Thursday, June 26, 2008

Mendobrak Generasi


"Waktu itu, Mel, Bokap gw bilang, harus ada yang mendobrak generasinya, agar nggak sesusah dia hidupnya," cerita Yoso ketika kami berdiskusi tentang keluarga. Kata-kata Yoso ini sebenarnya pernah aku dengar dari Ibuku, temanku yang dulu tinggal di Bangkok, yaitu Effendi Tan, dan temanku yang hijrah ke Amerika, yaitu Thedy. Waktu itu, Effendi pernah bercerita, mengapa dia hijrah dari Jakarta ke Bangkok, yaitu demi keamanan keluarganya, karena saat itu Jakarta penuh kerusuhan. Kemudian dia melanjutkan ceritanya tentang kenyamanan tinggal di Bangkok, harga yang murah untuk biaya hidupnya dibandingkan dengan Singapore. Pertanyaan tolol yang kemudian keluar dari mulutku adalah mengapa dia memilih untuk keluar dari negara tersebut dan memilih lingkungan baru yang dia tahu pasti bahwa biaya hidupnya akan lebih mahal dari yang sekarang.... Effendi dengan gaya tenangnya yang khas menjawab, "Kalau tinggal di sini (maksudnya Singapur-red), anak-anak saya kan bisa terbiasa berbicara bahasa Inggris, Mandarin, yang lebih berguna untuk masa depannya. Beda kalau kami masih di Bangkok, Mel, bahasanya bahasa Thai." Aku mengangguk-angguk. Beda lagi dengan cerita Thedy,ketika memutuskan untuk keluar dari Indonesia menuju Amerika. "Perlu ada yang mendobrak generasi gw, Mel, dan itu gw." Thedy ini sosok teman jenius, yang menurutku masa depannya cemerlang, dan mungkin baginya dengan cara dia hijrah dan membesarkan keluarga di sana, dia membuka peluang bagi keturunannya untuk menjadi warga international, yang pastinya kalau kembali ke tanah air bisa menjadi jajaran kaum eksekutif atau expatariate yang bayarannya, wow!....
Mendengar cerita-cerita dan motivasi teman-temanku membuat aku sempat melihat kembali ke belakang dan apa yang ada di hadapanku sekarang.
Dulu, ketika aku masih bersekolah, Ibu selalu mengulang-ulang cerita Beliau, bagaimana Ibu berjuang dari seorang anak tukang jamu menjadi lulusan SMA yang berkualitas. Kata-kata kualitas sebenarnya aku yang menambahkan, karena Ibu selalu menjadi pelajar teladan DKI Jakarta, yang berarti perlengkapan sekolahnya selalu gratis didapatkan. Baju seragam Ibu yang satu stel hanya bertemu sabun murahan setiap hari Minggu saja. Bahkan untuk sepasang sepatu Ibu tidak memiliki. Begitu juga dengan waktu bermain, hidup Ibu adalah untuk sekolah, belajar, bekerja... Inilah selalu yang Ibu coba tanamkan ke adik-adiknya. Nyatanya, adik-adik Ibu lebih memilih uang sekolah yang Ibu sisihkan dari bekerjanya untuk jajan, atau adalagi adik Ibu yang memilih tetap menjadi pembantu orang daripada sekolah. Hanya adik bungsu Ibu yang berhasil ditanamkan disiplin khas Ibu. Aku masih ingat sekali, ketika kami berempat masih kecil, adik Ibu ini sudah ikut Ibu, dan semua biaya sekolah ditanggung Ibu. Belum lagi, Ibu menanggung biaya sekolah sepupu-sepupu kami, yang notabene anak-anak saudara kandung Ibu. Tapi balik lagi, sepupu-sepupuku itu agak-agak malas. Ada yang tega menjual sepeda mini kami demi mabuk-mabukan, ada yang ikut kursus macam-macam, tapi setiap ujian kenaikan level selalu tidak naik dan terakhir memilih untuk angkat kaki dari rumah, ada yang tekun kursus kecantikan, tapi ketika mengenal seorang pria, dunianya hanya untuk pria tersebut. Dan bagaikan diputarkan kejadian itu, Ibu seakan hanya berhasil mendobrak generasi di bawahnya persis, bukan generasi dibawah kaki adik-adiknya, yang tentu saja bukan adik terakhirnya.
Mengenang apa yang Ibu lakukan, ada rasa kagum atas usaha Beliau, Beliau seperti mengubah sejarah. Beliau seakan menuliskan satu sejarah yang endingnya ingin tidak seburuk awal hidupnya. Beliau seakan menuliskan bahwa hidup bukan hanya mengikuti arus, tapi hidup juga harus memikirkan orang-orang yang akan berada di pohon keturunan kita.
Mengenang, mengenal dan mendengarkan semua dari Ibu, sering menimbulkan satu pikiran yang menggelayut dalam otakku, adakah orang yang lebih hebat dari orang-orang yang bisa mendobrak generasi? atau dari orang-orang yang memikirkan orang lain, yang bahkan wujudnya belum ada?... Aku salut untuk itu.

