Tuesday, March 15, 2005

Super Woman

"Nanti sore, ketemu ibu di dokter ya, nduk," begitu kata-kata ibu yang selalu menyertai kepergiannya ke kantor bila aku sakit.
"Tapi dapat coklat,ya,bu," rajukku. Ibu hanya mengangguk tersenyum dan mencium dahiku. Tak lama kemudian, aku pasti akan mendengar ibu mewanti-wanti bulik yang menjaga kami berlima dengan segala pesan, termasuk pesananku untuk mendapat coklat Silver Queen.
Itulah sebagian upacara kecil yang selalu aku kenang tentang ibuku, yang notabene wanita pekerja.
Ibuku memang tidak seperti ibu-ibu temanku yang lain, dia sibuk dengan aktivitas kantor dari jam 7 pagi sampai jam setengah lima sore. Lepas itu, ibu yang kuingat selalu punya waktu untuk kami, apa untuk menemaniku belajar menulis indah (untuk satu hal ini, ibuku hebat sekali), atau hanya duduk menemani kami menonton televisi. Karena perbedaan itulah, aku sering protes pada ibu untuk tidak bekerja. Saat itu bagiku, kalau ada ibu dirumah, aku bisa minta izin beliau pada siang hari untuk ikut latihan menari jaipongan dan tidak perlu pergi mengaji, kalau ada ibu dirumah, aku bisa meminta beliau untuk menemaniku makan siang, dan kalau ada beliau di rumah, aku bisa berlari-lari dengannya di sore hari seperti yang dilakukan teman-temanku dengan ibunya. Namun sekali-kali ibu tak pernah melakukan itu, melepaskan pekerjaannya dan murni menjadi ibu rumah tangga, karena ibu selalu bilang ibu ingin anak-anak ibu semuanya bisa sekolah sampai menjadi sarjana, dan tidak seperti ibu yang hanya tamat SMA.
Ketika itu, aku tidak mengiyakan kata-kata ibu, aku yang memang pada dasarnya suka berkhayal, malah sibuk menghayalkan diriku dewasa nanti. Tahu apa yang aku khayalkan dulu?... Aku selalu berkhayal hidup di desa, dengan cukup menjadi ibu rumah tangga atau kalaupun bekerja, tak perlu sampai sore, yaitu jadi seorang guru, dan suamiku boleh bekerja di Jakarta. Sederhana dan sedikit 'memalukan' bukan untuk diceritakan saat ini?.... Nyatanya, waktu aku mengatakan itu, Ibu hanya tertawa kecil, mungkin di benak beliau, lihat saja nanti...
Dan inilah aku sekarang...yang duduk di samping tempat tidurku mengompres kepala Helmy, anakku, yang tiba-tiba panas tinggi, sambil sebelah tangankutak berhenti bergerak mengetik huruf-huruf di keypad handphoneku.
Ternyata, kesibukan Ibuku dulu menular padaku. Aku harus bekerja dan menjadi seorang ibu secara bersamaan. Tak ayal, kejadian seperti mendapatkan anak yang tiba-tiba demam sepulang kantor juga harus aku hadapi. Kejadian seperti dikejar pekerjaan dan kepentingan mengurus anak seakan terus berlomba. Untungnya, aku pernah melihat ibu seperti apa dulu... Untungnya, aku pernah disertakan training tentang prioritas hidup sehingga aku selalu berusaha memenuhi prioritasku dulu, untungnya aku punya suami yang bersedia membahu untuk anak kami, untungnya aku hidup di zaman ini, yang mana handphone dan mobil sudah seperti barang primer untuk mempermudah hidup dan untungnya lagi, Allah selalu menunjukkan kemudahan padaku.
Ingat semua itu, seakan diingatkan kembali pada Ibu... Aku jadi membayangkan bagaimana susahnya Ibu dulu membawa kami ke dokter seorang diri, karena mengandalkan Bapakku tidak mungkin. Bagaimana Ibu dulu harus berkejar dengan waktu pulang kerja dengan hanya mengandalkan bajaj atau bis untuk mengantar kami ke dokter. Bagaimana ibu dulu menahan diri untuk tidak berbelanja bagi dirinya sendiri agar kami bisa menjadi lebih baik dari Beliau... Begitu banyak yang Ibu lakukan untuk kami... yang bilapun dibanding dengan apa yang dilakukan Ibu-Ibu temanku, pastilah Ibuku lebih unggul, karena dia bekerja untuk kami. Bahkan kalau saat ini ada pemilihan Super Woman, maka aku yakin Ibuku akan menjadi pemenangnya...
I love you, Mom.... Thanks for everything.....

No comments: