Tuesday, January 25, 2005

Lelakiku

Lelakiku tadi pagi bertanya...
Masihkah hatiku untuknya?

Lelakiku kemarin malam datang...
Membawa sebuket mawar...
Masih bisakah hatiku memafkannya?

Lelakiku tak akan pernah lagi bertanya...
Senyumku sudah cukup baginya
Masihkah kau ragu padaku?

Monday, January 24, 2005

Dasar...

Senin pagi. Hujan dari malam, dan bisa ditebak bagaimana rupa jalanan... macet...dimana-mana air tergenang. Alhamdulillah sekali, aku masih bisa santai di dalam mobil yang dikendarai suami dengan ditemani dialog interaktif di ramako fm. Bahasan pagi ini masih tentang bencana tsunami di Aceh. Masih ada rasa ngilu, iba dan geram di hatiku ketika pembahasan tentang sumbangan untuk para korban dimulai. bagaimana tidak, kejadian 26 Desember itu, tepatnya hampir sebulan itu, masih seputar tentang sumbangan yang tidak merata ataupun sampai turis-turis bencana, begitu istilah dari mereka.
Sampai-sampai suamiku yang sedang sabar-sabarnya menyetir sempat komentar, seharusnya sumbangan itu dikoordinir perdaerah, katanya. Mulailah debat diantara kami mulai, dari analisaku tentang kemungkinan seharusnya Departemen Sosial harus lebih berperan, sampai akhirnya timbul pertanyaan dari suamiku, memang masih ada DepSos?
aku dengan percaya dirinya mengiyakan, padahal seperti biasanya, kalau aku ditanya balik, ketidakpercayaan diriku tentang sesuatu mulai luntur.
Ujung-ujungnya pembahasan kami ke tetangga kami yang baru balik dari Aceh untuk menyerahkan bantuan dari kantornya. Suamiku sempat bertemu dengannya sepulang sholat Jumat, Idul adha kemarin, dan dari ceritanya, suami bilang dia keliling untuk lihat kondisi, dan sempat melihat gedung berlantai 15, hanya tersisa dua lantai teratas. Disana-sini masih banyak jenasah yang belum terangkat. Belum lagi tentang pembakaran puing-puing, yang kadang jenasah yang tertindih dan susah dievakuasi ikut pula.
"Yah, itu yang saya tidak suka,say, begitu kata suami, orang hanya datang menyerahkan bantuan tidak sekalian jadi relawan. Karena melihat medan yang begitu berat, seharusnya mereka sudah siap tempur dari Jakarta. Kayak teman saya dikantor, dia ke Aceh menyerahkan bantuan, eh.. sempat-sempatnya berfoto diantara puing-puing, pakai kacamata hitam lagi. Mungkin ini ya yang disebut turis bencana."
Tapi memang dasar manusia, kami hanya bisa menilai orang lain, mengkritik para relawan yang belum menyiapkan diri untuk siap tempur, malah menyusahkan... padahal apa yang kami perbuat? Pertanyaan itulah yang kemudian timbul diantara percakapan kami, mereka mungkin malah lebih baik dari kami, yang hanya bisa menonton berita tentang Aceh, mengelus dada, menitikkan airmata, dan hanya memberikan bantuan yang tak sebanyak perjuangan para relawan. Kami sempat termenung dan malu. Astagfirullah... Bantulah saudara-saudara kami di Aceh, ya Allah... Kuatkan bathin dan bantu mereka untuk bangkit. Amien...

"Allah tak pernah memberi cobaan yang kita tak bisa memikulnya"

Tuesday, January 18, 2005

Doa

Siapakah yang tak pernah meminta? Pasti sulit menemukan jawabannya. Tak ada orang sepertinya yang tak pernah meminta, baik kepada orang tua, suami, teman ataupun pada Yang Pencipta. Nah, permintaan atau bahasa halusnya disebut permohonan kepada Sang Pencipta inilah yang sering kita sebut doa.
Kadang buat saya, doa seperti peletup semangat yang bisa tiba-tiba muncul disela-sela kebosanan, atau bisa jadi pelega hati ketika sedang dirundu duka, atau bisa jadi malah semacam rutinitas tanpa saya bisa yakin kalau doa saya akan terkabul. Tapi memang begitulah manusia, terutama saya, yang kadang merasa begitu pasrah dalam doa, namun seringkali merasa bosan dengan doa. Yah, bagaimana tidak bosan, kalau doa-doa yang dipanjatkan hanya berisi permintaan yang sama, yang hari demi hari dipanjatkan tanpa melibatkan hati, hanya lafal saja. Dan herannya, sebagaimana bosannya saya melafalkan doa, tetap rutinitas itu saya lakukan. Karena bagi saya, dalam keadaan 'sadar' ataupun tidak 'sadar', saya yakin sekali Allah masih mau mendengar doa saya. Allah tak akan pernah bosan mendengar doa saya, walaupun isi doa saya tak berisi kalimat-kalimat permohonan agar saya lebih dekat padaNya, yang ada hanya isi keluhan-keluhan saya agar mendapatkan kehidupan (tentunya duniawi!) lebih baik dari saya, dapat pekerjaan lebih baik dari sekarang, dan dipermudahkan segala urusan.
Itu selalu yang saya lafalkan....
Sampai suatu ketika dibulan Ramadhan yang suci, ketika saya sholat taraweh berjamaah dengan suami, suami saya melafalkan satu doa dalam bahasa Arab, yang saya reka-reka artinya apa. Untuk memastikan artinya, seusai sholat, saya sempatkan bertanya pada suami tentang arti doanya. Seingat saya, suami cukup gamblang menjelaskan arti doa tersebut, dan dengan bimbingannya, saya coba untuk menghafalkan. Tapi, mungkin karena dosa saya yang sudah terlampau banyak, lafalan doa dari suami tercinta tak pernah dapat kuhafalkan. Akhirnya, suami memberikan clue, cukup dengan memohon kebaikan dunia akhirat, Insya Allah urusan kita terlampaui untuk dunia dan akhirat, begitu jelasnya.
Sejak itu, doa yang saya panjatkan berubah, untuk orang-orang terdekat, saya selalu memohon kebaikan dunia dan akhirat, dan untuk saya, selain lafal itu, masih saya tambahkan keinginan-keinginan saya.
Itulah yang saya sebut doa rutinitas selanjutnya... hampir setiap saat ketika saya sholat, doa itulah yang menyertai saya. Membuat saya semakin hari semakin ringan mengucapkan, dan kadang menimbulkan keputus-asaan ketika keinginan saya, yang saya adukan padaNya, tak terwujud.
Toh, saya tetap berusaha 'sadar', kadang sesuatu yang menurut kita baik, belum tentu sepenuhnya baik buat kita. Selain itu, saya coba mulai mencari tahu apa faktor yang menentukan doa itu dikabulkan, salah satunya yang saya dapat dari sahabat sekaligus guru bagi saya, dia sempat mengatakan sambil lalu, bahwa makanan juga menentukan faktor doa kita dikabulkan atau tidak. Terus terang ucapannya yang sambil lalu itu membekas di hati saya. Saya merasa harus bebenah diri. Saya merasa harus lebih mawas tentang makanan. Saya mencoba sedikit demi sedikit.
Namun 'ketidaksadaran' tetap menghantui saya, saya kembali putus asa dan bosan dengan doa saya. Untungnya, disaat-saat itulah saya coba beralih ke hal-hal lain, yang bisa menghapuskan sementara memori saya tentang harapan yang berlebih.
Puncaknya, ketika saya mengikuti sebuah tausiyah, bahwa Allah selalu senang pada hambaNya yang selalu memohon untuk segala urusannya, kita tinggal berdoa, dan urusan kabulnya itu urusan Allah. Allah mungkin belum atau tidak mengabulkan sekarang didunia, tapi mungkin di akhirat. Plong, rasanya hati saya... Mungkin inilah jalan dari Allah, agar saya tidak terlalu membangun harapan semakin tinggi setiap hari, cukup berdoa, berusaha, dan hasilnya hanya Allah yang menentukan...

"Doa adalah sumsum ibadah" (Hadist)

PS: Hasil Tausiyah by Ust. Diauddin

Monday, January 17, 2005

Matamu

Matamu itu,nak...
seperti bola bening
yang tak berhenti bergerak
seakan-akan ingin menunjukkan
saya tahu ini
saya ingin itu
saya bisa!

matamu itu,nak...
suka berair
ketika keinginanmu tak terpenuhi
ketika kamu dipaksa untuk melakukan sesuatu
yang kamu tahu kamu benci untuk melakukannya

matamu itu,nak...
kadang membuat bunda trenyuh
membuat terharu....
tapi bunda terpaksa
karena kamu anak masa depan
yang harus bisa mentolerir
atau memperbaiki
apa yang tak kamu suka
menjadi suatu hal yang biasa

Dimatamu itu,nak....
Bunda berharap
hatimu...
hidupmu...
akan sebening matamu ...
jangan pernah polusi dunia
memperkeruh matamu,nak...

PS: for my lovely Son, Helmy Aufa Akbar Seto

Thursday, January 06, 2005

Berat badan

Kata satu ini sepertinya kata kunci untuk para wanita. Bayangkan saja, gara-gara kata ini saya bisa bercakap panjang lebar dengan tetangga, yang notabene ibu beranak satu juga seperti saya. Padahal, seumur-umur saya jarang bisa bicara panjang lebar dengan yang namanya tetangga, sebatas kata 'halo' atau 'darimana,bu' atau yang paling panjang 'udah lama gak kelihatan'.Dan dengan si ibu satu ini, saya sempat basa-basi menanyakan resep kurus beliau. Jadilah, yang namanya wanita, mau diperhatikan siapapun, tetap suka...... dengan bangganya, dia memaparkan resepnya, dari suntik akupunktur dengan dokter kenamaan di sekitar wilayah kami, senam yang seminggu tiga kali sampai-sampai resep makan yang jitu agar lebih langsing.Saat itu saya manggut-manggut sambil sesekali menambahkan beberapa dampak dari giat berolahraga. Dan bisa ditebak dong, dengan mata yang makin berbinar, si ibu mengiyakan komentar saya dan menceritakan efeknya pada saya. Ajaib memang. Tapi itulah fenomena yang terjadi diantara para wanita, termasuk saya. Saya sempat kecanduan menurunkan berat badan dengan semangat. Awalnya, waktu saya dinyatakan hamil yang kedua. Otomatis, kunjungan ke dokter kandungan harus kembali dilakukan. Saat itu, betapa kagetnya saya waktu mengamati angka di timbangan digital rumah sakit. Bayangkan, 62 kilo. Berat itu lebih besar daripada berat sesudah saya melahirkan anak pertama. Jelas saat itu sudah sangat telat untuk menurunkan... wong sedang hamil. Sudahlah, saya pasrah dengan keadaan itu, yang penting anak saya sehat dan normal. Dilalahnya, ketika kandungan menginjak usia 8 minggu, saya keguguran. Langsung besoknya, saya perintahkan pembantu saya untuk menyediakan makanan rebus khusus untuk saya. Labu siam rebus, tahu rebus, tempe rebus, sampai kentang rebus. Menu ini hanya bertahan 1 minggu... terus terang, bosan!!... dan ujung-ujungnya si labu siam rebus ini saya jadikan sebagai camilan di kantor.
Selain makanan, saya benar-benar ngubek artikel tentang cara langsing, disitulah saya mulai beraksi.... Saya bisa dengan tabah mengatakan 'no' pada makanan bertepung (seperti gorengan), coklat, kue-kue berlemak dan makanan weekend keluarga kami (untuk satu ini, saya hanya minum air mineral, kalau suami dan anak pergi ke restoran fast food), belum lagi ditambah berolah raga setiap malam. Hebat,kan?... kalau ingat itu, terus terang berat untuk mengulangi lagi. Alhasil, dalam waktu 6 bulan, saya bisa mengurangi berat 10 kilo.Bangga memang, apalagi bila bertemu teman kuliah, mereka dengan irinya memandang saya. Karena saya satu-satunya yang sudah mempunyai anak, dan badan saya masih seperti jaman kuliah dulu. Layaknya, atlet yang menang di olympiade, saya dengan sumringahnya membagi resep dan bersedia mengkopi VCD senam saya untuk mereka. Tentu saja kesumringahan saya masih saya coba tutupi dengan kata-kata yang bernada rendah hati.Tapi itulah wanita... selalu ingin tampak indah di hadapan orang lain. Rela mengeluarkan uang berapapun untuk mewujudkannya. Seperti teman saya, yang lumayan borju, dia langsung menyewa personal trainer, untuk memandu dia mengolah tubuh. Kalau ditanya biayanya, uiihhh.. terus terang melebihi uang susu anak saya. Lalu ada juga, salah seorang teman saya, yang ikut program pelangsingan seperti layaknya para selebriti. Dan biayanya, makin membuat saya ternganga. Untungnya, dengan biaya yang tak besar, saya termasukbyang paling berhasil.
Seharusnya usaha untuk terus berolahraga dan menjaga makanan tak boleh berhenti begitu saja, saat ini berat badan saya mulai menunjukkan angka 53 kg. Saya mulai cemas tapi malas untuk mengulangi program yang dulu. Waktu saya mengutarakan ini diantara teman-teman wanita, ternyata mereka juga sedang ingin menurunkan berat badan karena mau hamil lagi. Jadi menurut teori kami, kalau berat badan kami lebih kecil dari sekarang, dan hamil, tentu lebih mudah menurunkan setelahnya, bukankah demikian?
Dari diskusi kami itulah, saya jadi ingat lagi bahwa berat badan untuk para wanita bisa menjadi hal yang sensitif, seperti teman kuliah saya, yang bisa lebih marah karena dibilang lengannya besar, atau tubuhnya besar daripada diejek dengan kemampuan otaknya, atau bila disebut, 'otak kamu seperti komputer XT'. Dan waktu saya ceritakan ke teman-teman wanita saya, mereka sempat komentar 'jangan-jangan teman kamu tidak tahu komputer XT' terus terang untuk satu ini saya tidak yakin... tapi begitulah....

NB: coretan iseng, yang niatnya mau dikirim ke gado-gado femina

Wednesday, January 05, 2005

Impian

Waktu kecil, saya punya segudang mimpi...
jadi foto model...
jadi penyanyi...
bahkan jadi penyair sehebat Khalil Gibran

Waktu dewasa, saya masih punya mimpi
jadi penyair..
atau penulis...
yang karyanya dibaca semua orang

Saat ini...
jadi penyair atau penulis
hanya mimpi diantara rimbunan kesibukan
hanya sempat sekilas terbersit di pikiran
kala saya membaca syarat sayembara menulis
itupun...masih dipikiran!!...
apalagi jadi foto model
modal sangat jauh dipunya...
atau jadi penyanyi....
suarapun tak indah didengar.....

Tetap...
impian harus ada...
kadang itu yang membuat saya semangat untuk hidup.....

Jakarta, 5 Januari 2005