Wednesday, April 12, 2006

Siapa tahu kasus saya bisa jadi pioneer

Kata-kata itulah yang terlontar dari mulutku di depan bapak Kasubdikmas ketika interview untuk penggantian paspor. Bapak kepala itu hanya tertawa kecil mendengar ucapanku. Baginya, permohonanku ini memang agak aneh, karena buku paspor yang aku punyai masih memiliki sebagian besar halaman yang kosong, masa berlaku masih sangat panjang dan tidak ada penggantian nama, seperti kasus-kasus paspor para TKI yang harus menyertai bin atau binti pada namanya. Penggantian pasporku dikarenakan fotoku pada paspor beda denganku sekarang, dalam arti masalah kerudung.
”Begini saja deh,mbak, tulis surat pernyataan saja mengapa mbak memohon penggantian paspor. Cukup tulis tangan saja dan tanda tangan di materai,” papar Bapak tersebut. ”Pasti kok Mbak dapat paspor baru. Toh, negara tidak dirugikan dengan penggantian paspor mbak, malah nambah uang kas negara,kan?”
”Baiklah, Pak. Terimakasih.”
Di luar ruangan, aku sudah ditunggu Pak Mujiono yang menolongku untuk mengurus paspor ini. Dengan hati was-was, aku takut sekali bila saat ini aku menemukan hambatan untuk mengganti paspor. Untunglah, ketika aku keluar dari ruang Bapak Kasubdikmas tersebut, seorang karyawati kantor imigrasi mengatakan ”bisa,kok, hanya perlu buat surat keterangan.” Lega sekali rasanya, apalagi ketika Pak Pur, orang yang seakan menjadi pintu solusiku mengatakan pasporku pasti jadi.
Uiihhh..lega sekali....apalagi kalau mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, ketika aku meminta kantor untuk mengurus penggantian paspor, dengan terus terang mereka sangat keberatan, karena menurut mereka biayanya sangatlah mahal, harus ada biaya penghapusan data di kantor imigrasi, belum lagi pajak dan bla-bla. Aku benar-benar putus harapan, malah sempat ada pikiran sombong menyeruak di benakku, berapa juta sih biayanya, akan aku ganti. Ditengah-tengah kepusingan itulah, suamiku menyodorkan satu nama untuk dihubungi, yaitu Pak Pur, dan kejadian diataslah yang akhirnya aku temui. Semua benar-benar aku koordinasi sendiri, dan biayanya tidak sebesar yang aku bayangkan maupun ucapan kantor.
Mengingat urutan kejadian itu seperti kejadian yang menguji kedewasaanku sesungguhnya. Semua berawal dari tawaran untuk berkunjung ke negeri Hitler lagi dalam bulan Maret dalam rangka workshop. Sebenarnya tawaran ini sendiri memberatkanku, satu sisi aku baru saja melahirkan, dan sisi lain, aku merasa kesempatan yang jarang terjadi dikantor. Nyatanya aku menyetujui, dan lebih nyata lagi, visaku ditolak, karena fotoku di paspor beda dengan foto yang aku ajukan untuk membuat visa. Dan tidaklah aneh, bila kemudian saran untuk melepas kerudung pada saat difoto sempat dilontarkan calo visa ataupun temanku, yang menurutku, itu ide tergila selama dua tahun aku mengenakan kerudung. Aku benar-benar sebal mendengar saran itu.
“Foto di studio yang pemotonya perempuan aja, Mel,” ujar mereka ketika aku mengatakan keberatan untuk foto tanpa kerudung. Mereka berpikir keberatanku karena aku harus buka kerudung di depan pria, yang notabene tukang foto. Padahal selain itu, keberatanku juga akan hasil foto, dalam arti kalau sekarang aku harus foto tanpa kerudung berarti aurat yang selama ini coba aku tutupi akan terlihat juga oleh orang lain melalui foto yang dihasilkan.
”Yah, abis gimana,ya, mbak, ketentuan dari kedutaan begitu. Bahwa foto yang ada di paspor harus sama dengan foto yang akan digunakan untuk mengurus visa,” sambung mereka.
“Nah, mas, gimana kalo aku kasih foto zaman dulu”
“tapi harus backgroundnya putih loh, mbak”
“iya, foto SMA,” jawabku sudah sekenanya
“Mbak, fotonyakan harus berwarna dan terbaru”
“Mas pikir kalo aku foto untuk visa mau, apa Mas bisa menjamin di bandara munich nanti, aku tidak bermasalah? Karena secara physically, aku beda”
“Nggak apa-apa, mbak, yang penting visanya keluar”
“Enak aja, aku tetap tidak mau. Kenapa sih gak coba dulu?” ujarku setengah beremosi.
Tiba-tiba saja aku merasa bicara dengan musuh beratku. Terlalu bodoh sekali solusi yang dia beri. Bagi aku, saat itu dia benar-benar hanya ingin menyelesaikan tugas calonya, bukan tugas untuk membantuku.
“Pokoknya, mbak, aku tunggu di kedutaan sebelum jam setengah 12, bawa foto tanpa jilbab,” ujarnya sok tegas. Ih…rasa jengkel makin memuncak memenuhi otak dan perasaanku.
Langsung aku sambar telepon rumah untuk menghubungi temanku, yang aku yakin sangat bisa diandalkan untuk berdiskusi tentang case ini. Berkali-kali temanku mencoba menenangkanku, yang aku yakin sekali suaraku sudah naik turun tak keruan. Dari hasil diskusi, temanku menyarankan untuk meminta surat keterangan dari kantor imigrasi tentang perubahan foto, dan setelah coba mengurus visa ke kedutaan. Hal itulah, yang akhirnya aku coba diskusikan pada kantor, bisa ditebak orang kantor yang mengurus paspor tak mau melakukan, dan menurut mereka, tidak mungkin mengurus visa kurang dari 10 hari. Itulah yang terjadi, toh ketika visaku tidak bisa diproses alias ditolak, aku tidak merasa kecewa sama sekali. Jerman bukan negara baru bagiku.
Selalu ada jalan, itulah pelajaran yang aku ambil dari kejadian ini. Aku merasa lega telah melewatinya, dan aku merasa lega karena Allah memudahkan semuanya untuk aku. Sampai-sampai komentar, “lepas aja jilbabnya,” dan komentar “gara-gara pakai jilbab, saya nggak bisa pergi, pak” yang terlontar dari orang yang sangat aku hormati bisa kutanggapi sambil lalu. Yang penting…aku lega…..

PS: Seperti tulisan diary ya…bingung, mau nulis cerita ini gimana,sih……

No comments: