Tuesday, August 26, 2008

Tuhannya Mengecil


Email berjudul itu masuk ke dalam inboxku. Sangat tersindir membacanya. Email itu bercerita tentang proses hidup seseorang, yang dalam prosesnya kadang mengecilkan Tuhan, atau melalaikan orang. Contohnya, melalaikan Tuhan karena meeting, artinya meninggalkan sholat. Melalaikan Tuhan karena berada di kemegahan mall, itu yang sering aku lakukan. Alasannya, tempat sholat di mall tidak comfortable. Jauh. Bau lembab. Repot bawa anak-anak. Padahal, ketika aku membawa anak-anak ke sanapun, mereka tak masalah. Mereka tetap dengan gaya aktifnya mengikuti kami sholat. Contoh lainnya adalah membandingkan pasangan kita dengan orang lain. Nah, di email itu sih cerita si suami yang jatuh cinta.. Walah, hebatlah kerjaannya para pembisik itu... Kalau sudah begini, senjatanya apa?... Nyatanya, siang harinya, ketika jam makan siang di pantry, aku duduk bersama dua orang temanku, yang salah satunya cowok sudah berumah tangga dan baru mempunyai anak kedua. Temanku ini memang banyak banyolnya, tapi kadang kalau dicermati di banyolannya, kadang terselip kata-kata benaran sih di banyolannya.
"Istri gw tuh punya kebiasaan masukkin payung ke ransel gw. Jadilah, ntah panas atau hujan, gw selalu bawa payung. Nah, pernah sekali waktu ketika gw pulang kerja, hujan turun. Jadilah gw nunggu di halte tendean itu loh dengan payung. Mana bis gw lama lagi. Nggak jauh dari gw berdiri, gw ngelihat mbak-mbak kantoran pegang amplop coklat kehujanan..." Mulailah kami ber-uhui ria mendengar kisahnya. Temanku ini tetap cuek meneruskan ceritanya.
"Mbak itu nyamperi gw dan numpang teduh di payung gw. Terpaksalah gw minggir-minggir, sampai baju gw basah..." Suara ejekkan kami masih berlanjut. Tetap.. ceritanya dilanjutkan tanpa hambatan.
"Nggak lama istri gw nelepon. Untunglah... Ngeri keterusan, apalagi mbak itu mulai nanya-nanya, dari kerja dimana, rumah dimana, gw langsung naik bis yang lewat. Gw bilang gini, mbak, payung ini pakai saja, bis saya sudah datang. Yah.. Mending ngorbanin payung satulah, daripada keterusan."
"Leki,Leki... Pasti mbak itu mikir nih cowok kayaknya lumayan dibohongin. Lumayan nih dapat payung satu," ledekku. Temanku hanya tertawa-tawa.
"Bahaya soalnya kalau sampai tukeran nomor handphone,kan?"
Terus terang, salut juga melihat ketegasannya. Sambil cengengesan, dia menutup cerita. Padahal kalau dipikir-pikir, bisa saja perkenalan itu hanya sebatas basa-basi ya... tapi temanku ini hebatnya tahu kemampuan kendali dirinya sejauh mana, sehingga dia lebih baik menjauh dari awal, daripada terperangkap di situasi yang di luar skenario dia. Hebat,kan? Balik ke kodrat, melihat kemampuan diri sendiri dan tentu saja mengingat Tuhan di segala kejadian menjadi senjata ampuh buatnya, bukan?... Kejadian sederhana, tapi berhubungan banget,kan, ama email di atas?.. Hebatlah....

It's about TRUST!


"Mas, kita hebat ya.." ujarku tiba-tiba dalam perjalanan pulang dari kantor. Nowo mengerinyitkan keningnya. "Iya, Mas.. bayangin aja kita udah nikah hampir 8 tahun, atau tepatnya tujuh setengah tahun, kita nggak pernah kan ngecek handphone atau buka dompet kita masing-masing tanpa kamu atau aku nyuruh, iya, kan?"
Nowo tertawa kecil.
"Dari pacaran kali, say,"sahutnya.
"Maksudnya?"
"Dari pacaran dulu, emang kita udah edan. Ingat gak kamu waktu kamu nitipin kartu ATM BNI kamu ke aku? Apa nggak edan, tuh?"
Aku tertawa mengingatnya. Yup, dulu sekali... Waktu kami masih pacaran dan aku harus on the job training di Jerman, aku pernah dengan percayanya menitipkan kartu ATMku ke Nowo. Kartu ATM itu berasal dari bank yang aku gunakan untuk menerima gajiku di Indonesia setiap bulan. Tentu saja, waktu penyerahan kartu ATM itu, aku menuliskan apa saja yang perlu dia bayar dari gajiku. Seperti memberi ke Ibu setiap bulan, membiarkan di rekeningku, sampai menyumbang untuk biaya pernikahan kami.
"Dan kamu tahu, gak, say, setiap gajian, aku selalu bingung mencari alasan ke Ibu (maksudnya Ibuku-red), bagaimana caranya aku memberikan uang kamu ke Beliau tanpa merasa Beliau dilangkahi oleh aku. Untungnya, Ibu lempeng-lempeng aja. Edan,kan, kamu," ceritanya panjang lebar. Aku tertawa mendengarnya.
"Bodoh banget ya aku.. Kok bisa....hahahahaha," tawaku untuk kebodohan pada diri sendiri. Saat itu memang tidak terpikir sedikitpun Nowo akan menyalahgunakan kepercayaan dariku, dan nyatanya memang tidak. Aku percaya saja, demi lancarnya pesta kami, aku menyerahkan semua urusan gajiku ke dia.
"Itulah hebatnya aku, say," sahut Nowo mulai kumat narsisnya. Aku hanya menjulurkan lidahku. "Itu, say, yang namanya percaya. Mau dibilang apa, kalau kita sudah saling percaya, nggak ada orang yang bisa membantah kita."
"Pokoknya, kita hebat, Mas," ujarku kumat juga narsisnya.
Nowo tertawa setuju. Susah memang kalau dua orang lagi narsis ketemu... Nggak ada yang koreksi..:)