Friday, June 20, 2008

Bergumul Hangat


Sejak pindah ke rumah kami. Sejak kami, aku dan Nowo, tidur terpisah dari anak-anak. Sejak anak-anak mempunyai privacy di rumahnya. Kami sering menikmati pagi sebelum subuh bersama. Biasanya 5-10 menit sebelum Subuh, ada makhluk kecil yang masuk ke kamar kami, yang memang selalu kami biarkan terbuka sedikit, biar bila Helmy dan Dafi memerlukan kami, mereka dapat masuk dengan bebasnya. Biasanya makhluk kecil ini akan merebahkan tubuhnya di ujung kaki kami, dan sebelum tertendang kami, kami sudah merasakan kehadirannya.
"Mas, sini.." Selalu kata-kata itu yang keluar dari mulut kami berbarengan sambil menunjuk space di tengah-tengah kami. Biasanya, Helmy pun menarik tubuhnya dan merebahkan ke tengah-tengah kami. Kami berpelukan, bercerita hingga Adzan Subuh terdengar.
Setelah itu, biasanya ada suara kecil lainnya dari kamar sebelah yang akan meminta. Aku membuatkan susu untuk Dafi. Bisa ditebak, itu saatnya dia membuka mata, dan segera bergabung dengan kami, selesai menikmati susunya. Bercanda, bercerita, melihat-lihat foto di hp kami ataupun saling bergumul, dan kalau sudah begitu, biasanya... "Say, nge-gym,gak?"
"Terserah, Mas," sambil berharap gym libur untuk hari ini.
"Nggak usah aja, ya, Say."
Aku mengangguk cepat. Dan setelah itu kami saling memaksa siapa yang akan mandi duluan, karena kami enggan melepas candaan dan gumulan hangat bersama anak-anak.
Karena itulah, sekarang jadwal nge-gym kami berkurang... Dulu 5 kali dalam seminggu.. sekarang sih, kadang 3 kali atau 4 kali. Kalau dipikir-pikir, bergumul kan juga olahraga...:)

Friday, June 13, 2008

Kapan ya?


3 malam lalu menjelang bedtime kami.
"Say.."
Aku hanya berhmm panjang.
Nowo meluncurkan kata-kata pembuka tentang kantornya. Aku mendelik kaget.
"Kok, Mas, gak pernah cerita,sih," ujarku cepat dengan nada protes.
"Ini apa namanya kalau bukan cerita?" tanyanya balik. Aku mau membantah, bahwa cerita itu tak akan meluncur kalau aku tidak melontarkan kalimat pertanyaan. Tapi ketika melihat muka putihnya sumringah, aku urung membantah.
Mulailah dia menceritakan segalanya detail smabil mencoba memasang kabel network di laptopnya. Senang sekali mendengarnya, pertama karena berita baiknya yang sudah diulang berkali-kali oleh Bosnya, kedua karena menemui Nowo menceritakan semuanya detail kepadaku. Jarang sekali dia menceritakan segalanya dengan nada yang sangat excited.
"Wah..," komentarku pendek.
Nowo tetap bercerita terus, mengalir seperti aliran air sungai dan kedua matanya seperti bulan purnama yang paling terang di langit sana. Belum lagi gemuruh bangga terdengar halus dari deruan napasnya. Aku menikmati suasana itu, walaupun tak lebih dari 15 menit panjang ceritanya.
"Aku butuh bantuanmu, Say," pintanya sambil memandangku yang sedang berbaring mendengarkannya.
"Pasti, Mas. Aku kan istri kamu, apapun yang baik dan bagus untuk kamu, aku akan support."
Hening sejenak.
"Mas, lagi buka internet ya?"
"Iya. Kenapa, say?"
"Coba buka link..., link..., itu bagus loh," ujarku. "Kamu bisa menghubungi mereka."
"Kok kamu tahu?"
"Pastinya..", ujarku seenaknya sambil terus memainkan N73ku.
Sepanjang mencari link-link tersebut, Nowo terus bercerita tentang rencananya. Cuma satu kata yang terlukis saat itu, aku merasakan kebahagiaannya, bahkan ketika mataku mulai tak bisa berkompromi, aku masih bisa menyahutinya.
Diujung kesadaranku, aku bergumam, "Kapan ya, aku kayak kamu, dipanggil sama Bos, terus diberitahu kabar baik kayak gitu? Pengen deh.. Aku kan udah tua.. Masa' masih kayak gini aja..."
Lelap. Aku tak cukup kuat mendengar komentar Nowo lebih lanjut.

Thursday, June 12, 2008

Sumber Inspirasi

Suatu kali, di pagi subuh.
"Say, kamu kan pernah keluar dari comfort zone. Boleh tau nggak apa yang membuat orang keluar dari confort zone-nya?" Tanya Nowo di sepanjang perjalanan menuju tempat fitness.
"Kalau aku dulu, aku bosan aja ama manajemen yang ada. Sebenarnya, sih, Mas, orang keluar dari comfort zone, karena dia punya target tertentu, dan dia berani untuk keluar mencapai targetnya. Emang kenapa, Mas?"
"Nggak. Aku punya teman di kantor yang jarang sekali berbaur, sampai-sampai kita sering merasa dia nggak di situ."
"O.. itu...," sahutku cepat. Meluncurlah cerita-cerita yang pernah aku alami dari mulutku saat itu. Nowo pun menceritakan rencananya untuk membuat temannya lebih terbuka. Saat itu, melihat dia ingin membantu temannya ke arah yang mungkin lebih baik, yang mungkin bisa menimbulkan sisi baik dari temannya, membuatku terperangah. Alhasil, aku menjadi semangat menceritakan tentang seorang temanku, yang waktu pertama kali aku ketemu di induction meninggalkan rasa aneh di hatiku. Nyatanya, dia menjadi satu grup denganku. Dia lebih banyak diam, lebih banyak tak berkomentar, ketika kita dengan ributnya menentukan nama grup. Dia baru muncul ketika kami satu grup menemukan kesulitan dan tidak bisa memecahkan. Dia dengan lagak khasnya membantu kami. Kami bangga dengannya, tapi tetap dia diam dengan sejuta pemikiran yang bergelayut di otaknya. Sampai di satu sesi, di mana kami digiring untuk saling bercerita, tercetuslah kisahnya karena pancingan sang psikolog. Dia bercerita dengan tampang yang sangat dingin, seakan ingin bercerita tanpa perlu respons balik. Itulah... Setelah pulang dari induction, snagat berubah apa yang dulu melekat. Dia menjadi teman yang berubah, aktif dan hangat.
Nowo mendengar cerita ini manggut-manggut. "Wah, teman kamu hebat ya...". Aku nyengir.

----

Pernahkah dalam perjalanan hidup kita sampai seusia sekarang menemui satu sosok, yang tidak ngetop, yang tidak lebih hebat dari kita dan mungkin saja masih culun, menjadi pencerah untuk satu kasus? Pernahkah ketika kita bercerita ke seseorang, kemudian orang tersebut menceritakan kasus yang hampir sama dengan apa yang terjadi pada kita dan kita menemukan jalan pencerahan dari cerita itu? Aku yakin, sih, sebagian besar orang pasti pernah merasakan. Nah, pernahkah kepikir kalau orang tersebut bisa disebut sumber inspirasi? Pasti nggak pernah kepikir. Karena momok di sekitar kita, sumberinspirasi umumnya adalah tokoh-tokoh ngetop yang bahkan masa hidupnya tak pernah kita alami. Orang yang tidak lebih hebat, yang masih culun ataupun yang tidak kharisma, bisa saja menjadi sumber inspirasi kita. Dalam perjalanan sampai usia 34 tahun ini, banyak-banyak orang yang berseliweran depanku yang seringkali menjadi sumber inspirasi. Mungkin karena itu, kalau ditanya tokoh idola, aku nggak punya. Wong apa yang terjadi di skeitarku, bisa aku atasi karena suka melihat sekitar. Nah, salah satunya temanku yang di atas itu. Aku bisa membuatnya menjadi bahan solusi bagi suami tercinta. Jadi, mulai deh lihat-lihat kiri kanan, siapa yang selama ini sering menjadi seperti jawaban di setiap kasus anda... atau bisa jadi anda adalah sumber inspirasi mereka....:)

Monday, June 09, 2008

Rumah..Rumah dan Rumah




Akhirnya bisa menempati rumah sendiri....
Aura rumah baru nih.... Jadi betah di rumah, udara rumah ini lumayan banyak, karena jendelanya besar-besar..hehehehe....
Pokoknya asyik lah....