adalah orang yang bisa melengkapi kekurangan kita. Nah, contohnya, aku merasa kamu benar-benar soulmateku, say. Kamu bisa mengimbangi kekurangan Mas soalnya," jawabnya sambil mengenggam tanganku. Wadduh, melambung rasanya dipuji suamiku saat itu.
"Kalau di lagu itu, seakan-akan soulmate itu ada dua, coba deh perhatiin teksnya deh," lanjutnya sambil menyodorkan teks lagu soulmate. Olala... ternyata suamiku punya juga teksnya. Aku hanya manggut-manggut, karena masih 'melayang' di angkasa.
Karena itulah, aku agak-agak penasaran dengan buku ringan itu. Hasilnya, aku tidak bisa menuntaskan buku itu seperti halnya suamiku.
Ingat-ingat kata soulmate, jadi ingat sekali dengan seorang teman kakakku, Yuli namanya. Dia penganut soulmate sejati. Bagaimana tidak, setiap bertemu, tak pernah lepas satu kata soulmatepun dari mulutnya, dan tak pernah juga aku berhenti meledeknya.
"Tahu, gak, Yul, soulmate itu bisa perempuan atau laki-laki,loh. Artinya, bisa jadi sebenarnya elo udah menemukan soulmate lo, dan itu Mbak Ari, bukan?" ledekku.
"Ih, Mbak... bukan gitu... soulmate itu adalah pasangan kita, Mbak"
"Soulmate kan artinya teman berbagi duka dan suka, bukan? Nah, jadi bisa saja soulmate elo itu Mbak Ari," ledekku.
"Bukan, Mbak."
"Jadi, menurut lo soulmate itu sama dengan jodoh?"
"Bisa jadi, tapi lebih mendalam, Mbak. Contohnya, elo ama Mas Nowo."
Jawaban jitu Yuli itu menyudahi perdebatan kami. "Pokoknya, gitu deh, Mbak... susah dijelaskan."
Lain waktu, Yuli membahas tentang soulmate lagi.
"Gue sebel deh, Mbak, ada orang dari Kalimantan minta kenalan. Dia merasa istrinya bukan soulmatenya."
"Trus?"
"Ih, udah jelas-jelas punya istri, pakai bilang itu bukan soulmate dia. Yah, kalau udah nikah begitu, itu soulmate dia, gimana, sih.." lanjutnya sambil menggerutu.
"Lho, jadi soulmate itu adalah jodoh dong, Yul.." ledekku.
"Yah, bisa jadi. Tapi, kan, Mbak, eneg aja ada orang udah menikah bilang istrinya bukan soulmatenya, iya,kan?" Aku mengangguk-angguk setuju. Kalau suaminya merasa istrinya bukan soulmatenya, apa si suami juga tak memikirkan kebalikannya, bisa jadi istrinya juga merasa salah memilih suami? Pikiranku melayang juga melengkapi gerutuan Yuli.
Lain waktu. Di email.
Soulmate does exist... dari Yuli.
10 menit kemudian
Soulmate does exist again... dari Yuli.
Aku tak membaca full emailnya. Terlalu panjang. Aku hanya membalas di email keduanya.
Apa bedanya soulmate dengan jodoh?
5 menit kemudian.
Nanti aku cari tahu jawabannya, Mbak.
Sebenarnya, sih, kalau dilihat-lihat definisnya, soulmate adalah teman berbagi masalah. Beberapa orang merasa soulmate adalah sahabatnya. Beberapa orang merasa kekasihnya adalah soulmatenya ketika mereka mulai membina hubungan, tapi beberapa saat kemudian berpikir kekasihnya bukan soulmate kiriman dari Yang Diatas. Parahnya lagi, beberapa orang malah berpikir orang yang diajaknya memadu janji setia di depanNya bukan soulmatenya. Nah, kalau begitu, jelas yang salah adalah pengertian soulmate yang mulai digrey-kan karena keegoisan atau kebuntu-pikiran orang tersebut. Kebuntuan yang mulai timbul ketika masalah-masalah datang, ketika perbedaan-perbedaan datang ataupun ketika datang orang yang lebih dari pasangannya. Padahal kalau dipikir-pikir dengan akal sehat, soulmate juga manusia biasa, yang artinya bisa jadi menimbulkan perbedaan, masalah untuk pasangannya, dan padahal lagi, disetiap saat dalam kehidupan, akan selalu datang makhluk-makhluk yang lebih menarik. Mengapa tak balik lagi lihat definisi soulmate, kan? Hmm.. mungkin akan lebih jelas memegang istilah suamiku, soulmate adalah orang yang melengkapi kekurangan kita, apapun masalahnya, kita selalu balik ke dirinya, semarah apapun kita kepadanya, kita tetap tak bisa jauh darinya.
Soulmate adalah pasangan jiwa... bukan begitu?.... Jadi, apakah elo soulmate gue? adalah pertanyaan yang seharusnya timbul sebelum memilih ikatan abadi, bukan?

PS: buat Yuli, as I promised... Semoga soulmate mendatangi Team Ar-Rahmah dengan berkahNya. Amien.

Thursday, November 09, 2006

Choice of Life

Life is about choices and consequences... Sepenggal kata-kata bagus itu aku dapat dari seorang temanku menjelang hari-hari akhirku di kantor yang terdahulu. Beberapa hari ini tiba-tiba saja kata-kata itu terngiang lagi di benakku, ketika seorang teman dekatku mengirimkanku satu sms singkat: Mel, bagi contoh surat resign dunk..
Walah, aku terus terang agak-agak shock membaca smsnya, karena setahuku dia belum dalam proses apa-apa di company manapun. Setelah menginterview agak-agak lama, akhirnya tercetus juga pengakuannya tentang rencananya. Dia berencana akan pulang kampung dan berencana membuka usaha sendiri sambil mencari kemungkinan menjadi dosen di salah satu universitas swasta di kotanya.
Aku mendengar itu hanya bisa mengerinyit tak mengerti, sampai akhirnya terjadi interview panjang via telepon malam itu. Tetap jawaban, keinginan dan angan-angan temanku itu susah sekali diterima akal sehatku, dari bagaimana nanti dia menghidupi keluarganya selama bisnisnya belum stabil, bagaimana dia membayar cicilan KPR yang di Jakarta, bagaimana nanti kalau keluarganya tidak betah, sampai pikiran kok bisa sih udah lama di Jakarta, balik ke kampung, tanpa konsep yang jelas, dan bukannya hijrah ke kota yang lebih internasional?
Tapi itulah.... Kadang pilihan seseorang menjadi hal aneh buat orang lain. Jadi ingat sekali ketika aku akan memilih fakultas untuk menimba ilmu, banyak argumentasi yang berkeliaran antara aku, Ibu dan Bapakku. Aku sangat-sangat ingin masuk fakultas jurnalistik atau ilmu komunikasi, dan hasil psikologi tesku juga menunjukkan dua tempat itulah yang cocok. Sedangkan Ibu dan Bapakku sangat tidak setuju dengan pilihanku, yang menurut mereka tidak jelas scope bidang pekerjaan nantinya. Maklumlah, kala itu, dunia informasi belum menjamur seperti sekarang.Ibu dan Bapak menyodorkan pilihan mereka, ambil fakultas ekonomi, tepatnya di jurusan akuntansi, teknik sipil atau teknik informatika. Walah... bukan aku namanya kalau langsung setuju, dengan agak-agak bandel, aku langsung bilang,"Oke, aku ambil teknik Elektro" Masih ingat sekali Ibu dan Bapak melongo tak jelas ke arahku. Kebayang sih, mereka pasti bertanya-tanya mau jadi apa aku ambil teknik itu. Aku sendiri tak tahu pasti. Aku hanya ingin tak ada yang menang saat itu. Konsekuensi pilihanku itulah yang sampai sekarang aku jalani. Aku kuliah di teknik elektro, dan dengan percaya dirinya mengambil teknik telekomunikasi, menyeberangi keinginan lain kedua orang tuaku, yaitu memdalami arus listrik kuat atau komputer, dan sekarang bekerja di bidang yang tak jauh dari pilihanku. Konsekuensinya mungkin yang sangat aku rasakan adalah aku suka memandang iri teman-temanku yang berkarir di dunia media massa, lebihnya tidak, aku cukup bersyukur dengan pilihan nekatku.
Kalau ingat-ingat kejadian itu, mungkin aku saat itu dipandang agak ajaib oleh kedua orang tuaku, memilih bidang yang saat itu tak jelas bidang pekerjaannya. Mungkin sekali pandangan itu sama persis dengan pandanganku pada teman nekatku itu.
"Banyak, kok, yang bisa dilakukan di kampung," begitu ucapannya sebelum menyerahkan surat resign pada mantan bosku kemarin siang. Terlihat jelas di mataku begitu kuat tekadnya mengubah hidup dengan memulai dari bawah. "Aku bisa bangun SPBU," kelakarnya lebih lanjut.
"Wah, kalau bisa bangun SPBU sih, gw malah udah gak mau cari kerja lagi, deh. Berarti kan simpanan gw udah em-em-an," sahutku.
"Pokoknya, pasti bisalah," tandasnya tegas.
Kalau sudah begini, aku memang hanya bisa memberikan jabat tangan salut untuknya. Bahwa hidup seseorang adalah pilihan orang tersebut, yang tidak ada standard baik-buruknya di mata orang lain, bahwa sesudah itu, konsekuensi yang terjadi adalah hal yang patut diatasi oleh pemilihnya, dan teman terbaikku ini telah memilih jalan hidup selanjutnya. Jalan yang mungkin juga akan membuat bos dan teman-temannya heran, keluarganya harus beradaptasi lagi, ataupun jalan yang pastinya akan banyak aral-melintang, tapi pastinya juga akan lebih memberikan hasil baik moril ataupun materiil yang lebih daripada yang sekarang, karena usaha sebanding lurus dengan hasil, bukan?...
Life is about choices and concequences
I live the life that I love....

PS: untuk seorang teman yang sudah memilih... Selamat menempuh 'hidup' baru! Wish U all the best! U've let me to take a look about choice of life.

Sunday, November 05, 2006

Waxing

Para wanita pasti familiar dengan istilah di atas. Aku sendiri sebenarnya bukan penganut waxing, bukan karena anti, tapi karena keluarga kami bukan termasuk keluarga berbulu tebal seperti layaknya orang-orang timur tengah.
Waxing yang sangat aku ingat waktu aku remaja dulu adalah waxing yang dilakukan oleh kakak pertamaku di bagian ujung lengannya, dan dilakukan di salon kecantikan. "Tahu, gak, Mel, abis waxing ini sekitar 6 bulan lagi baru tumbuh bulunya," promosinya waktu itu. Aku hanya meringis sendiri, dan sedikit berangan-angan sih mau melakukan waxing kalau sudah seumur dia. Nyatanya, sampai setua inipun, yang namanya praktek waxing tidak pernah kulakukan. Kata orang sih, rada-rada perih, ih... hidup ini aja sudah sakit, masa harus ditambah sakit yang lain, sih, begitu selalu alasanku untuk menghindar.
---
Tiga hari setelah Idul Fitri kemarin, tiba-tiba Mbak Ari, kakakku nomor dua, memamerkan waxing cream hasil pemberian temannya. Dengan lagak pedenya, dia melangkah ke kamar mandi untuk melakukan proses waxing sendiri.
"Ki, ambilin asseton," tiba-tiba teriakannya terdengar ke arah adikku, Kiki, yang kebetulan sedang menginap di rumah.
Adikku tergesa-gesa mengambil asseton.
"Ki, ambilin body lotion," teriaknya lagi.
Walau lumayan bingung, aku sok tak peduli, malah melangkah lenggang ke kamar mandi yang lain.
"Mbak, kayaknya Mbak Ari gak ikut, deh," kata adikku sekeluarnya aku dari kamar mandi.
"loh, kenapa?"
"Ketiaknya lengket. Waxingnya gagal," papar Kiki.
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
"Kok bisa?"
"Iya, Mel, gue gagal, nih. Mungkin karena bulu gue kurang banyak kali', ya" teriak Mbak Ari dari dalam kamarnya.
"Terus gimana, dong?"
"Masih lengket," jawab Mbak Ari sambil berlari ke kamar mandi dan mandi lagi.
Sambil menertawakannya, aku melangkah masuk ke kamar.
"Mas, Mbak Ari kayaknya gak ikut,"ceritaku pada suamiku.
"Kenapa?"
"Waxingnya gagal"
"Waxing apaan, sih?" tanyanya, yang kebetulan memang kurang mengerti istilah perwanitaan, dan sialnya dapat istri yang tidak pernah melakukan upacara itu.
"Itu cara untuk mencabut bulu, Mas"
"Trus?"
"Mbak Ari gagal, jadinya ketiaknya sekarang lengket."
"Lagian ada-ada saja, sih," ujarnya sambil tersenyum-senyum.
----
Akhir cerita. Mbak Ari agak berhasil menghilangkan lengket di ujung lengannya. Kamipun jadi pergi bersama.
"Kok bisa, sih, Mbak, waxing lo gagal?" tanyaku penasaran.
"Sebenarnya sih, Mel, gue udah dibilangin Yance, kalau bulunya gak banyak, susah waxingnya ditarik. Soalnya Yance kayak gitu. Dia berahsil ngelepasnya pakai aseton. Gue pikir gue bakal berhasil, ternyata nggak. Gue pakai asseton, gak lepas, gue pakai baby oil, body lotion, sampai-sampai Kiki bawain Filma ke kamar gue buat ngelepasinnya," ceritanya panjang lebar.
Aku dan suamiku tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
"Sekarang?"
"Masih lengket sih, tapi udah bisa angkat ketiak nih," jawabnya sambil mencoba mengangkat lengannya yang lumayan susah.
Oala... Mbak.. Mbak.... ada-ada saja....... Jadilah sepanjang perjalanan, aku mentertawakannya tanpa henti. Hm.. jadi benar kan kalau aku rada-rada mikir melakukan waxing?...

Saturday, November 04, 2006

Ketika Helmy meninggalkan kami...

Akhir pekan setelah Idul Fitri.
"Ayah, Mas Mi mau ikut bulik Ine. Ayah jangan nyariin ya... Mas Mi pulang sore loh," teriak anak pertamaku, Helmy, dari arah kamar mandi.
Suamiku melangkah mendekatiku yang sedang sibuk menyiapkan ransel thomas Helmy dengan beberapa kebutuhannya.
"Benar Helmy mau ikut ke Citayam, say?" Tanyanya dengan mata yang agak ragu dan cemas.
"Yo'i, Mas... Biarlah.."
"Gak ngerepotin, tuh?"
"Hmm.. nggaklah..."
Tak lama Nowo, suamiku, melangkah keluar kamar menyambut Helmy yang baru saja selesai mandi.
"Mas Helmy benaran mau ikut Bulik Ine?" Tanyanya lagi memastikan.
"Iya. Ayah ama Bunda di rumah aja,ya," jawab Helmy sok dewasa. "Bunda, Mas Mi pake tas Thomas loh..."
"Beres, Bos"
Jadilah sepanjang Sabtu itu, aku hanya bertiga di rumah, Aku, suamiku plus Dafi, bungsuku.
Kami habiskan separuh waktu di luar rumah.

Sore, ketika tiba di rumah.
"Helmy kok belum pulang ya, Mas," ujarku ketika perasaan sepi mulai menghanyutkan hatiku.
"Bunda mulai kehilangan teman berantem, dik Dafi," ledek suamiku
"Walaupun tuh anak jahil, suka ngerjain aku, Mas, sepi juga ya gak ada dia."

Kring..kring...
"Assalamu'alaikum. Mbak Meli, ini Ine, Helmy gak mau pulang."
"Hah?! Paksa, Ne, biar pulang, soalnya besok pagi mau diajak ke rumah Pakdenya."
"Udah, Ine paksa sih, Mbak, malah nangis tuh."
"Pokoknya bujuk, Ne, dia kan bawa susunya hanya 2 tempat."
"Kalau susu gampang, Mbak, nanti dibeliin di Indomaret."

Klik. Telepon ditutup.

Tidak berapa lama...
Kring...
"Mel, ini Om. Helmy nangis tuh gak mau pulang. Malah ngajak main lagi."
"Om, masalahnya kalau malam dia minta pulang, malah repot," ujarku mulai mencari alasan biar Omku termotivasi untuk memaksa Helmy pulang.
"Iya, deh, ntar dicoba."

0818...
"Ta, ini Mbak Meli. Helmy sudah pulang belum sih?"
"Wah, Ita lagi gak di rumah, Mbak. Ntar kalau Ita udah di rumah, Ita telepon Mbak Meli ya."

Dari maghrib sampai jam 8.30 malam, tak ada tanda-tanda Helmy pulang. Sebentar-sebentar kalau ada suara pintu pagar terbuka, aku melongok keluar. Sebenetar-sebentar juga suamiku mulai meledekku dengan teriakkan, "Bunda, tuh Helmy!"
Menyebalkan sekali.

Kring...
"Mbak, ini Ita. Helmy ketiduran di rumah, jadinya nginap."
"Kok gak ada yang ngabarin sih kalau gak jadi pulang?" tanyaku rada emosi.
"Maafin Bapak Ita, ya, Mbak"
"Kalau bisa, besok pagi-pagi, pulang ya"

Malamnya, tidurku lumayan tidak pulas. Sebentar-sebentar bangun karena mimpi Helmy, yang mungkin saat itu sedang tidur nyenyak. Jam 03.15 pagi, aku terbangun lagi, langsung ambil wudhu, sholat Tahajud. Sesudah sholat, tetap tidak bisa tidur.
Daripada bengong, aku mencuci baju saja. Manual, tanpa mesin cuci.
Paginya...
Kring...
"Bunda, Mas Mi lagi sarapan nih. Di sini dingiiiiinnnn deh, Bunda. ACnya gak bisa dimatiin"
"Sarapan pakai apa Sayang?"
"Pakai ayam"
"Mas Mi habis sarapan, pulang ya.. besokkan Mas Mi sekolah"
"Iya, Bunda... udah dulu ya, da...."

Ingat kejadian itu, aku jadi ingat kecemasanku dulu ketika Helmy berumur setahun. Aku sangat cemas sekali kalau dia tidak bisa beradaptasi di lingkungan luarnya, mengingat dia begitu tergantungnya padaku dan suami. Belum lagi, untuk tinggal di kampung, dia lumayan agak jijik bila melihat sendalnya penuh dengan tanah. Dia lebih suka berada di lingkungan yang lux, seperti hotel. Karena itulah, setiap liburan dia selalu menagih kami untuk menginap di hotel.
Nyatanya, kecemasanku tak terbukti, betapa harunya aku ketika di usia hampir 5 tahun ini dia memilih menginap di rumah Mbahnya, yang jauh dari kemewahan. Dia juga enjoy berbecek-becek ria..... Yang akhirnya malah menimbulkan kecemasan lain di hatiku karena ditinggalkannya.
"Bunda, kalau liburan nanti, Mas Mi nginap di rumah Mbah lagi ya. Mas Mi disana pakai sendal terus, main di sawah, di kali, ama nembakkin ayamnya Bulik Vera. Enak deh, Bunda"
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
"Ayah, kalau liburan nanti, Mas Mi ajak naik gunung dong...sekalian kemping," celotehnya masih panjang lebar.Yah, aku memang harus mulai siap untuk ditinggalkannya...

Thursday, November 02, 2006

Satu Episode Panjang

Awal 1998

"What time did Wiwi ask you to come here?"
"Execuse me, sir"
"Two o'clock?"
"Yes, sorry I'm late."

Mr. Thiemann hanya menggoyangkan tangannya, tanda no problem

Pertengahan 1999

"Mr. Gumhalter, which subject I must learn more detailed?"
"I don't know. I think it's better you learn all, and then we decide which subject you are in"
"What? Can you decide it for me? So, I could more focus"
"I can't, Miss Wulandari. I have to wait Mr. Thiemann."


Beberapa hari setelah itu.... Agustus 1999.
"Wisj, nyari orang IN ya?"
"Iya"
"Boleh gabung?"
"Oke, nanti gue ngomong ama Anton ya."
"Kalau belum pasti, jangan dulu"
"Prosedur pindah internal begitu, Mel"

September 1999, mulai di SBP
"Mel, kita ke Telkomsel yuk, Pak Nurain manggil"
besoknya
"Mel, ke satelindo yuk. Tjong ngajak meeting"
Besoknya
"Kuncoro ngajak meeting nih"
Malamnya.
"Define announcement ya"
"Bikin RSpec ya"
Besoknya
"Mel, presentasi di STT ya..ama anak bawah"
Berulang terus.
Sampai...
"Elo gak bikin passpor ama AMEX, Mel?"
"Emang gue diajak workshop di KL?"
"Yo'i..."
"Ini pertama kali elo keluar negeri ya?"
Aku mengangguk.

Akhir 1999
"Mel, Peer butuh orang IN buat project di Afrika. Elo yang pergi ya?"
"Berapa lama?"
"Tiga bulan"
"Gak ikatan dinas,kan?"
"Nggak, elo kan kerja."
Besoknya
"Mel, Peer bikin grup baru yaitu IP based mobile network. Kata Opa, elo tetap pergi, gabung aja ama grup peer yang baru."
"Trus, berapa lama?"
"setahun"
"Hah?!"
"Tenang...ada Tutut kok disana"

Maret 2001
"Elo gabung di Project Consultant, bawahnya Tobias"
"Kerjanya ngapain?"
"Elo pegang buat DCS project (-lupa namanya..red)"
"Pak, I want to move to Product Consultant"
"Why?"
Alasan meluncur dengan lancarnya.
Setelah under Leo
"Mel, elo ngerjain GPRS trial Indosat ya..Nevy soalnya mau dijual ama Fahringer"
"Mel, Telkomsel minta konsep TDM over IP"
"Mel, bikinin konsep IP buat Indosat"

Restruksturisasi lagi.
Dibawah Tutut.
"Elo mau megang apa, Mel, biar gak bosan?"
"Apa ya? udah gak ada mood"
"Radio, elo pasti gak mau"
"CS?"
"Nggak deh. Tapi gue pikirin sih"
Beberapa hari kemudian
"Jadi?"
"Gue bantuin Rudy aja plus tetap pegang PS"
"Oke"

Tutut pindah ke training center.
Raskita jadi my boss.
"Gue resign"
Pandu naik.
"Mel, gue dapat di Telkomsel."
"Wah, senangnya... gue kapan ya bisa pindah..."

Restrukturisasi lagi. Merger antara Fixed dengan Mobile Network.
Gabung under Agung.

Sebulan kemudian
"Berdasarkan beberapa pertimbangan,akhirnya gue milih cabut ke AGIT, Mel"
"Ok"

Sebulan kemudian
"Mbak, benar mimpi elo. Gw dapat di Natrindo"
"Gue ama siapa dong.."
"Tenang, kan, masih ada gue, Mel"

Satu hari setelah melahirkan anak kedua.
"Mel, gue dapat di XL."

Gubrakk!! so, I am the last mohicans....
Setelah cuti melahirkan.
Kenal beberapa orang baru, Adam, Bernard dan Yohan.
"Mbak, sini deh.."
"Gue keterima di Ericsson"
"Hah?! Asyik benar... Kontrak elo gimana?"
"Tahu, deh, Mbak"
Terjadilah pembicaraan trik-tips antara kami.
"Elo gimana, Mbak?"
"Honestly, gue udah tes di XL. Sampai Medical Check up. Tapi gak ada kelanjutannya,tuh"

Tiit..tiiit....
"Dengan Meli Wulandari? Saya dari XL. Bisa gak Mbak fax slip gaji Mbak ke kita? Buat pertimbangan."
"Oke, Mbak"

"Tuh,kan, apa gue bilang Mbak. Tunggu aja 2-3 minggu pasti dapat kabar deh"

Masa penantian. Tak ada kabar dari XL. Masa perubahan. Masa tes-tes di tempat lain. Masa berdebat. Masa pelatihan Dale Carnegie.

Mbak, udah di telepon Fajar belum? -sms masuk
Belum. Tenang, kata teman gue sebulan setelah medical check up.
Sebulan? Lama banget ya

Bertemu Fajar.
"Mbak, ini belum final offer. Kita mau tahu kompensasi Mbak di current company."
Terjadi diskusi.

"Mas, aku dapat konfirmasi dari Ericsson"
"Wah, gede juga ya, say"
"Eh-eh. Alhamdulillah."

Tiit..tiit.
Mel, bisa EFA besok pagi? - sms dari bos-
Oke. Jam berapa?
Jam 10.
Oke.

Pagi harinya...
"Sudah bisa EFA sekarang, Pak?"
"Boleh"
Tutup pintu.
"Gak perlu EFA, Pak. Saya mau ngasih ini."
"Hah?! Kamu ngagetin banget. Kenapa?"
"Banyak, Pak. Pertama, saya merasa tidak ada personal development disini."
"Iya, HR disini tidak aktif. Personal Development dari kita sendiri. Misalnya, saya assign apa yang buat kamu"
"Kedua, banyak konsep yang gak jelas buat saya, spserti konsep OSS, menurut saya konsep SS yang udah digodok aja, masih rancu buat saya, apalagi kalau saya cebur ke OSS. Belum lagi isu merger, Nokia juga punya OSS loh, Pak."

"Tapi,kan, Siemens lebih dulu"
"??"
"Ketiga, saya sudah sholat Istikharah, Pak, hasilnya saya harus keluar"
"Kamu mau ditawarkan apa biar bertahan?"
"Nggak ada"
"Kamu pindah kemana?"
"Bapak pasti tahu, kan?"
"Nggak"
"Masa' sih? Jimmy kalau ke sini aja, udah teriak-teriak, kok, belum lagi yang lain. Kalaupun belum, cepat atau lambat, Bapak pasti tahu, kok"
"Megang apa kamu disana?"
"Masih PS sama IMS, kok. Honestly, saya dapat tawaran dua company, satu sudah finalized, yang satunya lagi masih nego. Dua-duanya pegang produk yang sama, kok"
"Oke, saya pegang dulu surat resignnya,ya"

Prosedur yang hampir sama dengan waktu Amel atau Silvy. Hanya tidak ada yang pasti dalam penawaran.

Tanda tangan kontrak di Ericsson.
Kring..kring..
"Halo, dengan Mbak Meli? Saya, Edo, bisa Mbak datang hari Rabu buat offer kita?"
"Jam berapa?"
"Jam 10"
"Oke."

Hari Rabu. Ke tempat Edo.
"Mbak Mel, kami tawarkan paket ini..ini.."
"Bisa lebih, Mas?"
"Ini udah paling mentok"
"Okelah, saya ambil. Saya mulai masuk tanggal 1 November"
Sorenya..
"Halo, dengan Pak Agus? Saya Meli... saya mau membatalkan kontrak"

Agak tidak enak. Tapi sudahlah... This is what I want....
Sekarang...
sudah terdampar ....


PS: wish me luck! --memoriam in Siemens, 8 years 8 months--