Monday, September 25, 2006

Mbak Ari

"Tahu, gak, Ki, jembatan penyeberangan busway di Landmark udah di benarin loh," celetuk Mbak Ari, Kakakku, di sela-sela perjalanan kami menuju jembatan yang ditujunya.
"Masa', Mbak?"
"Eh-eh, hanya gue gak tahu lagi yah kalau ada yang lepas lagi paku-pakunya," jawabnya ringan.
Aku mengernyitkan dahi tanda tak mengerti apa yang mereka bicarakan.
"Apaan, sih, Ki?" tanyaku penasaran.
"Biasa, Mbak. Kayak gak tahu Mbak Ari..." jawab Kiki singkat.
"Maksudnya?" tanyaku tambah penasaran.
"Itu, Mel, gue memberitahu trans jakarta, kalau jembatan di Landmark bolong-bolong," papar Mbak Ari singkat.
"Kok bisa?"
"Ya, bisalah... Tahu, gak, Mbak, pernah Mbak Ari telepon ke kantor gue cuma nanyain nomor pengaduan Trans Jakarta. Mana gue tahu"
"Terus?"
"Yah, gue telepon ke 108 aja. Gue ceritain kondisi jembatan penyeberangan di Landmark. Eh, benar tuh, paku-paku yang lepas di benarin."
"Rajin banget sih, loh, Mbak"
"Ih.. Elo tuh.. coba deh bayangin kalau Ibu-ibu hamil lewat, atau nenek-nenek yang kurang awas, bisa berbahaya... Lagipula orang di bagian pengaduannya tuh welcome kok ama pengaduan gue," jelas Mbak Ari panjang lebar. Aku hanya saling memandang ke arah Kiki, adikku.
Bukan hal aneh, kalau Kami menemui tingkah sosial Mbak kami satu ini. Tingkah yang sering mengundang protes dari kami berempat, bahkan dari Ibu. Tingkah yang menurut kami suka berlebihan. Tapi, toh, tetap Mbak Ari dengan tak acuhnya melakukan apa yang menurut dia benar.
Sampai-sampai, kami berempat menjuluki Mbak Ari dengan sebutan santa klaus. Tokoh dermawan di kisah-kisah natal, karena Mbak Ari sering terlihat sangat care dengan sekeliling. Mbak Ari sangat jarang membiarkan orang yang membutuhkan bantuannya pulang dengan tangan hampa, walaupun orang tersebut masuk golongan orang yang di complainnya. Bukan itu saja, beberapa tukang ojek, becak, kacang rebus pinggir jalan, juga tak pernah lupa dijamah kebaikkannya.
Satu contoh, beberapa bulan lalu, Mbak Ari selalu berangkat kerja jam 5.30 pagi, pulang jam 11 malam. Belum lagi ditambah waktu akhir pekan, dia habiskan untuk bekerja. Aku, yang kebetulan tinggal serumah dan sering mendapat protes dari Ibu karena tidak mengingatkannya, mencoba menanyakan sebanyak apa sih pekerjaannya. "Nggak, Mel.. gue cuma bantuin Pak Agus. Kasihan, Mel, Pak Agus belum punya anak buah, dan kerjaannya banyak," jawabnya singkat tanpa beban.
Mendengar jawabannya, aku tak berani bertanya apa-apa lagi. Jawaban itulah yang aku kemukakan ke Ibuku. Lagi-lagi Ibu merasa aneh, kok ada yah orang yang mau membantu kerjaan orang sampai-sampai mengorbankan waktu istirahatnya.
Cerita lainnya, Mbak Ari sering membeli berpak-pak amplop, tahu untuk apa? Mbak Ari lagi-lagi membantu tugas temannya untuk menulis komisi para marketing di amplop-amplop itu. Hebatnya lagi, Mbak Ari membeli, menulis dan mengantar amplop-amplop itu sendiri ke rumah temannya, yang seharusnya bertugas. Bukan temannya yang mengambil ke rumah kami.
"Mbak, elo gak ngeri di perbudak?" Suatu kali pertanyaan itu terlontar juga dari mulutku.
"Nggak mungkinlah... Emang mereka butuh gue bantu lagi. Elo gak boleh Su'udzon gitu, Mel," jawabnya tetap lurus.
Atau ketika suatu siang, Mbak Ari pernah menelpon Erna, adikku. Untuk dibuatkan surat gugatan cerai untuk temannya. "Tapi, Na, jangan di charge ya... Kasihan, dia gak punya uang."
Banyak lagi kisah-kisah Mbak Ari ini dan semua masih berkisar kepedulian dia. Makanya kami berempatpun tak aneh, kalau tiba-tiba, dia membawa sepatu, baju, kue-kue, ataupun souvenir-souvenir, bahkan uang, dari teman-temannya. Wong, dia sangat peduli. Kepeduliannya juga yang membuat seorang temannya yang super kaku, pelit, berbaik hati memberinya sesuatu. Temannya itu merasa dihargai dan tertolong oleh Mbak Ari.
Hebat... hanya kata itu yang pantas untuk Mbak Ari. Buat Mbak Ari juga, sepertinya tak ada hari tanggal tua di kamusnya, karena seringkali aku menjumpai dia bilang tak punya uang, besoknya membayari kami apa.
"Yah..ternyata masih banyak yang bolong-bolong ya..." ujar Mbak Ari ketika kami menyusuri jembatan penyeberangan Landmark.
"Udah, Mbak.. Telepon aja," ledek Kiki.
"Iya, nanti hari Senin, gue telepon lagi, deh"
Olala... Tingkah Mbakku ini seperti asisten pribadinya Sutiyoso saja. Hmm... Andaikan Sutiyoso punya asisten seperti ini..... Pasti banyak warga yang tertolong....

No comments: