Thursday, May 19, 2005

Saling berbagi

"Memang kamu beli nomor disana?" tanyaku dengan nada heran ke arah temanku, yang baru saja pulang dari Munich untuk menjalani program trainingnya selama sebulan. "Nggak, Mel, aku dapat pinjaman dari Opi," sahutnya. Aku hanya ber'oo panjang. "Itulah gunanya baik ke semua orang," lanjutnya. Aku mengiyakan ucapannya yang terus terang pasti disetujui oleh semua orang.
Semua orang? Aku jadi ingat tidak semua orang akan menyetujui perkataannya, mungkin termasuk aku. Baik kepada semua orang, baik yang berkepentingan ataupun tidak kepada kita, merupakan sebuah paradoks tersendiri, terutama untuk orang-orang egois. Aku mungkin salah satunya, menilai orang, bersikap pada orang selalu memikirkan baik-buruknya, dekat-tidaknya ataupun untung-ruginya untuk diriku. Bila aku merasa tak pernah mungkin bersinggungan dengan orang tersebut, jangan harap aku akan bersikap baik padanya, cukup sekedar basa-basi, sebatas pergaulan saja. Bahkan, bila aku merasa perasaan yang tidak enak pada seseorang pertama kali bertemu, sikap antipati akan aku pasangkan didiriku. Tak pernah aku mencoba mencari apa yang tidak aku suka pada orang tersebut dengan mengenalnya lebih dulu.
Padahal, pepatah tak kenal maka tak sayang, sangat-sangat banyak contoh kebenarannya di depanku. Itulah aku dulu... Dan di babakku selanjutnya, aku dihadapkan pada situasi di negeri asing, yang hanya berisi segelintir orang yang berbahasa sama denganku disamping penduduk sana. Aku ditempatkan pada posisi yang sesungguhnya sangat nyaman, yaitu dikelilingi oleh orang-orang yang siap membantu walaupun baru pertama kali kenal denganku. Bukan itu saja, aku dibiarkan juga bersama teman kuliahku, yang dulu jarang sekali kami bersosialisasi, bahkan ketika dia bekerja di kantor yang sama denganku, pertama kali perkataan yang keluar dari mulutku ketika dia menegurku adalah, "nama kamu siapa,ya?"
Ajaibnya, ternyata di negeri asing itu, kami bisa saling berbagi, aku menumpang mencuci pakaian di tempatnya, aku berbagi Yoghurt, bahkan pada teman yang lainnya, dengan mudahnya aku bisa meninggalkan sarung tangan kulitku untuknya pada winter, ataupun rice cooker kecilku untuk teman yang baru pertama kali berjumpa.
Aku merasa ringan saat itu. Berbagi dan berbagi menjadi semacam kebutuhan bagi kami, yang mungkin bila berada di tanah air tak berpikir untuk itu. Satu keharuan yang juga terjadi saat itu, ketika teman kami yang non-muslim mengundang kami berbuka puasa di flatnya dengan menu lontong sayur, di saat itulah, dia memberikan bingkisan padaku sebagai kado pernikahan untukku. Dengan mata berkaca-kaca, aku hanya mampu mengucapkan terima kasih pada semua temanku.
Berbagi, kebersamaan sesungguhnya hal yang terindah. Hanya saja, banyak waktu yang kita habiskan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, yang kata para Eksekutif waktu 24 jam terasa kurang untuknya. Aku benar-benar bersyukur pernah mendapatkan pelajaran tentang kebersamaan di salah satu babak hidupku. Dari sanalah, aku mengerti bahwa kebersamaan dan berbagi tak akan menghabiskan waktu lama, cukup saling bertegur sapa, membagi apa yang bisa kita bagi, melengkapi apa yang kita bisa. Malah kadang hubungan seperti itulah yang bisa memperpendek waktu urusan kita, dan yang paling penting, kita tak pernah bisa menduga pula someday we really need them, seperti cerita temanku diatas.

1 comment:

Gawtama said...

ah, ternyata udah banyak isinya blog ini... bagus2 pula...

salam kenal dari Gaw