Saturday, October 07, 2006

Dilema

"Mbak Meli, dilema itu artinya apa ya?" tanya Adam, teman kantorku.
"Yah, dilema....," jawabku asal.
"Bisa gak, Mbak, dibilang Mbak punya 2 keinginan. Yang satu mbak suka, yang satu nggak?"
"Kalau itu, sih, gampang, Dam. Tinggal pilih saja yang kita suka. Iya, kan? Dan itu bukan dilema. Kalau menurutku, dilema itu memilih salah satu dari dua hal yang kita sukai."
"Oo.. iya,ya, Mbak."
Percakapan singkat beberapa hari yang lalu tiba-tiba menerpaku. Aku dihadapkan pada dua pilihan, yang setelah aku buat tabel plus-minusnya, jumlahnya persis seimbang. Setelah aku pikir keras-keras, hasilnyapun sama.
Jadilah, teman-teman terpercayaku yang jadi sasaran diskusi. Jawabannya pun macam-macam, ada yang mengusulkan aku minta 'gentlemen agreement', ada juga yang mengusulkan aku mengambil kompensasi yang paling besar, dan saran paling banyak yang aku terima adalah go for it... artinya nikmati hasil usahaku, yang selama ini aku idam-idamkan.

Wadduh, terus terang rasa ragu tetap ada di hati. Aku tanyakan pengalaman temanku yang lain, yang sudah lebih dulu memilih, dia menceritakan kegamangan yang sama yang dia rasakan setahun yang lalu. Dia menutup sarannya dengan, "sholat Istikharah, Mel."
Pesan bijak itu sendiri sebenarnya sudah aku dengar dari beberapa orang temanku, aku hanya mengangguk-angguk saat itu. Biasa... aku terlalu keras kepala dan selalu mencoba analisa semua saran dengan sangat lambat.
Sampai akhirnya, aku menceritakan semuanya ke Nowo, suamiku.
"Kalau kamu mau keluar dari comfort zone, keluarlah sejauh mungkin. Jangan nanggung, say. Kamu coba pikirkan apa yang kamu tidak suka dari company yang sekarang, bukan gaji kan?"
Aku menggeleng kecil
"Hehehehe, tapi termasuk deh, Mas. Cuma bukan prioritas"
"Nah, yang kamu gak suka adalah manajemennya kan? Kemanapun kamu dipindah oleh kantor sekarang dengan segala perbaikan posisi, kamu tetap akan berada di manajemen yang sama, iya, kan? Ketika mereka merger, bukan berarti mereka akan berubah kan, say? Kalau masalah jauh, tenang...banyak jalan menuju Roma", sarannya.
"Tapi, say, apapun pilihanmu, Mas dukung. Istikharah deh."
Olala... kata Istikharah lagi yang terdengar, kali ini dari mulut suamiku, yang sarannya sangat menyejukkanku saat itu.
Mulailah, beberapa malam, aku tunaikan sholat 2 rokaat itu. Malam pertama, belum ada petunjuk sama sekali. Malam kedua, aku bermimpi bertemu temanku untuk lunch bersama, digedung yang pernah aku datangi untuk interview. Malam ketiga, mataku sempat tertumbuk pada satu kalimat di majalah, yang garis besarnya, kenyamanan pertemanan jangan jadi penghalang untuk pindah kantor. Malam keempat, biasa saja. Malam kelima, tidak lama satu sms muncul, Mbak, aku ada interview di... Mungkin ini maksud pertanda? Bahwa kalau aku tidak go for it, aku akan melakukan hal yang sama? Paginya, aku diberitahu bosku, bahwa aku tetap dibawah dia. Oh, oh, so I can't fly freely... Aku masih diperbantukan, tidak disuruh terjun bebas.
Ini kali petunjuk terakhir, ya?
Beberapa hari kemudian, sebelum surat 'cinta' aku berikan, temanku, Ponix, tiba-tiba mengatakan, "Nokia cari OSS person di Kompas hari Minggu kemarin". Aku hanya mengangguk. Kok bisa ya, Ponix menyampaikan berita itu, padahal dia tak pernah tahu statusku yang diberi challenge untuk mencoba PM/SDA OSS.
----
Dilemaku terhapus dengan sempurnanya. Allah Maha memanjakanku, memberikan petunjuk yang sangat jelas di hati raguku. Benar-benar ini seperti miracle buatku. Aku tak pernah mengira bahwa Allah begitu mudahnya dan cepatnya memberikan jawaban. Ketika satu sms masuk lagi,
Gimana, Mbak? udah resign?
Udah. Baru aku kasih.
Ada Hadits : Gak rugi orang yang dah sholat Istikharah. So, go for it.
Balas temanku singkat, dan benar-benar menguatkanku. Semoga.....

Ikhlas

Dear Meli, ternyata menjadi untuk benar-benar ikhlas itu susaaaaahhh bgt ya...., begitu sekelumit tulisan sms dari seorang sahabatku. Tanpa sadar aku mengangguk setuju. Aku jadi teringat kultum siang itu, ketika seorang mantan peragawati, Mbak Okky Asokawati, membeberkan tentang perjalanan hidupnya menuju ke arah 'muallaf', begitu istilah Mbak Okky. Istilah itu diambilnya, karena Beliau merasa sekali Islam yang dia anut dari kecil, bukanlah Islam seperti yang dirasakannya sekarang. DBAS, Dunia Bahagia Akhirat Surga, adalah target Beliau setelah mengenal Islam. Dengan target itu, Beliau mencoba melihat semua kejadian yang terjadi dari sisi hikmah, karena menurutnya manusia itu ciptaan Allah, sepertinya mesin cuci samsung, pasti ada kan manualnya, nah manualnya manusia itu, yaitu Al-Qur'an. Apapun yang terjadi, kita seharusnya mengacu pada buku manual tersebut, dan yang penting kita jaga agar DBAS kita jangan terampas. Pemikiran yang sederhana tapi sangat mengesankan buatku saat itu.
Jadilah, sepulang dari acara kultum siang itu, aku dan sahabatku, Tutut, itu membahas tentang kejadian yang akhir-akhir ini kami alami, yang sebagian besar tentang topikku saat itu, tentang kepasrahan yang tiba-tiba timbul dari diriku kepada Allah, dan merasakan lebih ringan menjalankan hidup. Kepasrahan itu sendiri muncul ketika aku begitu give up dengan semua angan-angan diotakku yang susah diraih, begitu lelahnya saat itu, begitu beratnya menahan luapan keinginan saat itu, dan begitu putus asanya aku saat itu. Kemudian, pertanyaan yang muncul dari benakku, mengapa aku tidak mencoba memaintain yang aku punya saat itu?...
Mulailah, aku memohon maaf atas segala dikteku padaNya, mulailah aku melepaskan keinginanku satu persatu, dan mulailah aku memohon padaNya untuk menjadi orang yang lebih sabar, bersyukur dan ikhlas.
Allah memang Maha Pemurah, tak sampai hitungan tahunan, aku mulai bisa menjadi sosok yang lebih tenang (begitu komentar salah seorang temanku), aku merasa menjadi orang yang lebih pasrah. Tetap semangat, tetap usaha, dan tetap berdoa, biarkan Allah yang mengatur segalanya.
"Tapi, Tut, kayaknya akhir-akhir ini gue merasa udah mulai berubah, deh. Ketika semua hasil tinggal hitungan dari Allah, gue seakan memaksa Allah untuk mempercepat semua proses. Sebel deh, ama diri gue! Betapa susahnya menjadi orang yang konsisten, tetap pasrah. Gue kadang bertanya bagaimana ya caranya menjadi seperti dulu lagi?"
"Mel, mungkin Allah ngatur semuanya."
"Iya, ya... I'll try deh," jawabku menutup pembicaraan. "Thanks, ya, Tut."
----
Dan malam ini, ketika aku membaca sms Tutut, membuatku merenung lagi, bahwa sesungguhnya setiap manusia itu punya cobaan. Kadang-kadang cobaan yang menimpa orang lain dalam pikiranku adalah hal yang ringan, tak seberat cobaanku. Kadang-kadang cobaan yang menimpa orang lain adalah hal yang mudah untuk diatasi buatku. Tapi, pernahkah aku berpikir bahwa cobaan yang diberikan padaku bisa jadi hal yang mudah juga untuk orang lain? Apakah pernah juga aku memikirkan sebagai orang lain ketika cobaanku datang, sehingga aku begitu mudahnya melewati semuanya? Atau pernahkah aku harusnya melihat bahwa semua keinginanku itulah yang mengubah sudut pandangku tentang cobaan? Karena cobaan yang sering ada adalah aku ingin, aku ingin, aku ingin... dan aku menganggapnya cobaan karena belum terwujud. Aihh.. jadi rancu sekali bukan? Manusia dan keinginan itu seperti sebuah kotak yang ditarik garis diagonal, begitu kata Aa Gym, artinya garis diagonal, yang merupakan simbol keinginan, itu akan terus melampaui kotak, bahkan ketika kotak (yaitu pengandaian untuk manusia) itu sudah tuntas. Agak horor membayangkan pengandaian itu, ketika aku menutup mata aku masih punya banyak keinginan, atau istilah orang, banyak maunya sampai mati. Padahal keinginan itu adalah hal yang lumrah, hal yang bisa membuat orang semangat, dan Islam mengakui itu, karena itu salah satu ilmunya lagi, kalau punya keinginan, mintalah kepada Allah, karena Dia yang Maha kaya, tapi tetap diringi pernyataan bila keinginan itu diridhoi-Mu, ya Allah. Mengimbangi apa yang kita mau dengan apa yang terbaik dari Allah-lah yang menurutku agak susah. Balik lagi, Ikhlas-lah rasa yang aku pandang perlu aku punyai. Indah, bukan, kalau kita punya keinginan dan tetap tahu batasannya kita sebagai manusia, yang cuma bisa meminta, dan Allah yang mengabulkan yang terbaik? Indah, bukan, ketika kita meminta, Allah yang memikirkan dampak kedepannya buat kita, tanpa kita repot-repot memikirkannya? Indah, bukan, dimanjakan Allah dengan cara terbaik? Seandainya, setiap hari akalku bisa diajak berpikir begitu...
Iya, Tut, semoga kita bisa menjadi manusia yang ikhlas. Amien.
Kutulis jawaban singkat untuk Tutut, jawaban yang sebenarnya doaku.