Monday, January 08, 2007

Hari Terakhir

Aku koma. Kata-kata itu yang terbesit di benakku seketika. Tak ada orang-orang di sampingku, bahkan Nina, istriku tercinta, yang biasanya dengan setia menemani tidurku dengan belaian kasih sayangnya. Aku berusaha membuka dan menggerakkan bola mataku, yang tentu saja sia-sia. Aku sudah benar-benar payah, tak berdaya, hanya bisa menggumam di hati dan benak.
Tak berapa lama, suara langkah kaki menuju ke arah kamarku.
”Mas, mas,” kata-kata itu kemudian mampir di telingaku diiringi dengan sentuhan jemari yang sangat kukenal. ”Mas, mas, dengarkan ucapan Nina?” suara itu agak berat kemudian. Tentu saja aku dengar kamu, Nin, tapi aku tak bisa apa-apa. Aku hanya bisa menikmati jemarimu menyentuh lenganku, aku hanya bisa menikmati setiap ucapanmu, hanya untuk meyakinkanku bahwa aku tak sendiri di kamar yang sumpek ini.
„Mas, apa yang mas rasakan?” isaknya mulai terdengar sering. Tak beberapa lama, langkah-langkah kaki lain terdengar menuju kamarku. Bukan hanya sepasang langkah, tapi ada sekitar empat pasang langkah saling berebut masuk.
„Nin, Nin, ada apa dengan Linggar?” suara Tita, kakakku, menyerbu masuk. Aku tak tahu tanggapan Nina untuk pertanyaan ini, aku hanya tahu tangis Nina makin terdengar keras, dan tangisan itu disambut dengan tangisan dua anakku, Novi dan Kiki. Kemudian, sebuah tangan dengan terburu-burunya menggoyang-goyangkan tanganku. „Nggar, Nggar... dengar mbak, Nggar” ucap kakakku sambil terisak-isak.
Selang beberapa detik kemudian, aku mendengar suara Ibu Entih, tetangga kami,”Nin, Mas Linggar koma,” ucapnya tertahan. „ Kita bawa ke rumah sakit ,ya?” lanjutnya.
„Tapi, Nina gak ada biaya, Bu,” jawab Nina, yang sangat aku kenal tak mau menyusahkan orang.
”Tak usah dipikirkan, Nin, biar kami bantu.”
Aku tiba-tiba ingin berteriak senang. Tuhan... akhirnya kau dengar doaku. Betapa inginnya aku diperiksa secara detail tentang penyakit gulaku. Penyakit yang kadang-kadang aku sendiri ragu, apakah ini hanya penyakit gula atau penyakit lainnya, karena rasa sakit yang selalu berpindah-pindah. Dari dadaku, kemudian kadang pindah ke perutku, malah kadang ke kepalaku. Karena setahuku, penyakit gula ditandai dengan luka yang lama mengering, bukan rasa sakit di bagian-bagian lainnya. Setahuku lagi, aku sudah sangat menjaga makanku. Aku sudah mengurangi nasi, aku sudah tak minum teh manis buatan Nina lagi, bahkan waktu hari raya kemarin, aku tak menyentuh sedikitpun kue-kue yang sangat cantik di rumah kaum kerabatku. Semua kulakukan karena aku tak ingin Nina sedih dan bingung. Cukup bagiku membawanya ke kehidupan yang jauh dari harapannya. Hanya susah, susah, susah saja yang kulukiskan di hari-harinya beberapa tahun ini. Mungkin kalau dihitung-hitung hanya sekitar lima tahun Nina mengalami kesenangan hidup berkeluarga denganku. Setelah lima tahun gemilang itu, satu persatu kemalangan mewarnai kehidupan rumah tangga kami. Dimulai dari kondisiku yang tiba-tiba terpuruk dan harus tinggal dirumah sakit selama 2 bulan, yang tentu membuat perusahaan, tempatku bekerja, memberhentikanku dengan terpaksa. Sesudah itu, kesusahan mulai mewarnai hidup kami. Aku terserang stroke separuh. Nina dengan sabar membesarkan hati dan merawatku. Aku mengikuti semua terapi, yang membawa hasil kesempurnaanku. Aku kemudian mencoba bekerja di perusahaan bakery. Kehidupan mulai membaik lagi. Seakan ada bintang yang paling cerah saat itu yang menyinari kehidupan kami. Kami mulai berhemat. Kami tak ingin mengulangi kejadian lalu yang suram. Aku dan Nina ingin sekali bisa menyekolahkan Novi dan Kiki setingi-tingginya untuk menuju tingkat kehidupan yang harusnya lebih tinggi. Nyatanya, bintang itu hanya singgah sesaat. Aku diPHK, karena biaya produksi roti terlalu tinggi, padahal pendapatan dari gerobak keliling tak menutupi sama sekali. Aku stress. Terperosok lebih dalam daripada waktu pertama kami menghadapi cobaan pertama. Aku kehilangan arah. Limbung, tak kuat, apalagi untuk tempat bersandar bagi Nina. Untunglah, Tuhan menciptakan Nina dengan kekuatan yang luar biasa. Dia mulai bertatih-tatih menata kehidupan keluarga kami. Dia mulai berjualan ikan asin di pasar dekat rumah kami. Pagi-pagi setelah subuh, dia menggelar lapak di pasar untuk mulai berdagang, dan sekitar jam dua siang, Nina akan pulang dengan membawa ikan asin belanjaannya, untuk didagangkan besok. Tak mengenal lelah rasanya melihat Nina, dia membungkus beberapa ikan asin ke dalam kantung plastik, tanpa sedikitpun berteriak meminta tolong pada Novi, anak kami. Dan aku kala itu hanya duduk memperhatikannya. Tak tergerak sedikitpun membantu tangan lembut itu untuk membungkus ikan. Aku terlalu lelah dengan hatiku, perasaan kelelakianku, yang merasa sangat tak berdaya. Aku terlalu sibuk memikirkan diriku dengan pengandaian yang sangat muluk. Ninapun seakan memahamiku. Dibiarkan aku dengan pikiranku, usikannya yang mengangguku hanya ajakannya untuk Sholat, berdoa bersama, yang dengan setengah terpaksa sering kuturuti.
Nina memang hebat. Bukan hanya Nina rasanya yang hebat di rumah ini, Novi, Kiki, Mbak Rika juga hebat. Mereka bisa dengan mudahnya beradaptasi dari keadaan yang aku buat. Dari keadaan yang sangat mudah semuanya, sedang, kemudian susah, mereka bisa menikmati. Saking hebatnya, mereka pernah sujud syukur karena Nina mendapat kerjaan baru, berdagang rempeyek, krupuk di depan salah satu universitas swasta terkenal, yang berarti Nina tak perlu lagi berburu ikan asin di siang menjelang. Disinilah aku seperti dibangkitkan lagi, aku seakan memiliki seribu semangat untuk menghadapi hidup selanjutnya. Aku membantu Nina menata hidup kami yang aku hancurkan, aku membuat Nina mulai tersenyum kecil, dan aku membuat anak-anakku kembali respek padaku.
Hidupku panjang sesudah itu. Sakit. Sembuh. Berdagang. Membantu Nina memasak, karena di kemudian hari Nina menjadi juru masak untuk orang-orang sekitar kami berlalu begitu saja. Tanpa ada keluhan yang keluar. Tanpa ada tangan yang menengadah di antara kaum kerabat kami. Bahkan Nina masih sering membagi krupuk dagangannya pada kaum kerabat kami. Aku begitu leganya hidup dengannya, Nina yang kukenal semakin dewasa dan bijak. Aku merasa tak pernah salah memilihnya, wanita yang makin terlihat luar biasa di lingkungan serba kurang yang tercipta.
Mungkin itu keluar-biasaan dia itulah yang membuatnya tak mengabarkan keadaanku yang kemudian makin parah. Staminaku begitu mudahnya roboh. Aku tak boleh lelah sedikit, terkena flu sedikit atau punya beban pikiran sedikit. Kalau itu terjadi, bisa dipastikan minyak gosok yang akan kubalurkan di tubuhku, dan kalau aku tak mampu membalur minyak di tubuhku, tangan-tangan Nina yang mulai menghitam akan menggantikannya dengan sabar. Dan nyatanya, keadaanku makin parah, yang makin membuatku ragu apakah aku berpenyakit gula saja atau aku punya penyakit ganas seperti kanker. Terkaan itulah yang merebak di benakku saja.
”Kita menyewa mikrolet saja,” suara tetanggaku yang lain terdengar, membuyarkan kenanganku tentang Nina.
”Sabar, ya, Mbak...” suara keponakan Nina, erna, menyeruak diantara suara-suara tetanggaku. Aiihhh.. ternyata ada juga saudara kami yang datang di tengah malam ini untuk meringankan beban kami. Ingin sekali aku tersenyum pada semua orang disana. Senyuman rasa terima kasih.
Tak lama kemudian, aku merasa seperti di ayun-ayun, disertai dengan teriakan-teriakan yang mengarahkan jalan, seperti kiri sedikit, kanan sedikit atau hati-hati. Ah...sebentar lagi akan ada tangan dokter yang akan menyentuh penyakitku. Mungkin akan memberikan vonis tertentu setelahnya. Aku mendengar bunyi mesin mobil yang mulai dinyalakan, dan tak lama keadaan hening, hanya suara angin malam yang menemani perjalananku dan para penderma menuju rumah sakit.
”Pak, ada pasien!!.. Tolong dorong ke UGD dulu,ya” Suara lain tiba-tiba terdengar. Aku merasakan tubuhku berjalan. Di belakangku, aku sempat mendengar kasak-kusuk para tetangga yang bersepakat mengumpulkan uang berapapun untuk uang muka.
Tiba-tiba tangan dingin menyentuhku. Tak lama benda dingin menyentuh dadaku, kemudian jarum suntik menyentuh nadiku. Aku begitu pasrah. Bayangan Nina, Novi dan Kikilah yang menemani anganku.
Anganku terus melayang, memikirkan apa lagi yang akan terjadi denganku. Belum sempat anganku melayang jauh, aku kembali merasakan tubuhku berjalan kembali. Sempat aku mendengar serbuan pertanyaan dari beberapa orang tetanggaku, yang dijawab singkat oleh orang lain, yang kemungkinan suster, ”Kami akan bawa Pak Linggar ke ruang ICU”. Tangisan Novi yang keras, dan tangisan Nina yang terisaklah yg mengiringiku ke ruangan itu.
Ada apa sebenarnya denganku? Adakah yang salah fatal dalam tubuhku? Atau karena aku koma, aku dimasukkan ke ruangan berhuruf tiga itu?
”Mbak, sabar ya..” ucapan Erna kembali terdengar.
“Ada apa dengan Om, ya, Na?”
“Nanti kita tanya dokter, Mbak”
Dan sialnya Nina tidak bertanya di depanku. Aku cukup bertanya-tanya di hati. Mungkin, kalau aku diizinkan sadar, pertama yang akan kutanyakan pada Nina adalah tentang kondisiku. Nina... kuatkan hatimu,ya.... Aku tidak pernah bermaksud menyusahkan dirimu sejak aku memintamu untuk menjadi istriku. Kalau saja aku tahu akan seperti ini jalannya, pasti aku tak pernah memaksamu untuk menjadi ibu rumah tangga murni demi anak-anak kita. Mungkin juga aku tidak akan berani melamarmu untuk menghabiskan hidupmu bersama laki-laki seperti aku.
Mesin pendetak jantung kemudian terdengar di telingaku. Akupun tak punya tenaga lagi. Aku lelah. Akupun tertidur.
„Mas..” Suara lembut Nina membangunkanku. Aku berusaha membuka mata. Kulihat Nina tersenyum bahagia.
“Nin, aku kenapa?” suaraku lemah terdengar.
“Penyakit gula Mas kambuh”
“Aku lelah, Nin...”
”Istirahatlah, Mas”
”Nin, bagaimana kalau aku tak kuat lagi?”
Nina tertunduk. ”Mas sendiri bagaimana?”
“Kamu dan anak-anak siap,kan?”
“Kalau Mas siap, Nina siap” ucapnya berusaha tegas.
“Kalau sudah waktunya, Mas siap,” suaraku makin terdengar lemah, walaupun aku berusaha mengeluarkan suaraku dengan keras.
“Bagaimana Novi dan Kiki, Nin? Novi,kan, belum bayaran tiga bulan, Nin”
”Tenang, Mas... Semua sudah beres,” jawabnya dengan lembut.
Tiba-tiba aku begitu kangen sekali dengan Novi dan Kiki, dan aku jadi merasa tak punya waktu banyak lagi untuk mereka. Aku tersenyum sekali lagi ke Nina, dan kemudian aku merasa begitu lelah. Begitu mengantuk. Senyumku
masih ada untuk Nina diiringi dengan suara mesin jantung yang tak berdetak lagi.

PS: Real Fiction.. dedicated to Mbak Nina's family

No comments: