Thursday, January 25, 2007

Cinta lain

"Halo...."
"Halo, Mbak Meli... Masih ingat gak sama aku?" Suara di seberang sana membuka percakapan setelah aku menekan tombol answer dan mengucapkan kata halo di hpku.
"Nggak"
"Hehehe.. aku Shinta, Mbak.. temannya Mbak Ari. Kita sering ketemu di Al-Azhar, yang waktu itu sedang hamil, Mbak," jelasnya panjang lebar.
"Ooo.. Mbak Shinta.. Apa kabar, Mbak?"
"Baik. Lagi Sibuk, gak, Mbak?"
"Nggak terlalu sih. Kenapa? Eh, btw, udah melahirkan?"
"Udah, Mbak" mulailah cerita khas para Ibu muda mengalir panjang.
"Wah, selamat ya, Mbak."
"Aku sebenarnya mau minta tolong. Sebenarnya lagi sih, yang minta pertolongan itu temanku. Dia lagi ada masalah sama suaminya."
Aku mulai mengerinyitkan kening mencoba menerka-nerka apa hubungannya denganku.
"Gini, teman SMPku ini kan disukai sama teman kerjanya, Mbak. Nah, waktu itu sih, udah lama sekali dia pernah bilang dia mau berhenti sms-an ama temannya ini. Entah kenapa, sampai sekarang dia masih sms-an. Ujung-ujungnya, minggu kemaren, pas di rumah, dia lagi sms-an, suaminya gak sengaja baca. Curigalah suaminya. Temanku itu udah coba berkilah, bilang kalau dia itu sms-an ama aku, tapi suaminya gak percaya, kok isinya begitu," Cerita Shinta panjang lebar.
"Trus?"
"Nah, dia takut suaminya akan melihat di bill tagihan HP temanku ini nomor temannya. Suaminya tuh sampai nyatet tanggal, dan jam kejadiannya buat dicek kebohongan temanku itu. Aku minta tolong, Mbak, mungkin gak nomor itu dihapus dari billingnya dia?"
"Wah, susah tuh.."
"Nggak mungkin ya, Mbak?"
"Susah, Mbak"
"Terus gimana dong?"
"Udah, temannya disuruh telepon ke Anita aja. Alamat penagihannya diubah ke alamat kantor, beres,kan?"
"O,iya ya... Temanku itu smapai bilang loh, Mbak, mungkin ini cara Allah biar dia berhenti sms-an."
"Hehehehe.. Emang teman cowoknya masih lajang?" Tanyaku iseng
"Nggak.. udah punya istri."
"O..."
"Mbak, makasih ya.."
Pembicaraan kamipun usai.
----
Mengingat sepenggal pembicaraan itu, aku jadi teringat lagi cerita temanku yang diceritakan oleh para driver kantor kami bahwa di gedung ini, banyak perselingkuhan para pekerja. Bahkan beberapa bulan lalu, aku pernah berkomentar, " ternyata ada cinta lain setelah pernikahan, ya" ketika aku dan teman-temanku membahas tentang perselingkuhan. Balik lagi, cinta memang akan selalu ada, tinggal bagaimana menyikapinya. Kadang aku suka berpikir, wanita memang suka dipuja, baik oleh pasangan ataupun orang lain. Kenikmatan dipuja itulah yang kadang membuat para wanita terlena, seperti cerita temannya teman kakakku. Mungkin saja cinta hanya ada untuk suami seorang, tapi rasa nyaman dan tersanjunglah yang bermuara di hati. Hmm... Kalau dipikir-pikir lagi, pernikahan itu sepertinya sebuah pe-er panjang yang harus selalu diingat, yang tentunya akan memberikan nilai yang sangat membahagiakan untuk semua pihak, tidak hanya pasangan jiwa kita tapi juga buah cinta kita masing-masing bukan?..
Mungkin itu juga aku merasa akhir-akhir ini nilai pe-er suamiku sangatlah bagus, karena pada jam-jam tertentu, di smsnya mulai ada kata-kata, "I love You".. Walaupun pada awal-awalnya aku pasti mereply dengan, "ini nowo, kan?? I Luv U too.." Serba salah,sih, buat suamiku, tapi lambat-laun aku merasa geer juga dengan asumsi suamiku mulai seperti aku... hehehehe.. Agak-agak pede sih, tapi yang jelas aku sangat menikmati ucapan cintanya disela-sela jam kerja. Dan tahu komentar kakakku ketika kuceritakan pemohonan tolong temannya? " Selingkuh kok nyusahin orang".... Pas atau terlalu jauh??... Terserah pada anda sih.....

Wednesday, January 24, 2007

Tahajjud

SMS
Mel, sholat Tahajjud deh
Emang Elo sendiri sholat?
Insya Allah, iya.

Dukk!! Seperti suara palu saat itu di hatiku, ketika membaca sms temanku ini. Teman yang baru beberapa minggu lalu menjadi satu dari beberapa teman akrabku, yang sebelumnya aku tahu sekali sholatnya masih bolong-bolong.
Wah, ebat euy... Insya Allah deh kalo gw bangun...
Reply-an sms singkat aku tulis untuk menutupi kekagetanku sebenarnya. Jadilah, beberapa malam, kunyalakan alarm di handphoneku.
Malam pertama, lewat.
Malam kedua, hanya mematikan alarm.
Malam ketiga, lewat lagi.
Malam keempat, bangun jam 3.30 pagi.
"Gw udah mulai loh sholat Tahajjud," laporku pada pagi harinya di kantor.
"O,iya? Jam berapa?"
"Jam setengah empat pagi" Temanku hanya tersenyum meledek.
"Eh, elo tau gak kalo sholat malam yang paling afdol itu sholat di dua pertiga malam. Kan jam setengah empat itu, waktu yang pas," belaku.
"Bukannya kesiangan tuh?" ledeknya lagi.
"Masa' sih?" tanyaku mulai tak yakin.
Tapi, tetap saja jam setengah pagi menjadi defaultku untuk sholat tahajjud.
Sampai memasukki hari keenam, aku set alarm jam 03.15 pagi.
"Semalam, aku sholat jam 03.15"
Lagi-lagi tanpa komentar dari temanku ini. Biarlah, yang penting sejauh ini aku masih terbilang sukses untuk sholat Tahajjud.
----
Itu sepenggal kenangan ketika semangat tahajjud timbul, dan timbul kembali ketika secara tak sengaja aku melihat set alarm di handphone suamiku. "Jam 3.45 pagi? Mau ngapain, Mas?" tanyaku "Mau nyoba bangun Tahajjud"
"Ih, itu mah udah subuh"
"Belum... Subuh itu 4.31"
"Beda tipis gitu, loh.." mulailah aku seperti temanku "Set jam 3.15 aja, Mas. Dengan pertimbangan, kamu sempat tidur dulu sebelum Subuh, dan kalau kamu gak bangun jam segitu, masih bisa toleransi." lanjutku.
"Mas pasti langsung bangun"
"Pertamanya pasti susah, Mas... jangan pede gitu deh.."
"Iya, deh" Aku tersenyum menang. Setidaknya, kalau aku bangun Tahajjud akan ada teman Tahajjud tercinta di rumahku. Sholat ini memang agak-agak susah buatku. Dulu sekali, Ibuku hampir setiap hari selalu mengingatkan kami tentang sholat satu ini, yang sampai saat ini setahuku tak pernah ditinggalkannya. Belum lagi, Ibuku suka dengan pedenya memfoto copy sebundel doa-doa... walah, kalau aku ikutin, bisa terkantuk-kantuk aku di kantor. Ibuku sendiri sih enak, jam 6 pagi, Beliau bisa merebahkan badan lagi karena sudah pensiun, begitu selalu belaku. Tapi, demi menyenangkan hati Ibu, aku hanya mengangguk-angguk mendengarkan penjelasannya. Tahu nasib foto copy itu? Aku sendiri tak pernah tahu ada dimana.... Tahajjud beliau juga mungkin yang membuatnya sabar menghadapi kehidupan ini, malah Beliau seakan punya benteng agar tidak terlalu mempermasalahkan urusan dunia. Satu hal yang sempat aku rasakan, adalah ketika seorang teman dekatku mulai berkomentar: "Elo sekarang kok beda, sih. Kayaknya santai aja, gak peduli dengar-dengar ketidak-fairan di sini," begitu ujar salah seorang temanku di kantor lama ketika melihatku tidak beremosi nmendengar ceritanya.
"Mungkin karena udah tua kali' ya..."
"Padahal elo dulu, Mel, kalau dengar yang beginian paling semangat emosinya" Aku hanya tertawa. "Abis buat apa ribut, iya, kan, Fa?"
"Iya, sih.."
"Mungkin karena Tahajjud kali, ya, Fa." Kemudia pembicaraan kami lompat ke arah sholat Tahajjud. Entahlah sejak aku mulai merajinkan diri, aku seperti merasakan kelegaan, kemudahan untuk semua hal yang aku alami dalam hidup. Indaaahhhhh sekali rasanya...
"Mel, kalau nanti elo keterima di Telkomsel, tetap sholat Tahajjud, ya," pesan temanku. Aku mengangguk.
"Insya Allah, aku ingin tetap sholat Tahajjud sampai tua.. sampai meninggal," ujarku. "Eh, Nowo juga bilang gitu, loh..." sambungku.
Walaupun setelah itu sholat Tahajjudku sering terlewat, harapan itu tetap ada....

Tuesday, January 16, 2007

Klub Kongkow

Pasti pernah, kan, kongkow-kongkow bersama teman-teman? Sekedar menikmati makanan selingan, minum kopi ataupun sambil menikmati hidangan utama, kongkow bersama teman-teman bisa dipastikan sangat menyenangkan. Bagiku sendiri, kongkow adalah ajang mengenal teman lebih dalam, mengetahui kabar keluarganya, pasangannya, situasi di kantornya, perjalanan dinasnya, sampai hanya obrolan yang berisi gosip-gosip seputar teman-teman lain yang memang patut digosipkan..hahahaha....
Masalah kongkow-kongkow ini, sejak aku mulai bekerja, aku sudah berganti klub tiga kali. Lumayan sedikit bila diukur dari lamanya aku bekerja. Klub pertama yang aku miliki adalah 2 orang teman kuliahku, tepatnya teman senasib seperjuangan waktu tugas akhir. Satu bernama Rina, yang notabene sahabat setiaku hingga sekarang, lalu yang kedua, cowok ganteng yang super beruntung, yaitu Emil. Biasanya, kami berkumpul setelah jam kantor. Emil yang masih bekerja di Ericsson Mobile Phone, pasti menjemput Rina di gedung LandMark Sudirman, dan aku dengan kendaraan favoritku, yaitu ojek, menghampiri mereka berdua. Tempat Kongkow kami standard, food court Plaza Senayan atau Sogo Plaza Indonesia. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, Emil akan mengantar kami satu persatu. Pada saat yang bersamaan juga, aku bersama Rina memiliki klub kongkow lainnya, yaitu kongkow bersama Wenny. Kongkow tetap dilaksanakan sepulang kantor. Pilihan tempatnya O La la cafe di Plaza Indonesia.
Kegiatan kami terputus, karena aku harus bertugas ke Jerman dan menikah. Kongkow bersama Emil hilang begitu saja. Hanya saling mengirim email, telepon itu yang kami lakukan. Namun klub kongkow aku lainnya, yaitu bersama Rina dan Wenny masih berlanjut. Sampai aku hamil anak pertama, melahirkan, sampai Wenny hamil anak pertama, Rina hamil anak pertama dan aku hamil anak kedua tetap kegiatan kongkow kami lakukan. Tapi balik lagi, kodrat dua sahabatku itu yang mulai merasakan susahnya mengatur waktu untuk kongkow memutuskan semuanya. Padahal masih ingat sekali reaksi protes Wenny, ketika aku sering mereschedule pertemuan kami karena anak. Nah, mulailah mereka merasakan itu.... Sampai-sampai rencana kongkow bertiga hanya sebatas rencana....
Klub kongkow yang sampai sekarang masih aktif adalah klub mantan orang-orang Siemens, isinya Belinda alias Jessica, Amel, Adri, Silvy. Kami berlima bisa punya bintang tamu siapa saja... Pernah si Gede dan Febri, Tutut, Nenu atau Mbak Dian... Tetap kongkow ini seru.... Kalau diingat-ingat kongkow ini terbentuk tak sengaja, yaitu dari awalnya ketika satu persatu teman-temanku ini 'lulus' dari Siemens mengadakan makan-makan selametan, ultah ataupun bayar sendiri-sendiri. Tempat Kongkow kami seputar Setiabudi Building atau Citrus Cafe. Tahu siapa yang paling komplain kalau kami sudah berkumpul?? Para suami! Sampai-sampai suamiku pernah meneleponku sambil bilang, "Berapa lama lagi, sih, say?" dengan nada rada kesal dan membuatku melirik jam di tangan, jam 22.00!! Waktunya resto-resto tutup bukan??
Nah, selain klub kongkow permanen, aku punya juga yang temporary, yaitu teman-teman induction Telkomsel, kami pernah nongkrong di EX sampai jam 12 malam, dan berkaraoke di Inul Vista sampai jam 1-an malam, di masa-masa karantina kami. Plus klub temporary lainnya adalah teman-teman ULO, yang paling berkesan sih waktu di Balikpapan. Kami, hanya berempat, berkaraoke selama 4 jam di Navv, alhasil kami pulang jam 1.30 pagi!!... Nah, kongkow-kongkow yang begitu hanya mungkin bila sedang bertugas...Kalau masih di Jakarta, mendingan pulang deh......Soalnya suami dan anak bisa protes berat!!

Friday, January 12, 2007

6 tahun



6 tahun yang lalu....
12 Januari 2001. Jam 4 pagi.

"Nduk, bangun," suara Ibuku memecah mimpiku. Aku melirik sekilas. "Udah jam 4, kamu kan belum bisa pakai softlense sanggar putri mau datang jam 6 loh," sambung Ibuku.
Aku langsung bangkit dari tempat tidur mengingat satu masalahku, yaitu pasang softlense! Sumpah, kalau saja minus mataku tidak lumyaan tinggi, aku rela berburam-buram sebentar.
Mandi secepatnya. Lari ke kamar lagi. Mengambil softlense yang masih direndam di air pelarutnya. Lari lagi ke wastafel, mulai memelototkan mata. Berkali-kali berkedip, berkali-kali lepas. Keringat mulai membasahi wajahku. Tepat jam 5.30 pagi, berhasil memasang softlense. Uiiihhh, lega... ingat perjuanganku semalam, kali ini aku patut berbangga.
"Berhasil?" tanya Mbak Ari.
"Akhirnya... hehehehe"
"Nduk!! Sanggar Putri udah datang!" teriak Ibuku dari bawah. Aku langsung mengambil long torso, kebaya broken white, dan langsung melesat menuju kamar Ibuku, yang akan jadi calon kamar pengantinku.
"Pagi, Mbak," sambut Ibu periasku.
"Pagi," jawabku.
"Siap,kan?" Aku mengangguk.
"Mbak ini, ya, yang mau ninggalin suami setelah nikah nanti?" tanya asisten perisaku. Aku mengangguk.
"Nggak takut, Mbak... kayak di sinetron itu loh....adduh, aku lupa judulnya," sahutnya lagi.
"Nggak, Mbak," jawabku enteng. Entah didalam hatiku saat itu, aku yakin sekali dengan calon suamiku, yang pasti akan selalu setia, sabar. Karena bagiku, cintanya sudah cukup teruji.
"Iyalah, Mas Nowonya kelihatan baik sekali lo," sahut si Ibu perias.
Tepat jam 8.00 pagi.
Urusan rias, busana beres. Aku sempat mendengar suara-suara di luar bahwa rombongan pengantin pria telah datang.
Akad nikah. Jam 9.00. Setelah beberapa upacara ala Jawa beres dilakukan.
Tiba-tiba ada setitik rasa dingin di pipiku.
"Mbak," panggilku lirih. Mbak Andri mendekat ke arah meja akad nikah.
"Softlensenya lepas"
Jadilah acara akad nikah dengan satu softlense, serasa bajak laut.
Hingga malam hari, pesta pernikahan di rumah.
Malamnya, tepar dengan sukses.
Pagi. Tanggal 13 Januari 2001.
Jam 6 pagi. Membereskan rumah, setelah pesta kemarin.
Jam 10 pagi. Digiring ke gedung Balairung Kiani. Kain untuk basahan ala solo sepanjang lima meter sudah siap.
Jam 7 malam, gending Jawa sudah bertalu, tanda acara sudah mulai.
Jam 9 malam, waktu pesta usai. Semua orang repot melepas kostum di tempat, hanya kostumku yang tidak diterima.
"Nanti-nanti aja balikinnya. Ribet, Mbak," sahut asisten periasku.
Jadilah malam itu sesampai di kamar kami, beberapa orang sibuk membantu. Ada yang melepaskan lilitan kain, ada yang melepaskan kembang goyang, konde, belum lagi poni palsu dari arang.
Tepat tengah malam, beres semua.
Paginya, langsung melesat ke Bandara Soekarno hatta, pergi ke Lombok.
----
12 Januari 2007

"Mas, happy anniversary, ya," ujarku ketika melihatnya masuk ke kamar kami setelah mandi.
"O, iya,ya..." jawabnya sambil mencium pipi dahiku. Seperti biasa, suamiku ini memang suka lupa tanggal-tanggal bersejarah.
"Pas hari Jumat lagi,ya, say. Persis kayak waktu kita nikah" lanjutnya. Aku hanya nyengir-nyengir kuda, tak ada harapan tangannya akan mengulurkan satu bingkisan untukku. Sudah ingat saja, syukur buatku. Apalagi ini, lupa.....
Aku sudah cukup bahagia dengan rencana kejutan yang aku siapkan, hasil kerjasama dengan teman kantornya dan adikku.... Tunggu saja siang nanti, gumamku dalam hati.
Enam buah mawar merah putih, melambangkan tahun pernikahan kami, strawberry cheese cake dan satu mug bertuliskan:
www.sayangkamu.com, sudah aku siapkan.
"Kita nonton, ya, say, nanti sore," ujarnya lagi.
"Boleh," jawabku.
Yah.. yang jelas pagi ini cukup istimewa buat kami, apalagi ditambah ucapan selamat dari orang-orang yang kami cintai....

PS: For our 6th anniversary... Semoga cinta kita selalu indah setiap saat.....

Monday, January 08, 2007

Hari Terakhir

Aku koma. Kata-kata itu yang terbesit di benakku seketika. Tak ada orang-orang di sampingku, bahkan Nina, istriku tercinta, yang biasanya dengan setia menemani tidurku dengan belaian kasih sayangnya. Aku berusaha membuka dan menggerakkan bola mataku, yang tentu saja sia-sia. Aku sudah benar-benar payah, tak berdaya, hanya bisa menggumam di hati dan benak.
Tak berapa lama, suara langkah kaki menuju ke arah kamarku.
”Mas, mas,” kata-kata itu kemudian mampir di telingaku diiringi dengan sentuhan jemari yang sangat kukenal. ”Mas, mas, dengarkan ucapan Nina?” suara itu agak berat kemudian. Tentu saja aku dengar kamu, Nin, tapi aku tak bisa apa-apa. Aku hanya bisa menikmati jemarimu menyentuh lenganku, aku hanya bisa menikmati setiap ucapanmu, hanya untuk meyakinkanku bahwa aku tak sendiri di kamar yang sumpek ini.
„Mas, apa yang mas rasakan?” isaknya mulai terdengar sering. Tak beberapa lama, langkah-langkah kaki lain terdengar menuju kamarku. Bukan hanya sepasang langkah, tapi ada sekitar empat pasang langkah saling berebut masuk.
„Nin, Nin, ada apa dengan Linggar?” suara Tita, kakakku, menyerbu masuk. Aku tak tahu tanggapan Nina untuk pertanyaan ini, aku hanya tahu tangis Nina makin terdengar keras, dan tangisan itu disambut dengan tangisan dua anakku, Novi dan Kiki. Kemudian, sebuah tangan dengan terburu-burunya menggoyang-goyangkan tanganku. „Nggar, Nggar... dengar mbak, Nggar” ucap kakakku sambil terisak-isak.
Selang beberapa detik kemudian, aku mendengar suara Ibu Entih, tetangga kami,”Nin, Mas Linggar koma,” ucapnya tertahan. „ Kita bawa ke rumah sakit ,ya?” lanjutnya.
„Tapi, Nina gak ada biaya, Bu,” jawab Nina, yang sangat aku kenal tak mau menyusahkan orang.
”Tak usah dipikirkan, Nin, biar kami bantu.”
Aku tiba-tiba ingin berteriak senang. Tuhan... akhirnya kau dengar doaku. Betapa inginnya aku diperiksa secara detail tentang penyakit gulaku. Penyakit yang kadang-kadang aku sendiri ragu, apakah ini hanya penyakit gula atau penyakit lainnya, karena rasa sakit yang selalu berpindah-pindah. Dari dadaku, kemudian kadang pindah ke perutku, malah kadang ke kepalaku. Karena setahuku, penyakit gula ditandai dengan luka yang lama mengering, bukan rasa sakit di bagian-bagian lainnya. Setahuku lagi, aku sudah sangat menjaga makanku. Aku sudah mengurangi nasi, aku sudah tak minum teh manis buatan Nina lagi, bahkan waktu hari raya kemarin, aku tak menyentuh sedikitpun kue-kue yang sangat cantik di rumah kaum kerabatku. Semua kulakukan karena aku tak ingin Nina sedih dan bingung. Cukup bagiku membawanya ke kehidupan yang jauh dari harapannya. Hanya susah, susah, susah saja yang kulukiskan di hari-harinya beberapa tahun ini. Mungkin kalau dihitung-hitung hanya sekitar lima tahun Nina mengalami kesenangan hidup berkeluarga denganku. Setelah lima tahun gemilang itu, satu persatu kemalangan mewarnai kehidupan rumah tangga kami. Dimulai dari kondisiku yang tiba-tiba terpuruk dan harus tinggal dirumah sakit selama 2 bulan, yang tentu membuat perusahaan, tempatku bekerja, memberhentikanku dengan terpaksa. Sesudah itu, kesusahan mulai mewarnai hidup kami. Aku terserang stroke separuh. Nina dengan sabar membesarkan hati dan merawatku. Aku mengikuti semua terapi, yang membawa hasil kesempurnaanku. Aku kemudian mencoba bekerja di perusahaan bakery. Kehidupan mulai membaik lagi. Seakan ada bintang yang paling cerah saat itu yang menyinari kehidupan kami. Kami mulai berhemat. Kami tak ingin mengulangi kejadian lalu yang suram. Aku dan Nina ingin sekali bisa menyekolahkan Novi dan Kiki setingi-tingginya untuk menuju tingkat kehidupan yang harusnya lebih tinggi. Nyatanya, bintang itu hanya singgah sesaat. Aku diPHK, karena biaya produksi roti terlalu tinggi, padahal pendapatan dari gerobak keliling tak menutupi sama sekali. Aku stress. Terperosok lebih dalam daripada waktu pertama kami menghadapi cobaan pertama. Aku kehilangan arah. Limbung, tak kuat, apalagi untuk tempat bersandar bagi Nina. Untunglah, Tuhan menciptakan Nina dengan kekuatan yang luar biasa. Dia mulai bertatih-tatih menata kehidupan keluarga kami. Dia mulai berjualan ikan asin di pasar dekat rumah kami. Pagi-pagi setelah subuh, dia menggelar lapak di pasar untuk mulai berdagang, dan sekitar jam dua siang, Nina akan pulang dengan membawa ikan asin belanjaannya, untuk didagangkan besok. Tak mengenal lelah rasanya melihat Nina, dia membungkus beberapa ikan asin ke dalam kantung plastik, tanpa sedikitpun berteriak meminta tolong pada Novi, anak kami. Dan aku kala itu hanya duduk memperhatikannya. Tak tergerak sedikitpun membantu tangan lembut itu untuk membungkus ikan. Aku terlalu lelah dengan hatiku, perasaan kelelakianku, yang merasa sangat tak berdaya. Aku terlalu sibuk memikirkan diriku dengan pengandaian yang sangat muluk. Ninapun seakan memahamiku. Dibiarkan aku dengan pikiranku, usikannya yang mengangguku hanya ajakannya untuk Sholat, berdoa bersama, yang dengan setengah terpaksa sering kuturuti.
Nina memang hebat. Bukan hanya Nina rasanya yang hebat di rumah ini, Novi, Kiki, Mbak Rika juga hebat. Mereka bisa dengan mudahnya beradaptasi dari keadaan yang aku buat. Dari keadaan yang sangat mudah semuanya, sedang, kemudian susah, mereka bisa menikmati. Saking hebatnya, mereka pernah sujud syukur karena Nina mendapat kerjaan baru, berdagang rempeyek, krupuk di depan salah satu universitas swasta terkenal, yang berarti Nina tak perlu lagi berburu ikan asin di siang menjelang. Disinilah aku seperti dibangkitkan lagi, aku seakan memiliki seribu semangat untuk menghadapi hidup selanjutnya. Aku membantu Nina menata hidup kami yang aku hancurkan, aku membuat Nina mulai tersenyum kecil, dan aku membuat anak-anakku kembali respek padaku.
Hidupku panjang sesudah itu. Sakit. Sembuh. Berdagang. Membantu Nina memasak, karena di kemudian hari Nina menjadi juru masak untuk orang-orang sekitar kami berlalu begitu saja. Tanpa ada keluhan yang keluar. Tanpa ada tangan yang menengadah di antara kaum kerabat kami. Bahkan Nina masih sering membagi krupuk dagangannya pada kaum kerabat kami. Aku begitu leganya hidup dengannya, Nina yang kukenal semakin dewasa dan bijak. Aku merasa tak pernah salah memilihnya, wanita yang makin terlihat luar biasa di lingkungan serba kurang yang tercipta.
Mungkin itu keluar-biasaan dia itulah yang membuatnya tak mengabarkan keadaanku yang kemudian makin parah. Staminaku begitu mudahnya roboh. Aku tak boleh lelah sedikit, terkena flu sedikit atau punya beban pikiran sedikit. Kalau itu terjadi, bisa dipastikan minyak gosok yang akan kubalurkan di tubuhku, dan kalau aku tak mampu membalur minyak di tubuhku, tangan-tangan Nina yang mulai menghitam akan menggantikannya dengan sabar. Dan nyatanya, keadaanku makin parah, yang makin membuatku ragu apakah aku berpenyakit gula saja atau aku punya penyakit ganas seperti kanker. Terkaan itulah yang merebak di benakku saja.
”Kita menyewa mikrolet saja,” suara tetanggaku yang lain terdengar, membuyarkan kenanganku tentang Nina.
”Sabar, ya, Mbak...” suara keponakan Nina, erna, menyeruak diantara suara-suara tetanggaku. Aiihhh.. ternyata ada juga saudara kami yang datang di tengah malam ini untuk meringankan beban kami. Ingin sekali aku tersenyum pada semua orang disana. Senyuman rasa terima kasih.
Tak lama kemudian, aku merasa seperti di ayun-ayun, disertai dengan teriakan-teriakan yang mengarahkan jalan, seperti kiri sedikit, kanan sedikit atau hati-hati. Ah...sebentar lagi akan ada tangan dokter yang akan menyentuh penyakitku. Mungkin akan memberikan vonis tertentu setelahnya. Aku mendengar bunyi mesin mobil yang mulai dinyalakan, dan tak lama keadaan hening, hanya suara angin malam yang menemani perjalananku dan para penderma menuju rumah sakit.
”Pak, ada pasien!!.. Tolong dorong ke UGD dulu,ya” Suara lain tiba-tiba terdengar. Aku merasakan tubuhku berjalan. Di belakangku, aku sempat mendengar kasak-kusuk para tetangga yang bersepakat mengumpulkan uang berapapun untuk uang muka.
Tiba-tiba tangan dingin menyentuhku. Tak lama benda dingin menyentuh dadaku, kemudian jarum suntik menyentuh nadiku. Aku begitu pasrah. Bayangan Nina, Novi dan Kikilah yang menemani anganku.
Anganku terus melayang, memikirkan apa lagi yang akan terjadi denganku. Belum sempat anganku melayang jauh, aku kembali merasakan tubuhku berjalan kembali. Sempat aku mendengar serbuan pertanyaan dari beberapa orang tetanggaku, yang dijawab singkat oleh orang lain, yang kemungkinan suster, ”Kami akan bawa Pak Linggar ke ruang ICU”. Tangisan Novi yang keras, dan tangisan Nina yang terisaklah yg mengiringiku ke ruangan itu.
Ada apa sebenarnya denganku? Adakah yang salah fatal dalam tubuhku? Atau karena aku koma, aku dimasukkan ke ruangan berhuruf tiga itu?
”Mbak, sabar ya..” ucapan Erna kembali terdengar.
“Ada apa dengan Om, ya, Na?”
“Nanti kita tanya dokter, Mbak”
Dan sialnya Nina tidak bertanya di depanku. Aku cukup bertanya-tanya di hati. Mungkin, kalau aku diizinkan sadar, pertama yang akan kutanyakan pada Nina adalah tentang kondisiku. Nina... kuatkan hatimu,ya.... Aku tidak pernah bermaksud menyusahkan dirimu sejak aku memintamu untuk menjadi istriku. Kalau saja aku tahu akan seperti ini jalannya, pasti aku tak pernah memaksamu untuk menjadi ibu rumah tangga murni demi anak-anak kita. Mungkin juga aku tidak akan berani melamarmu untuk menghabiskan hidupmu bersama laki-laki seperti aku.
Mesin pendetak jantung kemudian terdengar di telingaku. Akupun tak punya tenaga lagi. Aku lelah. Akupun tertidur.
„Mas..” Suara lembut Nina membangunkanku. Aku berusaha membuka mata. Kulihat Nina tersenyum bahagia.
“Nin, aku kenapa?” suaraku lemah terdengar.
“Penyakit gula Mas kambuh”
“Aku lelah, Nin...”
”Istirahatlah, Mas”
”Nin, bagaimana kalau aku tak kuat lagi?”
Nina tertunduk. ”Mas sendiri bagaimana?”
“Kamu dan anak-anak siap,kan?”
“Kalau Mas siap, Nina siap” ucapnya berusaha tegas.
“Kalau sudah waktunya, Mas siap,” suaraku makin terdengar lemah, walaupun aku berusaha mengeluarkan suaraku dengan keras.
“Bagaimana Novi dan Kiki, Nin? Novi,kan, belum bayaran tiga bulan, Nin”
”Tenang, Mas... Semua sudah beres,” jawabnya dengan lembut.
Tiba-tiba aku begitu kangen sekali dengan Novi dan Kiki, dan aku jadi merasa tak punya waktu banyak lagi untuk mereka. Aku tersenyum sekali lagi ke Nina, dan kemudian aku merasa begitu lelah. Begitu mengantuk. Senyumku
masih ada untuk Nina diiringi dengan suara mesin jantung yang tak berdetak lagi.

PS: Real Fiction.. dedicated to Mbak Nina's family

Monday, January 01, 2007

Teamwork


"Ada satu masukkan buat kamu.." ucapan mantan bosku dulu agak menggantung.
"Apa, Pak?"
"Kamu tidak bisa teamwork." Duarr!! Serasa pecah saat itu jantungku. Aku mulai menarik napas agak dalam, mencoba mencerna apa yang dimaksudnya, mengira-ngira apa yang menjadi patokannya untuk menilaiku. Tetap seribu kejadian di kantor berganti hilir mudik, dari anak service, yang selalu mengajakku berdiskusi dan berakhir menyenangkan, dari anak TAC, yang dengan segala kerendahan hatiku selalu memohon bantuannya, dari anak-anak sales, yang hampir setiap saat ada request, dan hubungan kami makin membaik, atau dari sikap-sikapku menghadapi lingkungan kerja, selama ini semuanya baik-baik saja. Kok, bisa ya aku dinilai tidak bisa teamwork?
"O,ya?" tanyaku menutup rasa tidak sukaku. "Boleh diberi contoh, Pak, dalam kasus apa?"
"Ada beberapa. Gak perlulah saya kasih contoh," jawabnya tenang dengan muka yang memang selalu tenang.
"Saya butuh contoh itu, Pak. Karena menurut saya, selama ini saya selalu baik-baik saja dengan semua pihak yang terkait, mungkin dengan contoh kasus dari Bapak, saya bisa belajar memperbaiki kekurangan saya," paparku agak memaksa dengan sikap yang sesungguhnya aku buat setenang mungkin.
"Kasus SPOTS yang sama Irwan," jawabnya singkat
"Oo.. kasus itu... Boleh saya kasih pendapat, Pak?" Mantan Bosku mengangguk.
Mulailah aku ceritakan kasus itu lebih detail, bagaimana kasus SPOTS itu ditangani temanku, dengan melangkahi wewenangku, yang saat itu sedang lumayan sibuk dengan kasus SCCP provisioning, dan secara paralel, aku juga mengerjakan SPOTS upgrade bersama orang-orang service, tanpa melibatkan orang sales. Aku gambarkan juga bagaimana wajarnya bila kasus SPOTS itu jatuh ke tangan temanku, karena dia yang sering terlibat ke orang sales, dan seharusnya ketika dia mendapati query yang bukan produk dia, sudah semestinya dia melemparkan pada yang berhak.
"Kalau saat itu saya menjadi Bapak, yang saya lakukan saat itu, Pak, saya akan panggil Meli dan Irwan untuk menceritakan semuanya dari dua sisi, agar saya bisa menilai kejadian yang sebenarnya. Dan kalau pada saat itu, saya menjadi Bapak, saya tidak akan menulis email yang isinya terus terang menyinggung saya, walaupun ditujukan pada semua orang pagi harinya," paparku.
"Oh, kamu tersinggung dengan email itu?" Aku mengangguk.
"Email itu untuk semua orang, bukan hanya untuk kamu. Tapi kalau kamu tersinggung, saya minta maaf."
"Contoh lainnya, Pak?"
"Nggak ada, hanya itu."
----
Itulah sekelumit kejadian tentang teamwork, yang kebetulan jadi pengalaman burukku. Teamwork sendiri bahasa sebenarnya adalah kerja team, dimana para anggota team saling melengkapi, saling mendengarkan, dan saling membantu mewujudkan tujuan bersama. Jadi ingat satu kisah lagi, waktu aku harus menjalani kegiatan induction outbound dengan membentuk team, team kami sendiri bernama GOKILL, yang yel-yel lagunya memang rada-rada unik. Bunyinya seperti ini : G-O-K-I-L-L... SAFARI.. SAFARI?? hahahaha, kocak kan? Menyanyikan yel-yel dengan gaya para cheerleader yang membentuk huruf-huruf dengan tangan masing-masing dan nadanya nada lagu aneka ria safari zaman dulu. Di team kami ini, bolehlah kekompakannya, aku yang penakut dilengkapi anggota lain yang lumayan berani, temanku yang super pendiam tapi otaknya jenius mengeluarkan idenya yang super brillian di satu permainan, yang kelompok lain angkat tangan.

Kenangan itu yang membekas. Setiap anggota regu merasa berharga, dan setiap kesalahan anggota adalah kesalahan tim, perfect bukan??
Tapi bukan masalah mudah kalau harus membentuk satu team solid di dunia kerja, ada saja satu-dua orang yang merasa harus lebih menonjol. Menyembunyikan history project, menyembunyikan data, seakan-akan dia akan maju dengan caranya, seakan-akan anggota team adalah saingannya. Kalau aku sendiri sih, terlepas dari penilaian mantan bosku dulu, aku memilih menshare apa yang aku punya untuk satu teamku, dengan maksud bila aku berhalangan pada satu waktu, aku akan merasa aman dari segala gangguan, belum lagi kalau aku ternyata mendapatkan kesempatan lain yang lebih baik, maka akan sangat mudah sekali bagiku untuk beranjak. Aha.. jadi ingat satu cerita yang sampai sekarang sangat aku ingat, yaitu cerita temanku tentang keberhasilan temannya karena menshare informasi apa saja ke teamnya, dengan cara itu, secara tidak langsung dia mengkloning dirinya ke orang lain, dan dengan gagah berani dia meminta challenge yang lebih ke atasannya, ketika proses kloning sukses. Anda tahu siklus itu dia ulangi terus, sampai akhirnya dia menduduki posisi yang bergengsi. Hebat, bukan?? Tapi balik lagi, butuh jiwa besar untuk membagi apa yang kita anggap penting bukan? Mungkin hanya orang-orang yang berjiwa besar juga yang bisa mendalami apa yang disebut teamwork... Apakah aku termasuk??.....