Friday, May 30, 2008

Seputar tentang Helmy dan Dafi


HELMY

Anak pertama kami ini ajaib buat kami. Apa yang dulu membuat kami cemas, ternyata tidak terjadi. Contoh, dia sudah pandai membaca dengan lancar tanpa kami ajari (tapi guru SDnya yang mengajari..:)). Pancingan kami hanya meminta dia membaca setiap kata yang terpampang di sepanjang jalan umum. Nyatanya, dia bisa.
Hal lain yang membuat Nowo sangat takjub, dia hafal semua surat-surat pendek di juz'amma. "Bayangin, say, anak seumur dia.." dengan mata menerawang. Aku cuma tersenyum kecil (tentu dengan bangga juga), menurutku wajar, karena dia bersekolah di SD Islam Terpadu, yang notabene isinya agama dan pelajaran umum. "Aku dulu seumur dia, boro-boro bisa baca tulisan bahasa Arab," sambung suamiku. Iya, sih, seumur Helmy dulu, aku baru masuk TK, dan artinya belum bisa juga.
Suatu ketika...
"Bunda, ajarin Mas My buka internet dong," pintanya.
"Boleh. Emang Mas My mau lihat apa?" tanyaku.
"Kata Mr. Pram, di internet, Mas My bisa nemuin banyak gambar yang bagus," jawabnya. Helmy ini memang hobi sekali melukis dan bergabung di drawing club sekolahnya.
Setelah itu, aku ajari Helmy cara masuk ke dunia maya, tentu saja, dengan sedikit pengetahuan tentang apa sih internet itu. Helmy takjub melihat apa yang terpampang di depannya.
"Kok, bisa, ya, Bunda, orang masukkin semuanya ke server?" tanyanya. Helmy cukup familiar dengan istilah server, karena seringnya dia diajak ayahnya ke kantor.
Lain kali....
"Bunda, ini kartu bayaran Mas My," ujarnya sambil menyodorkan kartu bayaran sekolahnya.
"Iya, nanti ya... Bunda belum ambil uang," jawabku.
Dan...
"Mas My, ini bayarannya. Biar Bulik Ine yang bayarin, ya," ujarku.
"Kenapa, sih, harus Bulik Ine mulu.." rajuknya.
"Gak papa, sih, biar aman aja," jawabku
"Udah, Bunda, Mas My aja ya... Masa Mas My gak pernah bayaran sendiri," rajuknya lagi. Aku memandang Nowo di sebelahku, meminta pendapatnya. Nowo tersenyum seraya berkata,"o, Mas My mau bayaran sendiri ya... Ya udah.."
Melihat gelagat Helmy yang memang mau dianggap besar dan mulai diberi kepercayaan, aku akhirnya setuju. Aku ambil secarik kertas yang bertuliskan rincian pembayaran yang harus dilakukannya. Nyatanya, malamnya aku menemui kwitansi pembayaran lengkap dengan uang kembaliannya. Aku bangga.

DAFI

Dafi ingin selalu sama dengan Masnya. Gelagat yang aku lihat, kalau dia bertengkar dengan masnya, sekecil apapun, dia akan menangis. Padahal menurut laporan tetangga-tetangga kami, Dafi bukan anak yang cengeng. Makanya, kami suka bilang,"Gak sakit,kok, Dek.. Kenapa harus nangis.."
Kelebihan dia saat ini, Dafi mulai rajin bercerita dengan kata-kata yang harus kami rangkai sendiri di otak.
"Unda... AC nyala... mbung ama Bapak." (artinya: Bunda, AC nyala, itu karena disambung ama Bapak)
"Bapak siapa, Dek?" tanyaku.
"Bapak kang AC." (artinya: Bapak tukang AC)
Ceritanya yang lain ketika dia jatuh...
"Atuh di teta. Om Obet epon" (Artinya: jatuh waktu lihat kereta, pas Buliknya nerima telepon dari Om Robert). "Di ifa, unda. aek osotan. yunan. Dedek atuh." (artinya: di taman As-syifa. Naik perosotan, ayunan, dedek jatuh)
"O... sakit nggak, Dek?"
"Nggak, tuh." (nah, yang ini jelas..)
Cerita lainnya ketika aku pulang kerja...
"Mama Cucu ini, uyang, ili.." (artinya : Mama Ucu kesini, terus pulang sendiri)
"Dedek egi ama Om Mi aek asi, ama Mama, ama Bapak," (artinya: Dedek tadi pergi sama Om Helmy sama bapak sama mama naik taksi)
"Kemana?"
"Akan oto." (artinya: makan soto)
Begitulah....
Rumah ramai karena mereka. Bahkan kami sangat menikmati tidur bersama di kamar Helmy.
Jadi kangen..:)

No comments: