Monday, April 28, 2008

Hiburan

Semalam, waktu curhat ama Nowo.
"Aku kadang suka heran deh, Mas. Kadang aku pengen cerita itu ke Ibu, tapi kok...." Nowo langsung memelukku yang sedang tidur memunggunginya.
"Udahlah, say.. Mending kita makan dok-dok, yuk," ajaknya dengan mempererat pelukkannya.
Aku tergoda memalingkan wajah ke arahnya. "Lagi?" tanyaku heran dan terbelalak.
Sudah 2 malam ini aku makan nasi goreng dok-dok bersamanya.
"Iya, gimana?" tanyanya sambil menaik-turunkan alisnya.
"Boleh... Tapi jangan nasi goreng ya,"ujarku
"Kwetiaw?"
"Boleh"
10 menit kemudian, lewat tek-tek.
"Mas.."
"Gak papa tek-tek?"
Aku mengangguk. Semenit kemudian masuk kamar, "Kwetiawnya abis, say. Bihun mau?"
"Boleh"
Jadilah melahap satu porsi bihun goreng berdua. Kenyang. 10 menit setelah makan, kami siap tidur. Nikmat dan hangat hiburan malam ini, jadi lupa ama masalah.
Walo...
"Ih..." Katanya sambil mengelus perutku.
"Gendut ya? Emang... 3 malam makan tek-tek atau dok-dok,sih."
Setelah itu, lupa..... Maksudnya udah merem.

Friday, April 25, 2008

Kerja..Kerja.. dan Kerja...

Apa yang membuat orang merasa hidup?... Pertama, bernafas. Kedua, Bergerak. Ketiga, Berarti...
Dangkal ya tebak-tebakannya? Tapi, pernah nggak kepikir bergerak dan berarti itu adalah termasuk bagian dari suatu proses berkarya? Contoh, bergerak artinya melakukan sesuatu, artinya lagi ada yang dihasilkan; berarti adalah apa yang dihasilkan bisa bermanfaat, at least buat diri sendiri.
Itulah yang sering aku jadikan tameng ketika teman-temanku mulai menceritakan asyiknya jadi Full mother. Intinya, sih, kalau aku harus mengalami itu, ada adaptasi besar yang harus aku lakukan untuk tetap betah di rumah dengan aktifitas yang luar biasa panjangnya dibandingkan aktifitas kantor. Selain itu, umumnya Full mother itu menjadi sangat keibuan, sedangkan working mom itu lebih praktis. Selebihnya, akhir pekan buat Ibu bekerja sepertiku sangat istimewa, kalau mengutip istilahnya Helmy, "Asyik, sekolah tinggal sehari. Hari Sabtu bisa barengan deh ama Bunda, Ayah dan Dafi". Dan ujungnya, akhir pekan adalah hari absolut punya dua bocahku.
Ada plus-minusnyalah....
Kerja juga adalah tempat melatih mental dan strategi. Dulu, aku pernah punya teman yang kerja di Siemens hanya setahun atau 6 bulan, padahal gaji dia itu kalau dilihat pasti lebih kecil dibandingkan pengeluaran bulanannya. Bayangkan saja, bedaknya merk YSL (asli, bukan sample atau kosmetik YSL level bazar Jamsostek), mobilnya New Eyes. Usut punya usut, Bapaknya adalah pengusaha subkon perminyakan. Waktu aku nebeng dia pas pulang kerja, dia cerita,"Aku, mbak, kayaknya gak lama di Siemens. Aku perlu mempelajari kepegawaian, bagaimana tingkah laku dan perasaan seorang staff."
Dia bercerita dengan nada datar. "Mau bikin perusahaan ya?" tanyaku bodoh.
"Belum tentu sih, Mbak. Cuma aku merasa perlu kerja di perusahaan orang lain."
Karena itu, kadang menurut pengamatan sesaat sih, orang yang bekerja umumnya lebih handal dalam pemecahan masalah atau menyikapi masalah. Bagaimana tidak, selama di kantor kita bisa ketemu orang dengan berbagai keunikan, suka-tidak suka kita tak pernah bisa memilih teman kerja seperti apa, semua harus bersinggungan ditambah pekerjaan yang menunggu hasil. Wadduh, sempurnalah tempaan mental kaum pekerja!
Jadi, jadi ingat suatu kejadian, yang masih hangat terjadi di tempatku bekerja. Ceritanya, tempatku bekerja ini baru resmi ada pemecahan 2 divisi dalam satu subdir. Aku terpilih di Business Incubation (BI). Sempat protes sama GM-ku, ternyata pemilihannya karena selama ini pekerjaanku sering bersinggungan denga orang Produk. Jadilah, aku dan 3 orang temanku, menggodok konsep Business Incubation, yang konsep kerjanya benar-benar beda dengan yang selama ini kami lakukan. Seorang temanku terpilih sebagai leader-nya.... Divisi lainnya adalah Technology Planning (TP). Candaan mereka sih, mereka adalah kaum Teknokrat. Balas candaan dari Aku, "Teknokrat kan Teknologi Nol Karat..hehehehe.. means kalau udah 24 karat baru ke BI".
Lain kali, peristiwa yang sempat terekam diantara peristiwa yang berserakkan lainnya.
"Kalau elo yang gabung ke BI gimana?"
"Ma kasih deh," dengan lambaian tangan.
"Nyeleneh banget sih, kalian... Sama-sama kerja aja, nyeleneh gitu... Emang BI haram ya? Sampai segitunya," sahutku agak sewot.
"Ih, Tante marah.."
"Yah, nggak.. Cuma masih sama-sama kerja aja nyeleneh gitu."
Lain kali lagi,
"Jadi BI belum pernah ngasih rekomendasi ke Direktur?"
"Yah, belumlah... Tahu karena apa? Karena BI itu menganalisa, mentrial, memikirkan bisnis model untuk suatu produk baru. Sekarang gw tanya sama elo, dalam waktu sebulan, mungkin gak suatu rekomendasi produk keluar?"
Temanku menggeleng.
"Beda sama TP. Kalian kan bikin konsep, sedangkan kita sampai trial market. Jadi yah gak secepat kalian."
Lain kalinya lagi, sebuah imel tentang pemaksaan nraktir buat seorang temanku yang akan bekerja di Nigeria diluncurkan dari IP-ku.
Komentar yang masuk, yang menggelitik dan mengangkat ke-narsis-an,
Tante, dua-duanya kan anak TP. Yang mau melepas masa lajang, anak TP. Yang mau cabut, anak TP. Masa BI mau ikut-ikutan ditraktir...
Wah.... Padahal kan suasana kayak begini untuk pengakraban.
Banyak-banyak deh peristiwa yang terjadi dalam penyesuaian dua divisi. Seringnya, sih, BI yang orangnya cuma 4 orang, menjadi kaum minoritas yang diolok-olok. Maklum sekali, karena mereka jauh lebih muda dari aku. Maklum sekali, karena mereka bangga dengan divisi mereka. Maklum sekali, BI bukan orang Teknologi, hanya bisnis, sampai-sampai budget BI dipertanyakan sebagian dari mereka dialokasikan buat apa. Orang-orang tersebut lupa, kami punya tanggung jawab produk baru yang butuh di trial, disosialisasikan. Maklum sekali. Hanya yang suka terlintas di pikiran, kapan dewasanya yah kalau kita sibuk membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain? Kapan dewasanya, kalau apapun masalahnya, kantor adalah tempat bekerja, bukan tempat untuk mengolok? Satu lagi, sadarkah mereka, bahwa kami ataupun mereka cuma di level yang dibayar bukan yang membayar. Jadi masih sama......:)
Makanya, kenapa orang bekerja menjadi lebih cepat dewasa, karena sejalan dengan waktu pasti akan banyak belajar dari melihat, dari bersikap, dari bertemu.... Belum lagi, dari pertemuan, dari bekerja sama, yang awalnya perselisihan, akan mungkin menimbulkan perkawanan yang erat. Nah kalimat terakhir itu contoh aku dengan tim Pak AS. Kami jadi solid dan diskusi apapun lewat email.
So, kerja..kerja...dan kerja...:) *sebelum ke level pengusaha, kapan ya?*...:)

