Thursday, May 31, 2007

Bekerja atau Tidak Bekerja?

Masa SMP

"Nanti kalo besar nanti, Mel pengen jadi tukang jahit di Jawa aja ah... Yang kerja di Jakarta biar suami aja," celetukku dulu ketika aku baru memasuki dunia SMP. Ibuku yang notabene berkarir di luar rumah tersenyum-senyum mendengar celetukkanku.
"Yakin?" Tanya Bulikku.
"Iya.. Tinggal di Jawa kan murah, nggak kayak di sini," ujarku.
"Kata siapa?"
"Kata Ibu," ucapku memandang Ibu yang cuma menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkahku.

Masa SMA
"Kamu mau ambil jurusan apa, Nduk?"
"A3 aja ah, Pak"
"Hah?! Jangan... A1 aja, sayang matematikamu," sahut Bapak. Kemudian dengan panjang lebar, Ibu dan Bapak memberikan ulasan kalau A1 itu gampang ambil jurusan kuliah apapun.
"Tapi, Mel kan pengen jadi wartawan"
"Yakin?" Tanya Ibu. "Kepikir gak kalau kamu akan sering meninggalkan keluarga pas meliput keluarga. Kasihan kan anak-anak kamu."
Aku merengut. Toh, tetap ambil A1, karena anak-anak A1 keren-keren dan aku malas kalau disuruh ambil A2.

Masa Kuliah

"Pokoknya, selesai kuliah ini, gw gak mau lama-lama kerja di telekomunikasi ah... malas kerja di bidang teknik. Kuliahnya aja pusing, apalagi kerja. Abis gitu, gw ambil kuliah jurnalistik. Nah, nyokap-bokap gw kan gak bisa protes, karena itu pakai uang gaji gw sendiri," khayalku ketika sedang mengerjakan tugas kuliah bersama-sama teman-temanku.
"Ayo, tebak... Siapa di antara cewek-cewek ini yang akan jadi Ibu Rumah Tangga?" teriak salah seorang temanku yang cowok di lain waktu.
"Wah, kalau yang nikah duluan, gw tau....." Teriak temanku yang lain.
"Siapa?"
"Meli"
Aku menoleh kaget. Prediksi yang buruk.
"Kenapa gw?"
"Karena adik kamu masih 2 orang. Kamu pasti mau cepat-cepat nikah biar gak dilangkahin adik kamu"
Wuekkss.. alasan yang buruk. Aku cuma mencibirkan bibir.
Nyatanya, aku bukan yang pertama menikah.

Sekarang
Sudah bekerja di bidang telekomunikasi dari tahun 1998, tepatnya 1 Februri 1998. Dari Vendor ke Operator. Sempat bosan berkali-kali, tapi tetap bekerja. Tahun 2001, menikah punya anak. Keinginan jadi wartawan makin hilang... Sampai Rina teman dekatku selalu mengingatkanku agar tetap menulis. "Sayang, Mel, kalau hilang begitu aja." Tak punya waktu tepatnya. Tenggelam dalam rutinitas, pemecahan kebosanan, sampai bekerja apa-adanya.
Angan-anganku ketika pulang kerja mendapati anak sudah tertidur hanya satu, kapan ya aku bisa seharian menemani dia bermain? Atau angan-anganku ketika ada acara rapat orang tua di sekolah anakku, atau ketika anak sakit atau ketika ada perlombaan di luar sekolah atau ketika piknik bersama, adalah kapan aku bisa bebas menemani anakku di kegiatannya tanpa harus dibatasi oleh pekerjaan-pekerjaan di kantor?
Atau ketika berkumpul dengan teman-temanku yang notabene sudah punya anak, obrolannya adalah kalau saja gaji suami berapa puluh juta, pasti memilih tidak kerja.
Atau ketika sedang berdua dengan suami, Mas, aku pengen deh gak kerja..
"Yakin kamu?"
Eng...Ing... eng... kalau begini, jadi gak yakin.
Atau ketika menyandarkan kepala di pundak Ibuku, Bu, kadang Mel pengen nggak kerja..
"Jangan.. kamu bisa bosan di rumah"
Tapi, ketika ada cerita dari kakakku yang suami temannya tiba-tiba meninggal...
"Kalau gak kerja, susah ya, Mbak... Siapa yang bisa menghidupi dia dan anak-anaknya?"
Atau ketika teman-teman masa sekolahku dulu jadi Ibu rumah tangga...
"Aku nggak tahu cafe-cafe di Jakarta, jadi kalau ketemuan yang di tempat standard aja ya...." Padahal dulu masa sekolah, temanku ini termasuk anak gaul. Atau...
"Aku bawain diskette gak?" Oalah... zaman diskette udah berlalu.. sekarang zamannya flash disk, dan temanku jadi gaptek begini. Atau...
"Eh, elo sibuk gak, Mel? Gw mau nanya-nanya masalah investasi..." Atau....
"Elo sih kerja, jadi cepat kurus.." Atau...
"Jangan di Citos, Mel... Gw gak tau citos dimana..." Atau...
"Comfort zone apa sih maksudnya?"....
Banyak-banyak lagi yang kadang membuat aku bersyukur tetap bekerja. Gaji. Teman. Update tempat gaul. Update Teknologi. Bisa jadi advisor buat suami. Bisa jadi temannya teman kerja suami. Bisa nge-internet bebas. Bisa beliin barang-barang mahal buat anak. Bisa beli baju, sepatu, tas, pakai bedak mahal, beli produk kecantikan satu set, bisa beliin Ibu apa aja, bisa jalan-jalan keliling Indonesia gratis, bisa ke Munich, Vienna, Amsterdam dan teman-temannya, Paris, Venesia, Singapore, Bangkok gratis... Karena pakai uang sendiri gak mungkin... Bisa tahu team building kayak apa... Bisa tahu produk investasi dan meng-influence suami.... Bisa-bisa-bisa yang lain.... Yang sangat gak bisa dilakukan, menemani anak seharian di rumah. Libur sebatas tanggal merah.
Ah, kalau boleh milih, aku ingin bisa semuanya dengan tetap bersama anak-anak seharian. Nggak mungkin ya... Sayangnya rasa bosan kerja bisa tiba-tiba muncul, makanya suka ada pertanyaan bekerja atau tidak di diri.....
"Tenang, Mbak... Kata Ibuku, anak yang ditinggal bekerja Ibunya, umumnya cepat bisa dan mandiri," Hibur Indri, temanku.
"Lah, buktinya Helmy sendiri yang gak lulus test"
"Itu sih..." Aku lupa alasan dia.
"Tapi, Helmy sekarang udah mulai bisa dikte loh... Padahal baru weekend kemaren gw ajarin"
"Tuh,kan..."
"Katanya, kalau gw kerja, anak gw lebih mandiri. Tapi kalau gw di rumah, manja banget deh"
Yah, semoga anak-anakku bangga punya Bunda bekerja, mandiri... Walaupun setiap pagi ada pengikraran janji dari Helmy...
"Bunda, hari ini pulang malam atau sore? Bener sore loh... Jangan bohong."
Senjata yang paling ampuh, hanya Insya Allah, mudah2an Bunda gak banyak kerjaan...:)

Wednesday, May 16, 2007

Tes Pertama untuk anakku

Sabtu Pagi.

