Thursday, May 31, 2007

Bekerja atau Tidak Bekerja?

Masa SMP

"Nanti kalo besar nanti, Mel pengen jadi tukang jahit di Jawa aja ah... Yang kerja di Jakarta biar suami aja," celetukku dulu ketika aku baru memasuki dunia SMP. Ibuku yang notabene berkarir di luar rumah tersenyum-senyum mendengar celetukkanku.
"Yakin?" Tanya Bulikku.
"Iya.. Tinggal di Jawa kan murah, nggak kayak di sini," ujarku.
"Kata siapa?"
"Kata Ibu," ucapku memandang Ibu yang cuma menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkahku.

Masa SMA
"Kamu mau ambil jurusan apa, Nduk?"
"A3 aja ah, Pak"
"Hah?! Jangan... A1 aja, sayang matematikamu," sahut Bapak. Kemudian dengan panjang lebar, Ibu dan Bapak memberikan ulasan kalau A1 itu gampang ambil jurusan kuliah apapun.
"Tapi, Mel kan pengen jadi wartawan"
"Yakin?" Tanya Ibu. "Kepikir gak kalau kamu akan sering meninggalkan keluarga pas meliput keluarga. Kasihan kan anak-anak kamu."
Aku merengut. Toh, tetap ambil A1, karena anak-anak A1 keren-keren dan aku malas kalau disuruh ambil A2.

Masa Kuliah

"Pokoknya, selesai kuliah ini, gw gak mau lama-lama kerja di telekomunikasi ah... malas kerja di bidang teknik. Kuliahnya aja pusing, apalagi kerja. Abis gitu, gw ambil kuliah jurnalistik. Nah, nyokap-bokap gw kan gak bisa protes, karena itu pakai uang gaji gw sendiri," khayalku ketika sedang mengerjakan tugas kuliah bersama-sama teman-temanku.
"Ayo, tebak... Siapa di antara cewek-cewek ini yang akan jadi Ibu Rumah Tangga?" teriak salah seorang temanku yang cowok di lain waktu.
"Wah, kalau yang nikah duluan, gw tau....." Teriak temanku yang lain.
"Siapa?"
"Meli"
Aku menoleh kaget. Prediksi yang buruk.
"Kenapa gw?"
"Karena adik kamu masih 2 orang. Kamu pasti mau cepat-cepat nikah biar gak dilangkahin adik kamu"
Wuekkss.. alasan yang buruk. Aku cuma mencibirkan bibir.
Nyatanya, aku bukan yang pertama menikah.

Sekarang
Sudah bekerja di bidang telekomunikasi dari tahun 1998, tepatnya 1 Februri 1998. Dari Vendor ke Operator. Sempat bosan berkali-kali, tapi tetap bekerja. Tahun 2001, menikah punya anak. Keinginan jadi wartawan makin hilang... Sampai Rina teman dekatku selalu mengingatkanku agar tetap menulis. "Sayang, Mel, kalau hilang begitu aja." Tak punya waktu tepatnya. Tenggelam dalam rutinitas, pemecahan kebosanan, sampai bekerja apa-adanya.
Angan-anganku ketika pulang kerja mendapati anak sudah tertidur hanya satu, kapan ya aku bisa seharian menemani dia bermain? Atau angan-anganku ketika ada acara rapat orang tua di sekolah anakku, atau ketika anak sakit atau ketika ada perlombaan di luar sekolah atau ketika piknik bersama, adalah kapan aku bisa bebas menemani anakku di kegiatannya tanpa harus dibatasi oleh pekerjaan-pekerjaan di kantor?
Atau ketika berkumpul dengan teman-temanku yang notabene sudah punya anak, obrolannya adalah kalau saja gaji suami berapa puluh juta, pasti memilih tidak kerja.
Atau ketika sedang berdua dengan suami, Mas, aku pengen deh gak kerja..
"Yakin kamu?"
Eng...Ing... eng... kalau begini, jadi gak yakin.
Atau ketika menyandarkan kepala di pundak Ibuku, Bu, kadang Mel pengen nggak kerja..
"Jangan.. kamu bisa bosan di rumah"
Tapi, ketika ada cerita dari kakakku yang suami temannya tiba-tiba meninggal...
"Kalau gak kerja, susah ya, Mbak... Siapa yang bisa menghidupi dia dan anak-anaknya?"
Atau ketika teman-teman masa sekolahku dulu jadi Ibu rumah tangga...
"Aku nggak tahu cafe-cafe di Jakarta, jadi kalau ketemuan yang di tempat standard aja ya...." Padahal dulu masa sekolah, temanku ini termasuk anak gaul. Atau...
"Aku bawain diskette gak?" Oalah... zaman diskette udah berlalu.. sekarang zamannya flash disk, dan temanku jadi gaptek begini. Atau...
"Eh, elo sibuk gak, Mel? Gw mau nanya-nanya masalah investasi..." Atau....
"Elo sih kerja, jadi cepat kurus.." Atau...
"Jangan di Citos, Mel... Gw gak tau citos dimana..." Atau...
"Comfort zone apa sih maksudnya?"....
Banyak-banyak lagi yang kadang membuat aku bersyukur tetap bekerja. Gaji. Teman. Update tempat gaul. Update Teknologi. Bisa jadi advisor buat suami. Bisa jadi temannya teman kerja suami. Bisa nge-internet bebas. Bisa beliin barang-barang mahal buat anak. Bisa beli baju, sepatu, tas, pakai bedak mahal, beli produk kecantikan satu set, bisa beliin Ibu apa aja, bisa jalan-jalan keliling Indonesia gratis, bisa ke Munich, Vienna, Amsterdam dan teman-temannya, Paris, Venesia, Singapore, Bangkok gratis... Karena pakai uang sendiri gak mungkin... Bisa tahu team building kayak apa... Bisa tahu produk investasi dan meng-influence suami.... Bisa-bisa-bisa yang lain.... Yang sangat gak bisa dilakukan, menemani anak seharian di rumah. Libur sebatas tanggal merah.
Ah, kalau boleh milih, aku ingin bisa semuanya dengan tetap bersama anak-anak seharian. Nggak mungkin ya... Sayangnya rasa bosan kerja bisa tiba-tiba muncul, makanya suka ada pertanyaan bekerja atau tidak di diri.....
"Tenang, Mbak... Kata Ibuku, anak yang ditinggal bekerja Ibunya, umumnya cepat bisa dan mandiri," Hibur Indri, temanku.
"Lah, buktinya Helmy sendiri yang gak lulus test"
"Itu sih..." Aku lupa alasan dia.
"Tapi, Helmy sekarang udah mulai bisa dikte loh... Padahal baru weekend kemaren gw ajarin"
"Tuh,kan..."
"Katanya, kalau gw kerja, anak gw lebih mandiri. Tapi kalau gw di rumah, manja banget deh"
Yah, semoga anak-anakku bangga punya Bunda bekerja, mandiri... Walaupun setiap pagi ada pengikraran janji dari Helmy...
"Bunda, hari ini pulang malam atau sore? Bener sore loh... Jangan bohong."
Senjata yang paling ampuh, hanya Insya Allah, mudah2an Bunda gak banyak kerjaan...:)

No comments: