Saturday, October 07, 2006

Ikhlas

Dear Meli, ternyata menjadi untuk benar-benar ikhlas itu susaaaaahhh bgt ya...., begitu sekelumit tulisan sms dari seorang sahabatku. Tanpa sadar aku mengangguk setuju. Aku jadi teringat kultum siang itu, ketika seorang mantan peragawati, Mbak Okky Asokawati, membeberkan tentang perjalanan hidupnya menuju ke arah 'muallaf', begitu istilah Mbak Okky. Istilah itu diambilnya, karena Beliau merasa sekali Islam yang dia anut dari kecil, bukanlah Islam seperti yang dirasakannya sekarang. DBAS, Dunia Bahagia Akhirat Surga, adalah target Beliau setelah mengenal Islam. Dengan target itu, Beliau mencoba melihat semua kejadian yang terjadi dari sisi hikmah, karena menurutnya manusia itu ciptaan Allah, sepertinya mesin cuci samsung, pasti ada kan manualnya, nah manualnya manusia itu, yaitu Al-Qur'an. Apapun yang terjadi, kita seharusnya mengacu pada buku manual tersebut, dan yang penting kita jaga agar DBAS kita jangan terampas. Pemikiran yang sederhana tapi sangat mengesankan buatku saat itu.
Jadilah, sepulang dari acara kultum siang itu, aku dan sahabatku, Tutut, itu membahas tentang kejadian yang akhir-akhir ini kami alami, yang sebagian besar tentang topikku saat itu, tentang kepasrahan yang tiba-tiba timbul dari diriku kepada Allah, dan merasakan lebih ringan menjalankan hidup. Kepasrahan itu sendiri muncul ketika aku begitu give up dengan semua angan-angan diotakku yang susah diraih, begitu lelahnya saat itu, begitu beratnya menahan luapan keinginan saat itu, dan begitu putus asanya aku saat itu. Kemudian, pertanyaan yang muncul dari benakku, mengapa aku tidak mencoba memaintain yang aku punya saat itu?...
Mulailah, aku memohon maaf atas segala dikteku padaNya, mulailah aku melepaskan keinginanku satu persatu, dan mulailah aku memohon padaNya untuk menjadi orang yang lebih sabar, bersyukur dan ikhlas.
Allah memang Maha Pemurah, tak sampai hitungan tahunan, aku mulai bisa menjadi sosok yang lebih tenang (begitu komentar salah seorang temanku), aku merasa menjadi orang yang lebih pasrah. Tetap semangat, tetap usaha, dan tetap berdoa, biarkan Allah yang mengatur segalanya.
"Tapi, Tut, kayaknya akhir-akhir ini gue merasa udah mulai berubah, deh. Ketika semua hasil tinggal hitungan dari Allah, gue seakan memaksa Allah untuk mempercepat semua proses. Sebel deh, ama diri gue! Betapa susahnya menjadi orang yang konsisten, tetap pasrah. Gue kadang bertanya bagaimana ya caranya menjadi seperti dulu lagi?"
"Mel, mungkin Allah ngatur semuanya."
"Iya, ya... I'll try deh," jawabku menutup pembicaraan. "Thanks, ya, Tut."
----
Dan malam ini, ketika aku membaca sms Tutut, membuatku merenung lagi, bahwa sesungguhnya setiap manusia itu punya cobaan. Kadang-kadang cobaan yang menimpa orang lain dalam pikiranku adalah hal yang ringan, tak seberat cobaanku. Kadang-kadang cobaan yang menimpa orang lain adalah hal yang mudah untuk diatasi buatku. Tapi, pernahkah aku berpikir bahwa cobaan yang diberikan padaku bisa jadi hal yang mudah juga untuk orang lain? Apakah pernah juga aku memikirkan sebagai orang lain ketika cobaanku datang, sehingga aku begitu mudahnya melewati semuanya? Atau pernahkah aku harusnya melihat bahwa semua keinginanku itulah yang mengubah sudut pandangku tentang cobaan? Karena cobaan yang sering ada adalah aku ingin, aku ingin, aku ingin... dan aku menganggapnya cobaan karena belum terwujud. Aihh.. jadi rancu sekali bukan? Manusia dan keinginan itu seperti sebuah kotak yang ditarik garis diagonal, begitu kata Aa Gym, artinya garis diagonal, yang merupakan simbol keinginan, itu akan terus melampaui kotak, bahkan ketika kotak (yaitu pengandaian untuk manusia) itu sudah tuntas. Agak horor membayangkan pengandaian itu, ketika aku menutup mata aku masih punya banyak keinginan, atau istilah orang, banyak maunya sampai mati. Padahal keinginan itu adalah hal yang lumrah, hal yang bisa membuat orang semangat, dan Islam mengakui itu, karena itu salah satu ilmunya lagi, kalau punya keinginan, mintalah kepada Allah, karena Dia yang Maha kaya, tapi tetap diringi pernyataan bila keinginan itu diridhoi-Mu, ya Allah. Mengimbangi apa yang kita mau dengan apa yang terbaik dari Allah-lah yang menurutku agak susah. Balik lagi, Ikhlas-lah rasa yang aku pandang perlu aku punyai. Indah, bukan, kalau kita punya keinginan dan tetap tahu batasannya kita sebagai manusia, yang cuma bisa meminta, dan Allah yang mengabulkan yang terbaik? Indah, bukan, ketika kita meminta, Allah yang memikirkan dampak kedepannya buat kita, tanpa kita repot-repot memikirkannya? Indah, bukan, dimanjakan Allah dengan cara terbaik? Seandainya, setiap hari akalku bisa diajak berpikir begitu...
Iya, Tut, semoga kita bisa menjadi manusia yang ikhlas. Amien.
Kutulis jawaban singkat untuk Tutut, jawaban yang sebenarnya doaku.

1 comment:

Silvi_Silvi2002 said...

Not easy mba...I agree...Agree to try even harder each day yaa!!! :-)