Aku akhirnya merasakan deg-degan di hari ujian anakku. Yah, Helmy hari ini akan menjalani rentetan ujian penerimaan. Rasa itu mulai muncul, ketika kami melangkah masuk ke areal pekarangan calon sekolah Helmy. Ada rasa was-was, takut Helmy tiba-tiba tidak comfort, minta aku tungguin. Ada juga rasa kasihan, takut Helmy merasa stress dengan ujian ini. Nyatanya, rasa was-was pertamaku hilang, ketika sesampai di kelas ujian, Helmy melenggang masuk dan mencari tempat duduk yang bertuliskan namanya. Dengan bangganya, dia taruh tas di bangkunya dan meminta aku agar meninggalkannya. Rasa selanjutnya muncul, ketika ujian dimulai. Pertama kali tentang dikte atau latihan menulis, kata pertama yang keluar 'makan', aku masih bisa menarik napas, kemudian 'sepatu', aku mulai ragu apa anakku bisa, ketiga 'semangka', gerutuan mulai terdengar dari samping kiri kananku. Beberapa Ibu, termasuk aku, protes, kok bisa-bisanya dikte untuk masuk SD ada kata-kata yang bernada 'ng'. Deg-degan mulai meraja di hatiku, tak lama rasa sakit mulai menusuk perutku. Aku berkali-kali mencoba menarik napas panjang. Terakhir, aku mulai mengirim sms ke kakak-kakakku dan adik-adikku, "Gw deg-degan nih, Helmy lagi testing masuk SD"
Support datang dar Mbak Andri, "Tenang... Helmy pasti lulus".
Tes kedua, mencocokkan bentuk dan gambar, Helmy yang sempat kuintip sangat cepat melakukannya. Tes ketiga, mencocokkan jumlah gambar dengan tulisan angka dalam bentuk huruf, sekali lagi beres. Tes ketiga berhitung, Helmy cepat pula selesai.
Sambil mengurangi rasa grogiku, aku mengahmpiri rombongan ibu-ibu lain, disanalah aku mencoba mengorek informasi, dan karena kurang puas, aku melangkah ke kantor pendaftaran, disana aku mencari informasi berapa orang yang akan diterima.
Sekembalinya dari kantor informasi, aku kembali lagi ke jendela kelas Helmy. Aku lihat Helmy sedang diwawancarai dan diuji membaca Iqro', akhirnya tes ditutup dengan mewarnai dan menggambar. Bangga sekali melihat anakku ternyata cukup mandiri membereskan peralatannya dan melangkah keluar kelas dengan penuh semangat.
--
Senin siang.

'Say, Helmy belum lulus'
Sepotong sms pendek muncul di Hpku. Aku langsung panik. Aku telpon suamiku, dan mendapati kabar yang sama. Aku cari informasi dengan menelpon salah satu Ibu teman Helmy yang kebetulan lulus, dia menyarankan untuk melihat nilai hasil ujian Helmy. Di surat ketidaklulusannya tertera angka 57. Oke, berarti Helmy memang harus tk lagi, apalagi umurnya masih 5 tahun, belum 6 tahun.
Tak lama Helmy menelpon aku.
"Bunda, Mas Mi belum lulus."
"Berarti gak SD dong, Mas"
"Ih, Bunda... Masa' karena belum lulus, gak bisa SD..." Oala..ternyata anakku sendiri belum nalar kalau ujian yang dia lakukan kemaren untuk menentukan terima atau tidaknya dia di SD.

--
Selasa pagi.

Aku dan suami ke SD, tempat Helmy ujian. Kami ingin mengetahui kelemahan anak kami, didapatlah angka yang menunjukkan bahwa anak kami masih kurang di menulis, membaca dan berhitungnya cukup bagus, wawancaranya kurang komunikatif. Aku hapal sekali tabiat Helmy yang malas bila diajak bicara orang asing, apalagi bila topiknya tak menarik.
"Anak Ibu umur berapa?"
"Lima tahun, Bu."
"Wah, pantes.... setidaknya SD itu 6 tahun. sudah TK lagi saja."
"Tadinya saya berpikir begitu, Bu. Hanya anaknya ingin SD"
Setelah itu, aku hunting TK, sebelumnya mereserve tempat lagi di TK yang lama. Dari TK Al-Azhar, kok kurikulumnya sama dengan TK yang sekarang, tapi kami tetap membeli formulir, TK dekat rumah, yang referensi dari tetanggaku, kok pelajarannya hanya baca dan tulis, kasihan sekali anakku.
Sepanjang perjalanan ke kantor, aku dan suami mengatur strategi... Jelas sekali Helmy tidak ingin TK di tempat yang lama, ataupun sekolah TK lagi. Bayangannya, dia bersekolah di SD dan latihan karate.
"Say, padahal SD kelas satu bukannya buat latihan nulis juga, ya?"
"Iya, sih, Mas... Aku kadang nggak mengerti sama pendidikan di Indonesia sekarang ini. Semua distandardkan dengan bisa membaca dan menulis. Buat anak seumur Helmy, cukup baguslah dia bisa membaca dan berhitung, walau malah aku pikir terlalu berlebihan. Apalagi di TK yang sekarang, dia paling muda umurnya."
"Say, Mas sih bangga dengan nilai 57 nya, anak seumur itu bisa mencapai nilai itu bagus,kan? Walaupun, Mas agak nyesak juga, sih. Kurang 3 poin untuk lulus, bayangin deh."
"Mas, dari yang aku tahu, anak masih dibawah usia 7 tahun, pengembangan otaknya harus dari pengetahuan loh, bukan dengan patokan membaca, menulis dan berhitung. Makanya kenapa aku lebih suka memberikan dia pengetahuan kayak planet, tubuh manusia, dan lain-lain daripada maksa dia membaca. Karena dia mau masuk SD aja, beberapa bulan ini kita terapkan pelajaran membaca, ya, kan, Mas? Yah, tidak seperti yang pernah Mamanya Sydna cerita, dia memaksa Sydna belajar membaca dengan sendal atau ancaman tidak boleh makan. Kamu gak rela,kan, anak kamu digituin? Tapi, yah, itu Sydna lulus dan hasilnya bagus sekali. Kontras,ya, mas?"
Suamiku mengangguk. Yah, itulah.. saat ini aku merasa sekali ada bentrokan pandanganku dengan dunia sekolah, bahwa anak seharusnya dibiarkan otaknya berkembang dengan pengetahuan sekitar daripada dibiarkan menghapal deretan huruf. Malah di salah satu presentasi tentang anak, pengetahuan yang kita berikan, akan memebentuk jaringan di otaknya, yang akan menjadi modal untuk perkembangannya. Pertanyaan lain lagi muncul di benakku, apakah standard anak cerdas itu hanya bisa membaca, menulis dan berhitung?.... Tak tahulah, yang jelas aku mulai ragu apakah aku membeberkan kebenaran untuk ketidaklulusan anakku?...

Friday, May 11, 2007

Men-challenge = mempermudah diri?

Are you interested in a new challenge for your carreer?
Sepotong sms singkat itu muncul di HPku ketika aku sedang menikmati coffee break di sela-sela training leadership Dale carnegie.
I'd love to. May I know what it is?
Just come to my office tomorrow morning. Actually this is a tough job.


----
Besoknya. Pagi hari.

"Mel, bisa datang ke ruangan saya sebentar?" Suara Pak Agung memecah kesunyian pagi itu. Aku melangkah mengikutinya.
"Ada satu tawaran menarik untuk kamu."
"Apa, Pak?"
"Kemarin Monica Gupta datang ke tempat Pak Arif, dia mencari successor dia untuk menjadi PM di OSS. Setelah berdiskusi dengan para manager disini, kami mengajukan tiga nama yaitu kamu, Wiwik dan Very. Sebenarnya Monica tertarik dengan Wiwik, karena dia sudah sering bekerjasama, tapi kalau kamu memang tertarik, kami akan mengajukan kamu. Bagaimana?"
Setelah penjelasan panjang lebar dan alasan mengapa Pak Agung menawarkanku, aku memilih untuk menimban-nimbang semuanya. Bukan apa-apa, saat itu aku sedang proses pindah ke company lain. Klarifikasipun aku lakukan pada temanku, Pandu, yang semalam mengirimkan sms kepadaku. Dengan gamblangnya, dia menceritakan semuanya, dan terus terang aku merasa tertantang.
Challenge itu serasa angin segar untukku. Aku yang awalnya mulai putus asa dengan konsep spesialis yang tak ada dasarnya, menurutku, aku yang selalu berdiri di muka untuk memperjelas kebijakan-kebijakan yang bisa mendemotivate para employee, merasa mulai diperhatikan. Mungkin itulah, orang selalu merasa perlu yang namanya challenge di dalam hidup. Satu contoh sederhana, mana yang lebih menantang, mencintai atau dicintai? Mudah,kan, untuk menjawab?....
Challenge pulalah yang membuat orang merasa lebih dibutuhkan. Berdasarkan itulah, aku merasa terpanggil untuk membantu seorang temanku, yang memang kebetulan memegang produk yang sama di kantor. Aku mulai dengan memberi tugas-tugas ringan, membimbing dia bila dia lupa di dokumen mana dia harus mencari, walaupun sering aku jengkel dengan temanku ini, kemudian mendorong dia presentasi, memuji presentasinya yang luar biasa bagus, menemaninya meeting di customer, sampai kemudian membiarkannya ke customer sendirian. Aku tak pernah tahu apa yang dirasakan temanku saat itu, merasa dimanfaatkan atau merasa senang? Yang jelas niat awal men-challenge orang ini malah meringankan tugasku dan membuat mudah pada masa handover ketika aku pindah ke company lain.
Nyatanya, di company sekarangpun, aku bertemu dengan seorang teman yang jauh lebih muda, dan tanpa kami sadari kami terjebak di satu project yang sama. Awalnya, sih, aku coba untuk selalu melibatkan dia, walaupun follow up pekerjaan sebagian besar jatuh ke pundakku. Sampai pada satu kejadian, aku harus keluar kota, dan video aplikasi yang kami pegang akan launch, jadilah aku mulai meminta supportnya untuk me-lead meeting antar vendor, memfollow up isu-isu technical yang masih open dan butuh penanganan segera. Cukup meringankan,kan? Dan saat itu aku yakin temanku itu bertambah ilmunya....
Tapi terus terang menchallenge orang yang expertisenya sama dengan kita merupakan hal yang tidak mudah. Ketakutan bahwa peran kita akan hilang, atau pihak-pihak yang terkait akan tergantung pada orang yang kita beri challenge, sampai perasaan kehilangan peranan atau malah lebih buruk dinilai performancenya turun, karena si pengganti ternyata lebih lihai. Pada dasarnya, hal-hal itu balik lagi dengan strategi pengembangan diri kita, jangan sampai keenakan ketika pekerjaan kita berkurang, kita malah bersantai diri dan yang paling penting ketulusan kita. Ingatkah pepatah atau Hadist bahwa ilmu yang anda transfer ke orang tidak akan berkurang malah makin bertambah dan terus bertambah? Herannya, masih saja ada temanku yang dialokasikan sebagai satu team denganku, malah sangat takut sekali bila aku mengetahui apa yang dia punya, sampai-sampai ketika kami disibukkan dalam satu meeting yang cukup penting, dia berdiskusi dengan seorang temanku dengan suara berbisik-bisik dan tidak mengacuhkan pertanyaanku. He never realizes It's so happy when we are looking the other people can use what we gave them to improve their life...


Catatan kecil after satu meeting...

Monday, May 07, 2007

Mati listrik di Mall

Pernah mengalami berada di pusat perbelanjaan atau mall dan tiba-tiba mati listrik? Aku sudah. 2 kali. Pertama kali, waktu aku dan suami sedang belanja bulanan di Carrefour cawang. Wah, sempat senang juga sih, berharap belanja bulanan kali ini gratis.... Nyatanya setelah mati-hidup, mati hidup, toh, kami harus bayar juga di kasir. Kejadian kedua, kemarin, waktu aku membawa rombongan keluarga untuk berjalan-jalan di Metropolitan Mall. Buat catatan yang tinggal di area Jakarta, Metropolitan Mall itu mal yang lumayan besar di daerah bekasi. Mall ini sudah cukup besar, daripada waktu pertama kali aku tinggal di daerah Bekasi. Mall ini sekarang lumayan komplit, ada ace hardware, index furnishing, daily bread cafe,dan toko-toko lain. Balik lagi ke cerita, Minggu sore itu aku memang berniat membeli ikat pinggang Hush Puppies untuk membantu jeans baruku yang suka melorot tak jelas... Maklumlah, body sudah ibu-ibu, tapi jeans yang ada di zaman-zaman sekarang asyik berhipster ria. Lepas membeli ikat pinggang, kami berlima ke KFC, beli lauk untuk makan malam. Disinilah awal mati listrik mulai, tapi tak beberapa lama hidup lagi... kemudian mati lagi, kemudian hidup lagi... Beres dari KFC, kami beranjak ke daily bread cafe, niat awal buat kongkow-kongkow sambil menikmati kopi di sore hari. Beres memesan sandwich untuk Helmy, roti untuk Dafi, Cafe latte untukku, Ice cappucino untuk Ine, sepupuku dan Ice Coffee untuk suamiku, tiba-tiba listrik mati lagi... Satu persatu pengunjung mulai berlarian keluar. Kami hanya menonton kepanikan itu. Kemudia listrik hidup lagi... mati lagi... hidup lagi... terpaksalah kami sudahi acara santai kami. Sandwich kami batalkan dan kami menuju tempat parkir. Perjalanan ke area parkir di basement lumayan gelap, belum lagi asap knalpot yang berlomba-lomba memenuhi area basement. Maklum, mobil-mobil pengunjung stuck di tempat, tidak bisa bergerak keluar, karena secure parking bermasalah...Agak lama kami tertahan di mobil, kemudian...
"Sudah, kita naik aja lagi... gak baik terlalu banyak asap," perintah suamiku. Jadilah, akhirnya kami keluar mall. Di area terbuka.
"Say, kamu disini bersama anak-anak, ya.."
"Kamu?"
"Aku ke bawah lagi. Gak baik buat anak-anak menghirup asap"
"Buat kamu?"
"juga, sih, cuma kalau ada apa-apa, at least istri dan anak-anakku selamat," sahutnya sambil nyengir-nyengir kecil
"Terus aku nanti ama siapa?" jawabku konyol.
"Yah, ama anak-anak," jawabnya enteng.
Suamiku pun melesat ke basement lagi, tak lama kemudian, mobil kamipun meluncur di lobby mall.
"Kok cepat, mas?"
"Iya, aku paksa aja mundur, gak peduli ada mobil apa nggak. Dimaki-maki sih, tapi bodoh amat," jawabnya. "Mumpung aku sendiri, gak baik kalau anak-anak lihat."
Akhirnya... kami pulang....
Satu hal yang membuat aku bersyukur, dua jagoanku tidak rewel sekali dengan keadaan yang lumayan panik tadi... mereka tetap tertawa... dan Helmy tetap banyak bertanya, kenapa begini, kenapa begitu...
"Say, amit-amit sih... tapi aku tadi kepikir kalau mall kebakaran, susah loh akses pemadam kebakaran masuk ke area sini.."
Ih... jangan sampai deh.... tadi saja sudah cukup panik dengan keringat yang mengucur... dan aku kan nggak mau menutup usia di mall....

Thursday, May 03, 2007

Dasar wanita

"Eh, akhir-akhir ini kayaknya nowo lebih sering bete deh dibanding gue," ujarku ketika aku, wenny, rina, sohib-sohib masa kuliah dulu ber-reuni.
"Eh, iya, loh.. Denny juga, Mel," sambung Wenny. "Tau, gak, kita pernah keliling Jatinegara hanya karena ribut waktu beli sepeda. Gue sih maunya kalau beli sepeda itu sepeda mini, biar bisa dipakai belanja mbak di rumah. Tapi Denny maunya sepeda cowok gitulah... Nah, secara gue yang sering di rumah, kan lebih butuh bukan?"
"Kenapa gak beli dua aja, Wen?" tanyaku.
"Rumah gue kan sempit, Mel. Gak cukuplah kalau dua sepeda masuk rumah. Denny ngambek, kita di depan toko itu sampai hampir sejam, loh... Ya, udahlah, gue ngalah... Dan bener,kan, si Mbak gak bisa pakai sepeda gede kayak gitu, sedangkan Denny jarang pakai juga," ceritanya panjang lebar. "Beda amat deh ama waktu pacaran dulu."
"Wah, Rina juga merasa gitu sih... Cuma kalau dipikir-pikir emang salahnya Rina juga sih. Kayak gak pernah mau masukkin mobil ke dalam, karena susah.. Sekalinya terpaksa, Rina nabrak tembok rumah, dan mobil Rina tinggalin aja, nunggu Irvan balik," cerita Rina gantian. Kamipun tertawa.
"Itulah contoh kalau wanita makin lama makin dewasa, bukannya begitu bukan?" ujarku sok menarik kesimpulan, dan tentu saja disambut anggukan dari dua sohibku itu.
"Dan pria makin ingin dimengerti,ya?" sambung Wenny. Sekali lagi, kami mengiyakan.
Kesimpulan kami memang pembenaran sekali untuk kami para wanita. Pembicaraan yang tadinya berisi cerita anak, berubah menjadi membahas para pria. Walau sekilas, tapi sangat aku ingat sekali.
Akhir-akhir ini memang aku sering menemukan kejadian melihat diriku ke dalam sikap suamiku. Mungkin itu kali ya efek tinggal bersama dan berbagi bersama, dan bodohnya aku sering tidak suka dengan kemiripan itu. Tidak fair,kan? Padahal aku tidak bertanya pada suamiku, apakah dia merasa nyaman dengan sikapku? Aku sendiri seakan tidak peduli sebenarnya, hanya ketika susana hati tidak enak, mendapati sikapnya yang agak-agak menyimpang dari masa pacaran dulu, langsung tuiiinnggg..bete.... Jelek,kan? Seperti kejadian 2 minggu yang lalu, ketika dengan murkanya saya melemparkan muka bete, hanya karena hujan turun deras, aku harus bawa laptop ke rumah dan susah dapat taksi ke kantornya. "Mas, kalau hujan begini, aku terus ya yang susah," semburku langsung ketika sudah di dalam taksi, dan ketika suamiku baru mengatakan "Halo" di seberang sana.
"Sorry, say... terus maunya janjian dimana?" Gubrakk!! Makin mendidihlah suhu di dalam dadaku. "Udah didalam taksi, baru nanyain, yah percuma... udah, aku kekantor kamu aja." klik, aku pencet tanda merah di hpku.
Ketika ajang dua kelingking kami bersatu, aku mengatakan semua kekeliruannya padaku.
"Pertama, Mas, kamu kan tahu kalau di luar hujan deras, kok kamu gak pernah nawarin jemput aku, walaupun aku pasti nolak"
"Mas kan mau nawarin kamu, say... Ingat, gak, pas Mas telepon kamu, nanya 'gimana, say?'.. eh, kamu jawab, udah ketemuan aja di kantor aku"
"Ye.... mana tahu aku kalau saat itu hujan. Lagipula waktu kamu telepon kamukan nggak menawarkan diri menjemput, cuma nanya 'gimana', iya,kan?"
"Berhubung kamu langsung jawab ketemu di kantor, yah udah.. aku merasa gak perlu menawarkan. Benar,kan?" Belanya.
"Mana aku tahu kamu mau menawarkan diri. Coba kamu bilang gini, 'hujan loh say, mau aku jemput?'. Ini nggak ada sama sekali"
"Sorry, deh"
"Kedua, kamu gak minta maaf ama aku"
"Udah,kan?"
"Ye... sorry itu minta maaf ya?"
"Iya.. abis suruh ngomong apa?"
Aku speechless.
"Ketiga, kamu kok sekarang kalau aku marah, gak ngerayu atau apa sih kayak pacaran dulu. Aku malah dicuekkin. Aku kan pengen juga dirayu."
Kali ini suamiku memandangku dengan senyum simpul.
"Aku tahu kamu banget, say. Biasanya kalau lagi marah dirayu malah makin marah, makanya aku diamin sampai kamu cooling down sendiri."
Apa aku begitu ya? Kok aku jadi sangsi dengan diri sendiri.
Udahlah... toh, akhirnya kami baikkan, tapi setidaknya suamiku tahu kenapa aku marah.
Balik lagi ke topik, pada dasarnya suami-suami juga manusia. Yah kadang emang mengesalkan, tapi sering kali membuat para istri terlena. Di balik semuanya tentang suamiku, satu yang aku acungi jempol, dia sangat mengerti aku dan terlebih kalau dia mulai bilang, "Karena aku mencintai kamu, aku nggak ingin kamu pulang malam sendirian, say. Jadi gak papa kalau kamu mau ketemuan ama teman kamu nanti sore, aku bisa nunggu di starbucks kok." Kontras,kan? Sering menyenangkan, kadang menyebalkan. Herannya, walaupun sudah menikah cukup lama, dan sering dibuat sebal, kalau kalimat itu keluar dari seorang Nowo, aku bisa sesumringah-sumringahnya... Dasar wanita!

PS: Catatan dari reuni bertiga.....

Wednesday, May 02, 2007

33 tahun

"Happy Birthday to you..." Suara suamiku nongol bersamaan dengan satu buah Blackforest dan 5 buah lilin ketika jam menunjukkan pukul 4.28 pagi. Aku ternganga kaget.
"Kapan kamu beli, Mas?" berondongku segera. "Semalam pasti kamu gak main bulutangkis, tapi beli kue ini, iya, kan?"
"Udah, tiup dulu..."
Aku segera meniup lilin itu walau sebenarnya aku merasa aneh, kok lilinnya lima?.. Setelah memberikan ucapan selamat, mencium keningku dan teman-temannya, dia langsung menjelaskan,"Say, berhubung susah cari lilin angka, jadinya aku pakai lilin ini. Lilin ini melambangkan 32,ya.."
"Ye... aku kan udah 33 tahun, Mas... Siapa yang 32 tahun, Mas? Nah, lo..."
"O,iya, ya... aku lupa..."
Aku mentertawakan kealpaannya lagi....
"Bunda ulang tahun ya..." Helmy, anak sulungku menyahut. Jadilah, pagi itu sebelum menggosok gigi, ciuman-ciuman indah itu mendarat di pipiku.
"Mas, mas... aku jadi ingat waktu pacaran dulu. Pas jam 12, kamu bawain kue, ingat,kan?"
Suamiku hanya tersenyum simpul, dan setelah itu dia balik tidur.
----
Ingat ulang tahun jadi ingat apa yang sudah kucapai sampai usia 33 tahun ini? Suami? sudah, sangat wonderful... Anak? sudah, 2 orang jagoan.... Kerja? walau masih staff, tapi cukuplah menyenangkan.Setidak-tidaknya dari enam bulan yang lalu, aku sudah memperluas wilayah kenyamananku dengan pindah ke kantor baru... Teman? okelah.... Kebahagiaan? Setiap saat bisa merasakan... Rumah? ada, walaupun jauh... Mobil? ada, walaupun bukan yang terbaru... Hmm.. almost ada semua... Yah, yang kurang sih, kok aku merasa ini akhir-akhir ini tidak se easy going dulu, gak sesabar beberapa waktu lalu, dan agak-agak susah menahan segala hal yang sebenarnya bertentangan dengan hati.
"....Doain gw aja jadi orang yang wise, sabar, ikhlas, selalu bersyukur dan bertaqwa.." Sepotong sms kukirimkan ke seorang temanku ketika dia mengucapkan selamat ulang tahun dan bertanya mau hadiah apa. Susah kan untuk menjadi seperti itu? Semoga saja...
Ini ada juga catatan dari seorang P-MANer..

Selamat Ulang Tahun ke 33 Buat Mba Meli …
Sebuah angka yang bagus, menarik dan indah ...
Jumlah dzikir kita yang dianjurkan Rasululloh setiap selesai sholat ...
Yang apabila dikalikan 3 menjadi jumlah Asmaul Husna …
Yang merupakan ...
Sifat dan Nama – Nama Allah yang Utama dan Mulia …

Semoga Mba Meli di berikan kebaikan di usia yang Tersisa ..
Di anugerahkan keikhlasan dalam beribadah ...
Di limpahkan kesabaran dalam mendidik dan mengkader para buah hatinya ..
juga kesehatan selalu yang bermanfaat untuk selalu berbuat kebaikan ...

Semoga Allah Yang Maha Kuasa selalu menjaga Mba Meli ...
Menjaga hati dan diri Mba Meli serta orang – orang yang dicintai dan mencintai Mba Meli...
Memberikan keutamaan keutamaan para penghuni syurga ke Mba Meli ...
Memberikan kemudahan bagi Mba Meli untuk selalu mendekat kepada-Nya ...
Menunjukkan jalan menuju-Nya ..

Semoga Allah yang maha Kasih Sayang ...
Menganugerahkan manis dan indahnya Iman untuk Mba Meli...
Manis dan Indahnya Mencintai-NYA ..
Manis dan Indah Kasih Sayang-Nya ...
Manis dan Indah Cinta-Nya ..


Terima kasih sudah menjadi sahabat yan baik ..
Terima Kasih sudah menjadi “kakak” yang mengagumkan ...
Terima kasih sudah menjadi “guru” yang menakjubkan ...
Juga ...
Terima kasih sudah menjadi saudara yang lembut dan menjaga perasaan saudaranya yang lain …


Menyentuh.. dan Amien......

PS: Catatan kecil di hari jadi ke tiga-tiga