Saturday, December 23, 2006

Keinginan

11087... tut.. tut....
"So, udah sarapan?"
"Udah. Biasa... gw bawa, Mel. Tadi sebelum masuk kantor gw sarapan sambil ngobrol, makanya masuk kantornya baru jam setengah delapan," papar Yoso pagi itu.
"Rajin juga lo, ya, bawa..."
"Iya, Mel, gw lagi ngirit nih..." Kemudian cerita panjang meluncur dari mulut temanku ini, tentang cita-cita dan keinginannya, yang terus terang malah membuat hati kecilku malu. Cukup dalam keinginan Yoso, yaitu naik Haji. Terus terang, mimpi itu lama sekali aku pendam, dan masih ingat sekali bagaimana aku dengan semangat 45nya membuka tabungan haji dan berniat menyisihkan setidaknya 100 ribu untuk memenuhi mimpiku datang ke rumah Allah. Sampai-sampai kegiatanku ini mengundang tawa dari seorang temanku, "Ya ampun, Mel, kalau cuma 100 ribu, kenapa gak nabung seperti biasa aja di tabungan elo?"
"Yah, biar jelas aja," jawabku singkat kala itu. Mimpi itu masih ada sampai saat ini, tapi disiplinku yang mulai berkurang. Aku mulai menumpuk uang tabungan haji di rekening lain, karena malas ke bank hanya untuk menyetor uang 200 ribu, yaitu 100 ribu punyaku dan 100 ribu lainnya ke rekeningku. Bisa ditebak, sekali melanggar, seterusnya rekening tabungan haji kami tak berubah nilainya.
"Biasanya kalau punya keinginan, kita jadi lebih semangat, iya, kan?" ucap Yoso lagi ketika aku menyatakan kehebatannya untuk konsisten memenuhi keinginannya.
Itu pula mungkin yang timbul di salah satu benak temanku nan jauh disana, yang tiba-tiba di pagi itu menelponku dan menceritakan keraguan dan keinginannya.
"Jangan ketawa ya, Mel, kalau gw ceritain," pintanya pertama kali membuka percakapan.
"Nggak, deh. Emang ada apa sih? Tumben banget pagi-pagi elo telpon"
"Gw ragu, Mel, antara ngambil paket atau terus"
"Yah, kalo elo belum punya kerjaan baru, yah.. jangan ambil paket. Gampang,kan?"
"Tapi, kan, sebel juga, kalau tiba-tiba 6 bulan kemudian gw dapat kerjaan diluar"
"So?"
"Nah, semalam gw sholat Istikharah"
Aku langsung tertawa mendengarnya. Bukan apa-apa, temanku satu ini susah sekali diajak sholat. Jangankan Sholat Sunnat, yang wajib saja selalu ada alasan, entah belum keramaslah, atau sebelum ke kantor, sempat kesenggol istri.
"Tuh, kan, elo ketawa. Gw semalam juga pas berdoa mikir gini, pasti gw diketawain ya, karena selama ini gak sholat, kok sekarang sholat Istikaharah," ujarnya jujur.
"Btw, sebelum Istikharah, Sholat Isya' gak?" ledekku.
"Sholat"
"Trus, Subuh?"
"Nggak, kesiangan," jawabnya.
Singkat cerita, ada satu keinginannya untuk memilih diantara pilihan terbaik yang ada. Sampai-sampai dia sempat tahajjud, istikharah dan sholat lainnya.
Terlepas dari apapun, aku sangat senang mendengarnya. Apapun yang terjadi pasti selalu ada hikmahnya, dan hikmah indah itu dilakukan oleh temanku.
-----

