Wednesday, February 23, 2005

Kenapa, bunda?

"Kenapa bunda harus pakai kerudung?" tanya anak kecilku dengan bahasa cadelnya. Aku memandangnya sambil tersenyum.
"Karena tidak boleh, mas," jawabku sesederhana mungkin padanya. Anak kecilku, Helmy, biasa aku panggil dia dengan sebutan 'mas'. Sebutan tersebut sekedar untuk mengingatkannya bahwa dia anak sulung yang bila saatnya nanti punya adik, akan punya tanggung jawab yang besar pada adiknya.
"Sama siapa, bunda?"
"Sama Allah," jawabku sambil berusaha membenarkan helai kerudung di kepalaku.
"Kenapa, bunda?" tanyanya lagi sambil mata bulatnya mengamati kesibukanku. Aku membalikkan badan, memandang ke arahnya dan meraihnya kepelukanku.
"Kalau bunda tidak pakai, bunda akan kena marah Allah. Mas, nggak mau kan bunda dimarahi Allah?"
Dia menggeleng. Untungnya, kali ini dia tidak menanyakan lagi siapa Allah. Mungkin karena dia pernah menanyakan siapa Allah padaku beberapa waktu lalu, ketika dia mulai bisa berbicara dan ketika dia bisa dengan leluasa menanyakan apa saja yang aku dan suamiku lakukan.
Masih terekam jelas dibenakku, waktu pertanyaan itu singgah, aku memutar otak untuk menjawab pertanyaan sederhananya, namun sulit untuk dijawab.
"Allah itu yang menciptakan bunda, ayah, mas, eyang putri, teman-teman mas Helmy, Olda, mbah... Allah juga yang ngasih uang ke bunda sama ayah, biar bisa beli susu buat mas."
"Allah tinggal dimana?"
"Dimana-mana. Disini, diatas.." jawabku sambil menunjuk hatiku. Dengan mata bulatnya, dia mengangguk. " Allah bisa lihat mas Helmy dimana saja mas Helmy main," lanjutku.
Entah mengerti atau tidak, setelah mendengarkan jawabanku, dia menarik tanganku untuk menemaninya bermain.
Itulah pertanyaan kecilnya, sering membuat kami geli sampai speechless, karena tak mampu menjawab. Pertanyaannya sering muncul sampai hal-hal terkecil seperti anak-anak seusianya. Dan tak aneh pula, waktu aku dan suami sering mendapatinya berkata 'aku belum sholat,bunda' atau ketika kami sedang menghabiskan waktu akhir pekan diluar rumah, sering kami merasa diingatkan dia dengan kata-kata 'kita ke mesjid aja, ayah', sewaktu dia mendengar percakapan kami yang masih ragu-ragu untuk sholat dimana. Aku yakin sekali, anak kecilku itu memang suka berada dimesjid yang luas hanya karena merasa leluasa berlari-lari, setelah sebelumnya dia berwudhu mengikuti gerakan ayahnya, kemudian sholat tapi minus ruku' yang sempurna dengan rakaat yang kurang dari semestinya, ataupun dia merasa gembira bisa mendapati aku dibalik hijab pemisah jamaah wanita dan pria.
Pernah suatu ketika, dia ikut kami kepusat perbelanjaan yang padat di kawasan mangga dua, ketika kami mampir untuk sholat, terdengar dengan jelas ucapan 'Allahu Akbar' dia yang sangat nyaring. Aku nyaris terbuyar konsentrasi untuk sholat. Dan tak lama ucapan 'Amin' pun terdengar nyaring. Saat itu beberapa bapak-bapak tersenyum-senyum mendengar ucapannya, begitu cerita suamiku. Semburat rasa bangga sempat mampir ke relung hatiku.
Aku memang merasa sering dibuat takjub olehnya. Mungkin itu pula yang sering mampir ke orang tua lainnya tentang anak mereka.
Namun, tetap di balik itu, ada juga tingkah-tingkahnya yang suka menjengkelkan kami, apalagi untuk hal-hal baru. Seperti ketika aku baru saja mengenakan kerudung, di bulan Ramadhan 1425 H lalu, dia dengan tangisnya yang keras menarik-narik kerudungku agar dilepas. Saat itu, aku benar-benar seperti putus asa, sambil memandang suamiku yang berusaha menenangkannya, aku terus melafalkan Alfatihah dan doa kecil. Alhasil, dia berhenti dengan mudahnya. Kejadian itu terus berlangsung sampai beberapa hari, terutama ketika aku harus pergi dengannya. Syukur Alhamdulillah, setelah itu dia seakan mengerti dan pertanyaan seperti diatas terus bergulir, dan ketika aku harus menemui tamu dengan mengenakan kerudung.
"Bunda, kok, pakai kerudung?" tanyanya kala itu.
"Iya, kan ada om Iwan. Bunda malu."
"Malu kenapa?"
"Malu gak pakai kerudung,mas," jawabku hanya membalikkan kalimat.
"Takut, bunda?"
"Iya, mas," jawabku yang tahu kemana arah pertanyaannya.
"Takut sama siapa?"
"sama siapa,mas?"
"Allah, bunda," jawabnya riang seakan memenangkan pertandingan.
"Pintar ya anak bunda," ujarku sambil mengelus helai rambutnya.
"Mas Helmy pintar karena sekolah, bunda."
Aku tertawa kecil mendengar jawabannya.
Celotehannya seperti itulah yang selalu kami ulangi dalam perjalanan menjemput rezeki setiap hari. Aku dan suami seakan tak berhenti dihibur oleh 'mas' kecil kami. Memandang mata bulatnya, mendengar celotehannya adalah hiburan yang terindah bagi kami selepas bekerja seharian. Kami suka berandai-andai apa jadinya kami kalau kami tak diberi kepercayaan oleh Allah untuk makhluk kecil ini...benar-benar tak bisa kami bayangkan. Alhamdulillah,untuk semuanya ya Rabbi....

No comments: