Tuesday, August 15, 2006

comfort zone



Beberapa minggu yang lalu, aku sempat melakukan gebrakan untuk menghilangkan rasa takutku yang lumayan tinggi, yaitu berparasailing di Bali. Awalnya, dengan tekad yang lumayan kuat, aku benar-benar tidak akan mencoba satupun permainan di Benoa. Jadilah ketika pembagian tiket permainan, aku ikut sibuk dengan membagikan tiket-tiketku ke teman-temanku. Niat tinggallah niat, beberapa menit kemudian, aku mengalami godaan yang sangat besar untuk mencoba permainan itu. "Kalau kamu sudah begitu, berarti 60% kamu ingin sekali mencoba," kata bos besarku mengimbangi keraguan dan keinginanku. Singkat cerita, dengan setengah pemaksaan dan setengah keinginan, terbanglah aku ke angkasa dengan ditarik motorboat. Asyik. Segar. Indah. Hanya sedikit menakutkan. Yang terpenting, aku benar-benar menikmati.
"Wah, Mbak Meli sudah berhasil keluar dari comfort zone!" teriak seorang temanku. Aku menyeringai mendengarnya. Aihh, seperti inikah rasanya keluar dari comfort zone? atau temanku yang terlalu mendramatisir?
Kalau dilihat istilahnya, comfort zone itu adalah daerah dimana kita merasa sangat nyaman. Bisa menjadi diri sendiri. Karena itulah, banyak orang yang berpikir lebih dari dua kali untuk melangkah barang setapak dari daerah itu. Siapa, sih, orang yang dengan ikhlas, tanpa pemikiran ulang, mau mempertaruhkan suatu kenyamanan? Aku contohnya perlu pemikiran satu, dua bahkan puluhan kali untuk melakukan itu. Tapi sejalannya dengan waktu, aku banyak mendapatkan beberapa petuah, entah dari radio, buku, majalah, bahwa comfort zone kadang merupakan suatu daerah yang kurang tantangan, kemungkinan untuk melangkah maju jauh, aku semakin merasa harus mulai bergerak dan mulai mengagumi orang-orang yang melakukan gebrakan. Contoh kasus, seorang temanku, Amel, dengan gagah beraninya melangkah jauh dari comfort zone alias kantor kami yang sangat nyaman plus sebuah posisi untuknya. Tentu saja, omongan miring berkeliaran di telinganya bahkan akhirnya jatuh ke telingaku, yaitu apa motif Amel meninggalkan kantor?... Wadduh! aku sendiri tidak punya jawaban untuk dijabarkan pada banyak orang, yang aku tahu, temanku ini bersedia mundur satu step untuk meraih beberapa step ke depan, hebat, bukan? Contoh lain, Pak Suluh, senior manager di kantorku. Ketika perpisahannya, aku sempat menanyakan apa yang membuat dia untuk resign dan mengambil resiko di perusahaan yang baru dia rintis? Sekali lagi, jawaban keluar dari comfort zone-lah yang terdengar.
Untunglah, ketika mereka menyampaikan alasan mereka, aku sudah paham comfort zone. Aku cukup angkat jempol untuk mereka. Merekalah para risk-taker, berani menantang challenge untuk sesuatu yang tentunya lebih baik.

Menantang comfort zone bukan hanya otoritas orang dewasa, ini bisa terjadi pada beberapa usia, seperti yang terjadi pada Helmy, anakku. Mungkin Helmy belum tahu tentang zona ini, yang dia tahu bahwa dia sudah berani kembali mengelilingi kolam renang dewasa, dan teriakan dari tengah kolam renang seakan pertanda kebebasannya,"Bunda, Mas Helmy sudah berani!"
Aiih... pasti ada rasa kebebasan yang memenuhi dadanya saat itu. Melangkah dari pojokkan nyamannya, melangkah ke tengah kolam dengan didampingi, hingga akhirnya berenang sendiri adalah hal yang dilakukannya.
Tapi dari semua contoh itu, ada beberapa orang yang benar-benar belum berani keluar dari area yang nyaman ini. Sah-sah saja sebenarnya, setiap orang berhak untuk tetap tenang, bergerak ataupun berlari dari comfort zone, karena setiap tindakan ada risikonya, bukan? Terus terang, aku memilih melangkah dari comfort zone, walau usia bisa dibilang tidak muda lagi... Sah juga,kan?...

1 comment:

Anonymous said...

go for it Mbak Mel... :) hidup itu harus selalu punya tantangan kan... biar lbh berwarna kalo kata orang2... hihihi...