Mengingat kata-kata keinginan dan mimpi, aku bahkan siapapun sangat setuju dua kata itu bisa menjadi pemicu semangat yang timbul. Tinggal bagaimana kita menjaga semangat itu tetap ada. Karena sangat-sangat dimaklumi sekali bahwa setiap manusia setiap harinya akan mempunyai keinginan, yang biasanya belum sempat terpenuhi, sudah timbul keinginan yang lain, keinginan yang lain belum terpikir bagaimana menggapainya, sudah timbul keinginan yang kadang datangnya dari entah berantah. Herannya, setiap kali pula manusia tak pernah capai untuk mengejar keinginannya. Berlomba dengan ribuan manusia untuk mewujudkannya, ataupun sekedar meredam nafsu dalam diri dengan lebih menggunakan logika apakah keinginan ini cukup berharga untuk dijalankan atau tidak. Mungkin hanya manusia yang bijaksana yang bisa membedakan keinginan yang memang kudu diwujudkan atau kudu dibuang.
Tapi, pernahkah ketika kita yakin membuang satu keinginan, tiba-tiba ada orang lain yang membenarkan keinginan kita itu, sehingga kita punya alasan untuk tetap lanjut? Atau bisa jadi kita sendiri yang punya segudang excuse untuk mewujudkan keinginan yang tak berharga? Sangat manusiawi,kan?...
Aku jadi teringat satu kisah lagi tentang keinginan, yaitu keinginan seorang laki-laki untuk bisa berqurban kambing, padahal pekerjaannya hanya sebagai pesuruh, dan dia tulang punggung untuk keluarganya. Tahu berapa lama dia bisa mewujudkan mimpinya? 14 tahun! Selama 14 tahun, dengan sabar dia menabung, menyisihkan berapa ribu rupiah, dan ketika uangnya cukup, adiknya perlu dana untuk sekolah. Kembali menabung dengan sabar dan semangat, yang akhirnya Allah memberikan waktu qurban terindah untuknya. Hebat, bukan? Setelah membaca artikel itu, aku seakan ingin membangun kembali semangat untuk mewujudkan semua keinginanku... Nothing impossible in this world, kan? Kalau kita berusaha, Allah pasti tak akan menutup mata untuk semua usaha kita. Semoga....

Tuesday, December 19, 2006

Reminder

"Gimana, Mbak, outboundnya menurut Mbak?" Tanya Yassin temanku sepulang program 'kewajiban' outbound bagi pegawai baru.
"Seru," jawabku singkat.
"Selain itu?"
"Buat gue, sih, semacam reminder"
"O,ya? kalau aku sih ikut outbound kayak begini baru pertama kali, yah ini... bagus ya materinya, mbak. Mbak pernah ikut dimana aja?"
"Ikut outbound sih beberapa kali. Cuma materi dari Bu Riny ama Pak Julius kayak reminder buat gue. Dulu, waktu di Siemens, gue pernah ikut Fundamental Leadership Program di dale carnegie, pas kelas terakhir, kita diminta membawa komitmen untuk 6 bulan kedepan. Gue sempat lost tuh ama komitmen itu, syukurlah karena outbound ini gue merasa diingatkan kembali akan komitmen yang pernah gue bangun." paparku panjang lebar.
Itulah yang aku rasakan ketika materi Life strategy diberikan. Aku seperti diingatkan kembali pada lembaran karton putih besar, yang aku hiasi dengan gambar-gambar tentang aku di masa enam bulan mendatang. Masih ingat sekali apa yang kutulis saat itu, yaitu mendapatkan tempat baru yang lebih challenge untuk karirku, memulai bisnis sendiri, lebih memperhatikan anak, terakhir tujuan jangka panjangku, membeli rumah idaman lagi dan menjadi Ibu dan pekerja yang cukup dibilang sukses.
Aiih.. terlalu muluk sekali kalau ingat komitmen yang aku buat saat ini, tapi tidak saat aku menyusunnya. Mungkin dikarenakan energi positif yang timbul di antara kami, sehingga kami merasa optimis mampu untuk mewujudkannya. Tentu saja, komitmen itu kami jelaskan dengan berbagai strategi yang kami pikir masuk akal untuk kapabilitas diri sendiri.
Toh, nyatanya.. ketika aku melangkah jauh dari lingkungan itu, ketika komitmen pertama aku dapat wujudkan, aku mulai merasa blur dengan tulisan di karton putihku. Aku mulai menanamkan beribu-ribu execuse untuk tidak tercapainya komitmen yang lain. Tahu, kan, apa yang terjadi? Begitu mudahnya aku dibalikkan ke titik awal, menjalankan semuanya tanpa melihat tujuan, begitu mudahnya aku ditanamkan sejuta kelelahan menghadapi lingkungan dan tantangan baru. Sehingga ketika hari itu, aku duduk mendengarkan Pak Julius berbicara, begitu tersentaknya aku bahwa aku masih punya beberapa komitmen yang belum tercapai.
"Adduh, kayaknya gw harus mulai nih pulang dari sini," ujarku ke seorang teman yang duduk persis di sebelahku saat itu.
"Apa saja, Mbak?" tanyanya.
Aku coba paparkan beberapa... "Aku juga pengen ah, Mbak," lanjutnya. Aku mengangguk tersenyum. Yah, indah sekali saat itu, sebuah reminder dikirimkan kepadaku. Hmm.. aku jadi bertanya-tanya lagi, apakah akan ada reminder lain ketika aku mulai lelah??.....