Monday, July 30, 2007

Hantu dan TINEM

Buat Prolog:
TINEM itu ajang uji kreativitas para vendor yang dituangkan dalam bentuk request for proposal. TINEM sendiri menurut ceritanya berbentuk dari kata Telkomsel Infrastructure Network Evaluation Management (kalau tidak salah begitu..). Nah, sebagai kaum dari network operator (Telkomsel-red), aku dimasukkan di tim. Yah, nggak di Siemens, gak disini masih saja ketemu yang namanya TINEM. Nasib...nasib...

Kala penyusunan.

"Mel, besok bawa baju ya," ujar Panca, teman kantorku yang hampir menjadi Bosku.
"Untuk?"
"Untuk ke puncaklah, kita kan mau nyusun TINEM"
"Oke"
Dalam hati, sih, kok ya mendadak banget sih. Tapi sudahlah....

Besoknya.
"Mel, kita ditunggu bis."
"Trus?"
"Nah, itu.. Perlu gak ya kita ikutan? Nama kita kan gak ada di Nodin (Nota Dinas-red)"
"Eh, gimana kalau elo sms-in Pak Dedi (my GM-red). Tanyain kita butuh pergi, gak? Masalahnya, gw lagi meeting 3G aplikasi, nih"
"Oke"
Tak lama.
"Mel, kita disuruh pergi"
"Oke, I'll go"

Melesat ke tempat kejadian.
"Mbak Meli tidur sendiri, ya"
Aku masih mengangguk pe-de. Biasa, di beberapa kejadian selalu aku jadi cewek sendirian di team. Ingat banget deh, waktu workshop di Bandung, berhubung aku cewek sendiri, mereka sok toleransi balik ke hotel seabis makan malam, dan setelah memastikan aku masuk ke kamar, mereka lanjut gaul malam. Pas paginya, jam 7, aku telponin kamar mereka satu persatu, belum ada yang sadar. Malas, kan, aku harus sarapan sendiri. Jadilah cewek korban ini, menghabiskan pagi panjang di kamar tidur.

Meeting break, jam 6.30 sore.
"Abis makan, kita ngumpul lagi jam 8, ya."
"On time?" celetukku
"Iya, on time," komando Pak Malemta, yang paling dituakan di tim core, karena yang lebih tua tidak bisa hadir.

Jam 8.
Mau mulai miting jam berapa?SMS ku ke nomornya Panca. Maklum aku sudah wangi dan siap di lobby ruang meeting dengan manisnya.
Jam 8. Kamu dimana?
Di depan ruang miting
Oke, aku kesana ya


Jam 8.30
Baru mulai meeting.

Jam 12.00
Meeting selesai dengan kelelahan menahan kantuk dan menyimak perdebatan yang makin panjang.
"Eh, elo tau, gak, semalam kan gw udah tidur disini. Terus, gw dapat kamar pojok. Lampunya tiba-tiba mati. Trus, gw tolak pinggang aja, gw bilang, iseng amat sih, ganggu gw." Pak Malemta mulai bercerita.
"Ya...Pak Malem, saya kan tidur sendiri," teriakku langsung. Di luar memang gelap banget, belum lagi suasananya, mana lampunya irit. Mungkin maksudnya biar romantis kali', secara dingin dan gelap ya....
"Loh, sekarang kan belum malam Jumat. Besok tuh baru takut. Atau ada yang mau nemeni?" jawab Pak Malem iseng.
"Mel, aku anterin kamu ke kamar deh... Tapi temenin aku juga dong," ujar Panca berbaik hati tapi juga minta baik hatinya yang lain.
"Elo takut, Nca?"
"Iya"
"Wah, elo aja takut.. apalagi gw ya"
Kamarku berada di area lain dari tempat meeting. Harus jalan menanjak, turun, dan jalanannya gelap lagi, baru masuk ke area kamarku.
Sesampainya di areaku, meeting tim radio masih berlanjut. Untuk mengurangi rasa takut, aku masuk ke ruang meeting itu. Mengamati mereka. Capek juga sih, terpaksa deh ke kamar. Sempat nanya kamar para sekretaris, siapa tau mau berbagi denganku, tapi gak ada yang tau kamar mereka.
Sampai kamar, buka laptop, browsing sampai ngantuk. Alhamdulillahnya, tim lain meetingnya sampai pagi (kayaknya) dan suaranya bising, jadi lumayan menghilangkan rasa takut.

Besoknya.
Pas sarapan.
"Di Lembayung kan emang serem, apalagi kamar yang pojok," cerita Pak Ari.
Wadduh, aku kan tidur sendiri dan di Lembayung.

Malamnya.
Jam 12.00. Meeting terakhir usai.
Seperti biasa, diantar Panca dan Agus ke kamar.
Malam ini, meetignya orang radio dan bisnis sudah beres. Masuk kamar berasa sepi. Buka laptop lagi saja deh sambil nge-blog.
Malam kedua sukses. Tanpa apa-apa.

Paginya.
Pas pulang bersama Panca dan Ronaldo. Obrolan Panca seputar makhluk halus, dan konon dia bisa melihat. Tempat yang dia tahu ada yaitu di meeting room, di depan meeting room (pantas, selama 2 malam, aku sms dia pas aku nunggu di depan ruang meeting, dia langsung nongol), di toilet yang bawah tangga (wadduh, itu tempat langgananku pas nghabisin bercangkir-cangkir kopi item. Untung udah pulang tahunya..).

Karantina kedua, di Bandung. Bisa lolos, gak ikut, karena ke Lampung.

Karantina ketiga, penyusunan kriteria penilaian, di puncak lagi. Lain tempat.
Untunglah, ada satu sekretaris saja, jadi kami berbagi kamar. Tinggal di cottages, dalam arti satu rumah beramai-ramai.
Berangkat kesana setelah Maghrib, bersama Panca. Berkali-kali dia ngerem mendadak, dan membunyikan klakson, padahal jalanan kosong.
Jadilah aku yang tadinya memancing pembicaraan, hanya terdiam kaku, dan kata yang keluar hanya,"liat apa, Nca?"
"Ada yang mau nyeberang"
Nyasar pula, Panca putar balik mobilnya. "Nca, serem juga ya jalan ama elo"
"Kenapa?"
"Yah, gitu... karena gw sudah tahu elo bisa lihat, jadinya aneh aja ngelihat elo ngklakson"
"Pantes.. diam dari tadi"

Setelah makan malam.
Pembagian kamar. Panca bersikeras tidak mau tidur sendiri. Padahal Cottage kami sudah penuh, dan cottage lain tidak ada yang menghuni.

Paginya.
"Di kamarku ada penunggunya, gede dan seram" cerita Panca. "Tahu gak bedanya makhluk halus sama biasa?"
Aku dan Deskha menggeleng.
"Aku pernah ada di suatu tempat, nah bulu kudukku berdiri. Padahal rame banget, aku amati satu-satu, nah pas lihat satu orang, aku baru ngerti itu bedanya makhluk halus ama manusia."
"Apa, tuh?" Pikiranku langsung menerawang ke film-film horor.
"Tidak ada garis ini," jawabnya sambil menunjuk bawah hidungnya. Garis antara hidung dan bibir. Ih.......

Malamnya. Jam 11 malam.
Aku balik ke Jakarta. Lagi-lagi bersama Panca dan Indra. Sebelum pulang, dia sempat wanti-wanti agar Ronaldo tidur bersama Agus, jangan di kamar yang dia tempati. Kamar lantai bawah, sebelahan kamar tidurku dan Deskha. Deskha bertekad gabung cowok buat tidur.
Sesampai di parkiran mobil.
"Emang hantunya iseng, Nca?" tanyaku.
"Yah, kalo sendirian, pasti diliatin sih," jawab Panca. "Wong Pak Bro aja pas aku ceritain tidur di tempat yang nanjak, dia bilang, bukannya cottage yang itu yang paling serem."
Uiiihhhhh.....
Sepanjang jalan, Panca tetap dengan kebiasaannya. Mengerem, membunyikan klakson, dan untungnya, dia tidak berkata-kata," Mel, kirian dikit" Aku memang memilih tempat belakang, biar bisa tidur dengan puas. Tapi mengingat ke'bisa'an temanku ini, kantukku hilang, Zikir dan tasbih mewarnai hatiku.
Sampai dengan selamat di wisma mulia dalam waktu 45 menit.

Paginya dikantor.
Agus datang jam 10.
"Jeng, untung pulang duluan."
"Loh, ada apa?"
"Semalam si Niko ama Mas Wawan diganggu. Akhirnya kita tidur rame-rame di bawah"
"Gimana ceritanya?"
"Mas Wawan cerita seram. Nah, pas mereka siap-siap tidur, tiba-tiba kran air di kamar mandi ada yang buka. Ama Mas Wawan dimatiin. Pas mereka mau tidur lagi, Krannya dibuka lagi... Jadilah mereka ngibrit ke bawah"
"Aku senangnya, jadi rame deh ruang bawah, aku bisa tidur dengan nyenyak," sambung Ronaldo.
Aku hanya nyengir. Gak bisa membayangkan lagi.
Sambil berharap, semoga karantina selanjutnya jangan ditempat yang spooky.

1 comment:

Anonymous said...

Pantesan calon bos elo ga pernah ke M..Ga usah jauh-jauh ke Puncak, disini kan juga ada, CAM-shift malam..

Hihihihi