Thursday, April 03, 2008

Rezeki

"Tenang, Tje, kalau di agama gw, ada yang namanya takdir, kalau Allah menggariskan gw dapat 100 juta sebulan, Insya Allah gw akan dapat,kok," sahutku ditengah-tengah wejangan dari leaderku.
"Maksud elo, tanpa usaha?"
"Yah, nggaklah... tetap dengan usaha dong..."
"Makanya kalau baca ayat jangan setengah-setengah."
"Ye.. elo juga kalau gw ngomong jangan langsung dipotong," kelitku dengan setengah becanda.
Agak-agak ajaib memang kalau ingat rezeki....

Cerita lain... Via SMS.
Gimana hasil huntingnya, pi?
Wah, tante.. Rumahnya mahal, ada yang 700, ada yang bagus banget, deh.. Harganya 1,9M
Tenang, Pi, kata nyokap gw, rumah itu kayak jodoh. Udah ada rezekinya, jadi pantang menyerah!
Amiinn.. mudah-mudahan jodoh gw yang 1,9
Amiinn.. tapi btw, itu uang semua ya?
Nggak, itu ama daun. Emang elo pikir gw sundel


Cerita lain lagi... Tentang caraku buat punya rumah sendiri.
"Kata Ustadz, kalau punya keinginan, harus banyak-banyak bersedekah," ceritaku ke Tutut, aku lupa di moment apa.
"Trus?"
"Yah, kalau lewat jembatan penyeberangan depan kantor, aku usahakan untuk ngasih. Karena aku pengen banget bisa beli rumah."
"Amiin... Emang yang sekarang?"
"Kan masih punya ortu,"ucapku.

Cerita lain... Di malam bulan Ramadhan, di depan teras Mesjid Sunda Kelapa sambil menunggu jadwal sholat Tarawih.
"Mas, mungkin gak ya kita nikah di gedung?"
"Mungkin... Kita hitung deh uang kita ada berapa"
Hitung menghitung... Tetap tidak cukup. Mengamati iklan-iklan paket nikah murah, tetap gak cukup. Survey sana-sini tetap nggak mungkin. Akhirnya, pasrah....
----
Cerita terakhir membawa ending bagus sekali. Perfect malah. Kami bisa menikah dengan uang sendiri, diiringi bulan madu ke Bali dan Lombok dengan biaya sendiri. Biaya yang pada awalnya muskil dipenuhi dengan akal sehat. Belum lagi, ketika kami pesta akad, ada saja yang memberikan sumbangan gratis. Seperti buah-buah segar yang banyak sekali gratis, potongan biaya masak untuk menu utama kami, biaya tata rias yang tiba-tiba jadi murah, karena dibundle dengan biaya tata rias di gedung resepsi. Semua jadi indah... Kalau dipikir susah kami bisa memenuhi tanpa kucuran rezekiNya.

----
Cerita sebelum terakhir. Agak-agak bersusah payah. Kami bisa membeli rumah sendiri. Yang jauh sekali, di Kota Deltamas, plus satu buah kios, hasil patungan dengan Mbak Ari. Ceritanyapun lumayan seru. Kabur dari rumah jam 9-an malam ke Mal Metropolitan buat lihat pameran rumah. Meringis ketika dihitung besarnya uang muka oleh Marketingnya. Meringis lagi ketika dihitung type yang lain. "Bisa nggak, ya, Mas"
Untung punya suami yang bekal percaya dirinya seIndonesia, dia mengangguk mantap. Nyatanya, logika gak bisa diandalkan sepenuhnya, kebayar tuh..... 3 tahun kemudian, rumah masih sibuk dikontrakkan ataupun seringnya dikosongin.
"Pengen punya rumah sekitar sini, deh, Mas," ujarku ketika Nowo mulai menodongku untuk menempati rumah kami.
"Sebenarnya, Mas juga pengen. Tapi.. Kita survey yuk," ujarnya.
Jadilah survey....
"Ada yang 500, Pak, tapi udah habis..." Ini di Grand Prima Bintara
"Paling murah 650, Pak. Uang mukanya xxxxxxxxx," lanjut marketingnya.
Wah..mahal....
"Mas, ada Puri Bintara tuh," sahutku sambil menunjuk satu plang di tepi jalan.
Tapi ternyata mahal....
Kemudian... Kemudian.... Dapat juga....
Seperti pertama, ragu-ragu apa bisa bayar.
Itulah....
----
Rezeki susah diterka. Kalau cerita Nowo, waktu tausiyah dengan Aa Gym, ada cerita, tentang santri, yang cacat dan terbelakang, rajin beribadah dan memelihara musholla. Sampai suatu saat ditanya oleh Aa, apakah dia berniat menikah? Jawabannya sangat lugu, dia percaya dengan rezeki dari Allah. Jodoh adalah rezeki. Tak bisa dibayangkan dengan logika, dia akhirnya menikah dengan wanita yang cantik, taat dan normal, sampai ketika dia dititipkan anak, istrinya meninggal dunia. Cerita itu mengharu-biru membawa ke setiap sendi dan napas para hadirin. Susah ditebak... Yang penting pasrah dan berusaha.
Bicara tentang berusaha, aku jadi ingat satu sosok yang selalu kami temui di jalan selepas Subuh. Sosok yang tidak pernah kami kenal namanya tapi sangat mengagumkan. Sosok itu selalu berjalan ke arah Klender (sepertinya) dengan menyusuri jalan Casablanca dengan memanggul lebih dari satu lemari, atau kombinasi dari satu lemari besar dengan beberapa rak tanggung. Mata pencahariannya mungkin memang pengrajin furniture mentah. Bayangkan, seorang diri dengan terbungkuk, dia memanggul lemari dan rak-rak tersebut. Bayangkan, untuk mendorong satu lemari pakaian saja dirumah, aku harus punya bantuan, apalagi untuk memanggul dengan jarak yang jauh dan jalan yang naik turun. Miris melihatnya. Trenyuh melihatnya. Kagum juga yang mewarnai kami. Sosok itu menekuni semua yang sangat susah demi rezeki.
Ingat semua itu, jadi ingat sebuah omongan teman kuliahku dulu, Rina,"Rezeki tuh nggak pernah salah... Lihat aja tukang teh botol banyak di Senayan, toh tetap masing-masing ada pembelinya". Semoga sosok itu maupun orang-orang lain yang sedang berusaha untuk keluarganya selalu diringankan oleh Allah.....